Pelecehan Seksual: Dampak Relasi Kekuasaan Asimetris
August 9, 2022NFT untuk Seniman Lokal Braga
September 13, 2022
OPINI
Motif Psikologis atau Sosiologis? Sekilas Tipologi Bunuh Diri ala Emile Durkheim
oleh Bambang W. Akbar
Emile Durkheim adalah seorang sosiolog Prancis kelahiran 15 April 1858 di Epinal, Prancis dari sebuah keluarga Yahudi yang berasal dari Alsace. Dalam riwayat intelektualnya, Durkheim mengorientasikan diri pada permasalahan moral, yang kemudian mengantarnya untuk mempelajari psikologi dan sosiologi. Tesisnya berjudul ‘De la division du travail social’ [Pembagian Kerja Sosial], ia publikasikan pada tahun 1893. Durkheim sendiri sempat menjabat sebagai profesor di Universitas Sorbonne pada tahun 1902, sebelum akhirnya wafat pada 15 November 1917. Sosoknya kemudian dikenal sebagai ‘Pencetus Sosiologi Modern’.
Salah satu studi yang ditekuni Emile Durkheim adalah tipologinya mengenai fenomena bunuh diri. Baginya, bunuh diri merupakan sebuah persoalan kompleks yang dapat disebabkan oleh berbagai macam motif, baik dipandang dari sudut psikologi maupun sosiologi.
Secara umum, Emile Durkheim membagi bunuh diri ke dalam empat tipe yakni:
- Bunuh Diri Egoistis
Menurut Durkheim, tingkat bunuh diri ini dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak dapat berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat dan masyarakat juga bukan bagian dari individu.
Singkatnya, bunuh diri jenis pertama ini disebabkan oleh terasingnya individu dari masyarakat. Durkheim sendiri mengatakan bahwa dalam bunuh diri egoistis ini, kita akan bunuh diri ketika mengalami frustasi yang paling kecil sekalipun.
Contohnya adalah seseorang yang mengakhiri hidupnya karena merasa terasingkan oleh masyarakat/lingkungan. Terlebih saat ia depresi dan tidak memiliki seorang pun yang dapat memberikan support.
- Bunuh Diri Altruistis
Jika bunuh diri egoistis disebabkan oleh integrasi sosial yang melemah, maka bunuh diri altruistis justru disebabkan oleh integrasi sosial yang kuat. Secara harfiah, dalam jenis bunuh diri ini, individu akan mengakhiri hidupnya karena terpaksa. Secara umum, orang melakukan bunuh diri altruistis karena mereka merasa bahwa itu adalah tugas mereka.
Contoh paling tepat untuk jenis ini adalah bunuh diri massal para pengikut Pendeta Jim Jones di Guyana pada tahun 1978, aksi bom bunuh diri yang dilakukan para teroris, hingga aksi kamikaze maupun harakiri yang dilakukan oleh para samurai dan prajurit Jepang.
- Bunuh Diri Anomik
Bunuh diri ini terjadi saat kekuatan regulasi dari masyarakat terganggu, Bunuh diri anomik biasanya disebabkan oleh kacaunya norma dan kontrol sosial masyarakat karena suatu sebab.
Kasus yang relatif mudah untuk bunuh diri anomik dapat ditemukan dalam suasana depresi ekonomi. Dimana banyak pabrik tutup, para karyawannya di-phk, hingga berimbas pada krisis. Dalam situasi inilah, tak jarang beberapa orang mengakhiri hidupnya karena terbebani dengan kondisi yang ada.
- Bunuh Diri Fatalistis
Persoalan bunuh diri jenis keempat ini sebenarnya tidak terlalu banyak dibahas oleh Durkheim. Beliau hanya mengutarakannya dalam salah satu catatan kaki dalam bukunya yang berjudul Suicide. Durkheim sendiri menggambarkan individu yang melakukan bunuh diri fatalistis seperti; “seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas”.
Contoh dari bunuh diri jenis ini adalah seorang budak yang mengakhiri hidupnya karena putus asa akibat regulasi yang menekan setiap tindakannya ataupun seorang selebritis, karyawan, dsb yang juga mengakhiri hidupnya karena tekanan kedisiplinan yang begitu menindas dari pekerjaan yang dilakoninya.
Intinya, regulasi – tekanan – yang terlalu banyak akan melepaskan arus kesedihan, yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan angka bunuh diri fatalistis.
Durkheim mengakhiri studinya tentang bunuh diri dengan sebuah pembuktian apakah reformasi bisa diandalkan untuk mencegah bunuh diri. Menurutnya, usaha-usaha yang selama ini dilakukan untuk mencegah bunuh diri gagal karena kita hanya melihatnya sebagai problem individu. Bagi Durkheim, usaha langsung untuk meyakinkan individu agar tidak melakukan bunuh diri ternyata sia-sia, karena penyebab riilnya justru ada di masyarakat.
Oleh karena itulah, penting kiranya bagi kita untuk sama-sama bersinergi demi mencegah fenomena bunuh diri ini. Terlebih di masa pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun belakangan. Jangan sampai orang-orang terdekat kita mengakhiri hidupnya dan kita hanya bisa menyesalinya.
Bambang Widianto Akbar memiliki hobi membaca, ngopi, menulis dan membuat desain infografis. Tertarik dengan Sejarah, Politik, dan ilmu sosial lainnya.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini