Lagu Lawas dan Harmoni Antargenerasi
July 14, 2023Ruang Berbagi: Siasat Sektor Informal dalam Perebutan Kuasa Ruang-ruang Kota
July 25, 2023Photo by Farid Mardhiyanto
OPINI
Tur Jalan Kaki: Alternatif Wisata Murah Masyarakat Kota
oleh Farid Mardhiyanto
Tepat di depan gedung parlemen Inggris di London, seorang pemandu wisata bercerita tentang kisah Guy Fawkes, ekstremis Katolik Roma, yang ingin meledakkan gedung parlemen pada November 1605. Meskipun rencana itu gagal dan Guy Fawkes pun dihukum mati, cerita tentang rencana peledakkan itu melegenda. Bahkan, setiap 5 November, masyarakat Inggris memperingatinya sebagai Guy Fawkes Night atau Bonfire Night yang dirayakan dengan cara menyalakan kembang api.
Cerita tentang Guy Fawkes itu menjadi penutup tur jalan kaki atau walking tour yang saya ikuti pada 2012 dengan rute Westminster-London. Pada akhir tur, semua orang memberikan sejumlah uang atau tip ke sang pemandu wisata. Saya dan sesama peserta tur dari Singapura pun memutuskan untuk memberi tip sekitar lima sampai sepuluh poundsterling. Tur selesai dan beberapa peserta, termasuk saya, menutup hari itu dengan makan malam bersama.
Kami semua sepakat bahwa tur jalan kaki yang baru kami ikuti itu memberikan pengalaman baru dalam berwisata. Tidak hanya mengelilingi tempat-tempat ikonik dan bersejarah, cara bercerita sang pemandu tur yang sangat ekspresif juga membuat kami memperoleh cerita ‘otentik’ di balik setiap tempat yang kami kunjungi.
Pikiran saya pun melayang ke tempat lain: Jakarta. Melihat Jakarta punya banyak destinasi wisata bersejarah yang menarik, kenapa Jakarta tidak punya wisata tur jalan kaki seperti ini, ya?
Bukan Jalan-jalan Biasa
Pada 2014, Jakarta akhirnya punya inisiatif tur jalan kaki yang bernama Jakarta Good Guide (JGG). Inisiatif itu memulai rute tur pertamanya dari Museum Nasional menuju gedung Mahkamah Konstitusi, lalu melintasi Monumen Nasional dan Istana Merdeka. Tur kemudian dilanjut ke es krim legendaris Ragusa, masuk ke dalam Masjid Istiqlal dan Katedral, sampai akhirnya berakhir di depan Gereja Immanuel di Jalan Medan Merdeka Timur. Rute dengan jarak sekitar tiga kilometer itu sangat berkesan karena melewati bangunan bersejarah dan tempat ibadah yang menjadi daya tarik kota Jakarta sebagai ibukota negara.
Konsep tur jalan kaki memang dirancang melewati beberapa bangunan ikonik atau bersejarah dengan dipandu oleh seorang pemandu wisata. Pemandu akan bercerita mengenai daerah atau peristiwa bersejarah di balik bangunan yang mereka lewati. Peserta pun akan diajak berhenti sejenak di beberapa titik dan ikut menyelami cerita yang dituturkan oleh pemandu. Biasanya, pemandu akan melengkapi ceritanya dengan gambar atau alat bantu lain yang bisa membuat peserta tur mendapatkan pengalaman lebih dari sekadar jalan-jalan atau sightseeing.
Inisiatif tur jalan kaki saat ini sedang populer di beberapa kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, sampai ke pulau Sumatera di Palembang dan Medan. Corak tur jalan kaki di setiap kota itu berbeda-beda, menyesuaikan ciri khas daerahnya masing-masing.
Misalnya, kota Palembang mengembangkan tur jalan kaki dengan perahu kecil (boat), menyusuri sungai Musi yang menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat lokal. Sementara itu, tur jalan kaki di Yogyakarta lebih banyak diikuti oleh turis mancanegara karena kuatnya ikon Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata. Meskipun demikian, ada juga inisiatif tur jalan kaki di Yogyakarta yang peminatnya didominasi anak muda lokal.
Penyelenggara tur biasanya akan memilih rute destinasi yang titiknya relatif saling berdekatan, sehingga mudah dijangkau dengan berjalan kaki. Hal itu membuat inisiatif tur jalan kaki ini terbilang sederhana, karena peserta tidak perlu terlalu bergantung pada moda transportasi.
Tur jalan kaki kerap diidentikan sebagai wisata urban karena dilakukan di kota-kota besar dan diikuti oleh masyarakat perkotaan. Hal itu membuat kesuksesan inisiatif ini sangat bergantung pada kondisi infrastruktur dasar di perkotaan, seperti trotoar, penyeberang jalan (zebra cross), dan tempat peneduh.
Sayangnya, infrastruktur dasar di kota-kota besar di Indonesia saat ini masih cenderung memprioritaskan pergerakan mobil pribadi (car-centric) dan belum terlalu ramah pada pejalan kaki. Misalnya saja, pejalan kaki rawan tertabrak kendaraan dan tercatat menempati posisi kematian terbanyak di jalanan, setelah pengendara sepeda motor.
Selain itu, inisiatif tur jalan kaki juga belum terlalu populer bagi semua kalangan. Tur seringkali terhenti sejenak karena pemerintah setempat dan petugas keamanan mempertanyakan surat izin kegiatan tersebut. Hal itu berbeda dengan tur jalan kaki di London, Chicago, New York, dan Bogota yang pernah saya ikuti. Wisata jalan kaki sepertinya sudah cukup familiar bagi masyarakat di sana dan dianggap sebagai salah satu cara untuk menghidupkan perekonomian suatu daerah.
Belajar Keberagamaan, Berbaur dengan Warga Sekitar
Tur jalan kaki membawa peserta merasakan pengalaman berinteraksi langsung dengan warga sekitar—sesuatu yang mungkin jarang dialami masyarakat kota kelas pekerja yang hari-harinya dihabiskan untuk mengais rupiah. Tidak jarang, rute tur dirancang memasuki pasar atau toko dan memungkinkan peserta bisa mencicipi kuliner lokal yang ada. Peserta bisa makan sambil berbincang dengan orang lokal untuk meruntuhkan ‘tembok pembatas’ di antara mereka. Warga lokal pun terbantu dengan pembelian yang dilakukan oleh para peserta tur karena pemandu tur biasanya merekomendasikan barang atau jajanan khas yang harus dibeli atau dicicipi selama tur.
Membuat peserta bisa berinteraksi langsung dengan warga sekitar merupakan salah satu kunci keberhasilan tur jalan kaki. Warga pun jadi lebih terbuka menceritakan segala hal tentang daerahnya karena ada timbal-balik berupa transaksi jual-beli dagangan dengan peserta. Meskipun memasuki ‘wilayah privat’ milik warga, tur jalan kaki tidak dirancang untuk mengeksploitasi cara hidup masyarakat lain, apalagi menjadikannya konten sosial media, misalnya menyoroti kondisi ekonomi, kebersihan perkampungan, dan lain sebagainya.
Meskipun demikian, beberapa kalangan mencurigai kegiatan ini sebagai bentuk ‘wisata kemiskinan’ yang sarat akan muatan postcolonial gaze (pandangan paska-kolonial) dan mengaburkan ruang privasi warga setempat. Kecurigaan itu bisa dipahami karena, dalam beberapa konteks, masyarakat kelas menengah berbondong-bondong datang ke perkampungan dan menampilkan realitas yang berseberangan, yaitu kemewahan khas kelas menengah dan kekumuhan perkampungan pinggir kota.
Tur jalan kaki bisa memantik kesadaran kita bahwa pejalan kaki di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, masih punya segudang masalah soal pembangunan infrastruktur dasar yang belum memadai. ~Farid Mardhiyanto Share on XSelain itu, tur jalan kaki juga membuat peserta bisa merasakan pengalaman keberagaman agama sedikit lebih mendalam. Beberapa rute tur membawa peserta mengunjungi tempat ibadah yang berbeda dengan keyakinan mereka. Di sana, pemandu akan menceritakan seluk-beluk tempat beribadah dan menekankan nilai ‘persamaan’ konsep beribadah masing-masing agama. Pengalaman semacam itu mungkin jarang mereka alami kalau tidak dengan mengikuti tur jalan kaki atau kegiatan serupa. Misalnya saja, saya kerap melakukan hal itu ketika membawa peserta tur ke Klenteng di Glodok atau Pasar Baru dan membawa wisatawan dari Eropa dan Amerika ke Masjid Istiqlal.
Alasan kesehatan tentu saja menjadi penyebab tingginya minat masyarakat kota mengikuti tur jalan kaki. Ilmu kesehatan sudah menganjurkan kalau setiap orang perlu memelihara kesehatan dengan, salah satunya, berjalan kaki minimal enam ribu langkah setiap hari. Tur jalan kaki bisa membantu mencapai target itu.
Misalnya, saya mempunyai seorang pelanggan yang motivasi awalnya mengikuti tur adalah untuk menjaga kesehatan. Lebih dari kesehatan, rupanya ia ketagihan dan sudah lebih dari seratus kali mengikuti tur jalan kaki karena hal-hal menarik lain yang ditawarkan oleh kegiatan ini.
Pada akhirnya, salah satu tujuan tur jalan kaki, ke mana pun rutenya, memang untuk memperluas wawasan peserta mengenai sejarah, keberagaman agama, kuliner, dan kehidupan masyarakat di sekitar lokasi. Mengajak lebih banyak orang berwisata sambil jalan kaki juga dapat memantik kesadaran dan menunjukkan pada mereka bahwa pejalan kaki di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, masih punya segudang masalah soal pembangunan infrastruktur dasar yang belum memadai.
Farid Mardhiyanto membentuk Jakarta Good Guide pada 2014 dan memperoleh lisensi pramuwisata muda pada tahun 2012. Ia memiliki pengalaman menjadi pramuwisata untuk online travel agency, seperti toursbylocals.com yang berkantor pusat di Vancouver, Canada dan Urban Adventures di Melbourne, Australia.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini