Islam dan Tubuh-tubuh Queer: Jendela ke Pemikiran Religius yang Ramah Queer
July 31, 2023Menggagas Serikat Pekerja Kampus
August 17, 2023Photo Calton Sturgeon on Unsplash
OPINI
Kedewasaan itu Diperoleh atau Dipelajari?: Sekilas tentang Metakognisi
oleh Silvia Maudy Rakhmawati
Akhir-akhir ini, orang-orang jadi mudah sekali tersinggung. Hal-hal sepele seperti perkara bubur diaduk atau tidak diaduk saja bisa membuat orang beradu pendapat. Media sosial yang awalnya diciptakan untuk mempermudah komunikasi jarak jauh, sekarang justru rentan menjadi arena adu mulut. Fenomena seperti itu memiliki keterkaitan dengan tingkat kedewasaan seseorang.
Kedewasaan (maturity) adalah ekspresi perilaku kesehatan emosional dan kebijaksanaan. Secara umum, kedewasaan juga didefinisikan sebagai keadaan mental dan emosional yang berkembang dengan baik. Menurut Theodor W. Adorno, filsuf asal Jerman, kedewasaan melibatkan keberanian dan kemampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri secara independen dari aturan moral yang dominan dan bebas dari perintah ekternal maupun ketergantungan pada perspektif populer. Kedewasaan juga menjadi tanda kecerdasan emosional seseorang dalam merespon keadaan dengan cara yang bijak dan bertanggung jawab.
Dari Mana Datangnya Kedewasaan?
Terdapat istilah populer yang mengatakan bahwa usia tidak menentukan kedewasaan seseorang, melainkan pengalaman. Pengalaman diklaim sebagai sesuatu yang mampu mendewasakan dan membuat seseorang menjadi bijaksana. Melalui pengalaman, seseorang dapat belajar, tumbuh, dan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan diri mereka sendiri. Pengalaman yang beragam membentuk fondasi yang kokoh dalam menuju kedewasaan. Namun, kedewasaan bukan saja proses otomatis dari akumulasi pengalaman, melainkan juga melibatkan refleksi, kesadaran diri, dan kemauan untuk belajar dan berkembang dari setiap pengalaman yang dialami.
Saya pribadi setuju bahwa usia tidak menjamin tingkat kedewasaan seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang, kita menemukan seorang remaja yang justru ‘lebih dewasa’ dibandingkan orang dewasa itu sendiri. Sebaliknya, tidak jarang pula kita menjumpai orang dewasa yang jauh ‘lebih dewasa’ dan bijaksana daripada remaja. Selain itu, kita mungkin juga menjumpai dua orang dengan usia yang sama, tetapi memiliki level kedewasaan yang sangat berbeda. Beberapa dari mereka barangkali dewasa di usia belia, sementara sebagian lainnya tidak pernah dewasa bahkan sampai menua. Dengan kata lain, kedewasaan bukanlah konsekuensi alami dari penuaan (secara usia).
Kedewasaan merupakan sesuatu yang bisa kita pilih dan pelajari, bukan kita peroleh secara cuma-cuma. ~Silvia Rakhmawati Share on XNamun demikian, apakah benar kedewasaan bermuara pada pengalaman? Apakah pengalaman benar-benar menentukan tingkat kedewasaan seseorang?
Saya pribadi tidak sepenuhnya sepakat dengan gagasan soal level kedewasaan yang ditentukan oleh banyaknya pengalaman yang dilalui seseorang dan pembelajaran yang dia peroleh dari pengalaman tersebut. Pada kenyataannya, ada juga orang yang melalui berbagai macam pengalaman buruk dan terus-menerus diuji dengan berbagai hal yang tidak mengenakkan, tetapi tidak mengubah apapun dalam dirinya.
Lalu, kalau bukan usia dan pengalaman, dari mana kedewasaan didapatkan?
Metakognisi: Kendaraan Mencapai Kedewasaan
Menuju kedewasaan adalah sebuah proses yang berhubungan dengan metakognisi. Metakognisi merupakan istilah yang dipopulerkan oleh John Flavell, seorang psikolog asal Amerika Serikat, dalam karya awalnya pada awal 1970-an. Istilah metakognisi atau metacognition berasal dari kata “meta” yang berarti melampaui (beyond) dan “cognition” yang berarti kognisi–keterampilan yang berkaitan dengan proses berpikir. Sederhananya, metakognisi dapat didefinisikan sebagai berpikir tentang cara berpikir seseorang (thinking about one’s thinking). Metakognisi merupakan sarana untuk berpikir lebih dalam, di jenjang abstraksi yang lebih tinggi, sehingga dapat menghasilkan efisiensi dalam berpikir.
Pengalaman, dalam bentuk ujian atau cobaan hidup khususnya, tidak semestinya hanya dilalui, melainkan juga perlu direfleksikan. ~Silvia Rakhmawati Share on XMetakognisi memiliki peran penting dalam tahap kedewasaan seseorang. Proses menuju kedewasaan melibatkan kesadaran dalam melihat kesadaran itu sendiri. Seseorang yang dewasa memproses pengalamannya dengan memonitor, mengevaluasi, dan membuat perubahan pada perilaku mereka. Untuk mencapai kedewasaan, seseorang perlu sadar akan proses berpikir mereka dan memahami pola di baliknya. Apabila dikaitkan dengan konteks kedewasaan, metakognisi artinya berpikir tentang pemahaman kita sendiri terhadap pengalaman yang kita lalui.
Contohnya: Apakah pemahaman seseorang terhadap pengalaman tersebut bersifat subjektif dan dibiaskan oleh emosi? Bagaimana agar rasionalitas tidak dibajak oleh emosi ketika menyadari pengalaman tersebut? Sudah tepatkah penerapan nilai (pembelajaran) yang diperoleh dari pengalaman tersebut? Apakah pengalaman itu mengganggu interaksi dengan orang lain?
Merefleksikan pengalaman dengan mengevaluasikan pikiran sendiri adalah poin penting menuju kedewasaan. Mempunyai kesadaran akan sesuatu itu penting, sebab pengalaman tidak akan punya arti kalau tidak disadari. Pengalaman, dalam bentuk ujian atau cobaan hidup khususnya, tidak semestinya hanya dilalui, melainkan juga perlu direfleksikan. Hal itu juga dapat kita sebut sebagai kesadaran diri (self-consciousness) yang berarti manusia sadar tidak hanya pada dunia objektif yang dihuni oleh orang lain, melainkan juga sadar pada diri mereka sendiri. Itu juga mencakup kesadaran terhadap aktivitas, tubuh, dan kondisi mental mereka.
Akan tetapi, ada perbedaan mendasar antara kesadaran diri dan pengalaman hidup. Kesadaran untuk memilih melakukan introspeksi dan merefleksikan suatu pengalaman adalah sesuatu yang berada penuh dalam kendali kita. Sementara itu, pengalaman hidup merupakan sesuatu yang tidak bisa kita prediksi dan dapat menghampiri sewaktu-waktu. Oleh karena itu, kedewasaan merupakan sesuatu yang bisa kita pilih dan pelajari, bukan kita peroleh secara cuma-cuma.
Metakognisi yang diimbangi dengan kesadaran diri memang penting mendukung kita mencapai tingkat kedewasaan. Sayangnya, hal itu tidak bisa berdiri sendiri. Keterbukaan untuk mengakui kesalahan, melakukan evaluasi secara objektif dan bebas dari bias ego, serta menihilkan sikap keakuan juga menjadi faktor penunjang seseorang meraih kedewasaan.
Perlu disadari juga bahwa bersikap keras dan menutup diri dari pengalaman tidak akan membawa seseorang mencapai tahap kedewasaan. Sekali lagi, kedewasaan membutuhkan keterbukaan, keberanian meredam ego, dan penerimaan diri. Oleh karena itu, kedewasaan tidak datang seiring bertambahnya usia seseorang, melainkan melalui pengalaman yang direfleksikan dan kemampuan untuk menundukkan ego.
Silvia Maudy Rakhmawati adalah seorang fresh graduate lulusan S1 Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada. Ia antusias mempelajari berbagai hal, terutama ilmu filsafat dan sosial humaniora.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini