Warna Film Perang Kemerdekaan dalam Tiga Babak Politik Indonesia
August 30, 2023Persoalan Bahasa dan Budaya pada Nama-Nama Kafe di Malang Raya
September 12, 2023Photo by Giammarco Boscaro on Unsplash
RESENSI BUKU
Filsafat Kausalitas dalam Perspektif Al-Ghazali dan Hume: Sebuah Perbandingan
oleh Muhammad Akbar Darojat Restu Putra
Salah satu sumbangan terbesar yang diberikan filsafat kepada ilmu pengetahuan adalah kausalitas. Kausalitas adalah prinsip dalam format sebab-akibat yang meyakini bahwa suatu entitas tak pernah sekonyong-konyong saja eksis. Suatu entitas bisa eksis karena ada yang menjadikan atau menyebabkan ia eksis.
Dengan adanya kausalitas, ilmu pengetahuan dapat terus berkembang dan memberikan banyak manfaat kepada manusia. Misalnya saja, ilmu kedokteran membutuhkan kausalitas untuk mengobati suatu penyakit, ilmu hukum membutuhkan kausalitas untuk menindak orang-orang yang melanggar hukum, ilmu politik membutuhkan kausalitas untuk membangun tatanan negara yang baik, dan lain sebagainya.
Kausalitas juga diperlukan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Contohnya, pakaian yang basah akan kering bila dijemur, air akan mendidih bila dipanaskan, kertas akan terbakar bila terkena api, dan seterusnya. Mengingat hal ini, sepertinya, manusia tak bisa hidup tanpa menggunakan nalar kausalitas.Namun, dalam perkembangannya, kausalitas pernah mendapatkan gebrakan yang sangat dahsyat dari dua ahli filsafat (filosof) yaitu, Al-Ghazali dan David Hume. Kritik keduanya atas kausalitas inilah yang dilukiskan oleh Ahmad Nawawi, seorang intelektual Muslim asal Indonesia, dalam bukunya Perspektif Teologi Filsafat Al-Ghazali dan Hume: Kritik Dekonstruktif Nalar Kausalitas Dalam Teologi dan Filsafat. Walau memiliki perbedaan latar belakang zaman dan motif, buku tersebut menunjukkan bahwa pemikiran kedua filosof itu pada dasarnya memiliki kesamaan (koeksistensi).
Kritik Al-Ghazali atas Filsafat Kausalitas: Pengakuan akan Adanya Tuhan
Ketidaksetujuan Al-Ghazali atas kausalitas sebenarnya dilandasi oleh keraguannya atas argumen filosof muslim sebelumnya, utamanya Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang mengklaim bahwa alam semesta sudah tertata dan teratur sedemikian rupa. Menurut kedua filosof tersebut, Tuhan tidak bisa mengintervensi hukum-hukum alam semesta sesuai kehendak diri-Nya. Tuhan adalah zat yang memang mutlak ada, namun tak memiliki kekuasaan untuk mengendalikan, mengatur atau meregulasi kejadian yang ada di alam semesta.
Berseberangan dengan keduanya, Al-Ghazali meyakini bahwa semua kejadian sudah diatur oleh penyebab sekunder (intermediary causes) yang merupakan hasil dari proses emanasi, yaitu proses perwujudan Tuhan dalam segala hal. Al-Ghazali beranggapan kalau Al-Farabi dan Ibnu Sina telah terkontaminasi filsafat Yunani. Pemikiran keduanya telah mengosongkan keabsolutan kekuasaan Tuhan. Menurut Al-Ghazali, ketika Tuhan tidak berkuasa dan mengintervensi kejadian di alam semesta, maka mukjizat hanya akan menjadi cerita fiktif. Karena itu, Al-Ghazali ingin meneguhkan kekuasaan Tuhan yang ditepikan oleh para filosof dengan mengakui adanya mukjizat.
Al-Ghazali mengatakan bahwa hubungan sebab-akibat di alam semesta ini tidak mesti terjadi. Peristiwa satu yang disusul oleh peristiwa lain sebenarnya diciptakan oleh Tuhan agar makhluk-Nya bisa memahami pola alam semesta ini. Tak menutup kemungkinan, Tuhan memiliki kehendak yang melenceng dari pola alam semesta. Bisa saja Tuhan membuat orang kenyang tanpa makan, segar tanpa minum, dan bisa tetap hidup meski tanpa kepala.
Untuk membuktikan klaim ini, Al-Ghazali mencotohkan api dan kapas. Para filosof menganggap bahwa kapas akan terbakar ketika terkena api. Anggapan ini jelas sesuai dengan pengamatan mereka akan fakta empiris, yaitu kenyataan yang diperoleh melalui observasi terhadap kenyataan. Namun, Al-Ghazali membantah anggapan tersebut dengan menyodorkan pertanyaan kritis, “Apa buktinya api adalah aktor yang membakar kapas?”
Api adalah materi pasif yang karenanya membutuhkan agen untuk menggerakkannya. Bagi Al-Ghazali, lebih cocok dikatakan bahwa kapas terbakar setelah terkena api, bukan kapas terbakar akibat terkena api. Sebab, api tidak mempunyai kemampuan apapun bila tak ditetapkan oleh Tuhan. Karena itu, Tuhan sejatinya adalah aktor yang menjadikan kapas terbakar setelah terkena api.
Pada intinya, Al-Ghazali ingin mengatakan bahwa keteraturan di alam semesta ini telah dibangun oleh Tuhan. Tujuannya adalah agar manusia bisa memahami dan memprediksi gejala yang ada di alam semesta. Keteraturan inilah yang memunculkan kebiasaan dalam diri kita untuk memandang bahwa peristiwa di alam selalu begitu dan akan selalu begitu. Padahal, mengingat Tuhan merupakan agen yang menentukan terjadinya peristiwa di alam semesta ini, Ia bisa saja menjadikan suatu peristiwa melenceng dari hukum kebiasaan karena alasan tertentu.
Kritik Hume atas Filsafat Kausalitas: Penolakan pada Fakta Empiris
Era gerakan perubahan di Eropa pada abad ke-14 (renaissance) yang disusul dengan masa pencerahan pada abad ke-17 (aufklarung) adalah era ketika kejadian di alam semesta dipahami sebagai hubungan sebab-akibat. Alam semesta memiliki hukum-hukum yang terarah, teratur, dan pasti. Apel yang jatuh ke bawah akan selamanya jatuh ke bawah. Dengan anggapan tersebut, para filosof berpikir bahwa mereka bisa memprediksi masa depan. Mereka beranggapan jika ilmu pengetahuan terus berkembang, maka kebahagiaan dapat direngkuh umat manusia.
Pandangan yang berasal dari pemikiran filosof dan ahli matematika, Descartes, dan ahli fisika, Newton, itu ditantang oleh Hume, seorang filosof empiris radikal. Ia berupaya membangun sistem pengetahuan yang berpedoman penuh pada fakta empiris yang dapat dibuktikan berdasarkan pengalam indra manusia. Ia melampaui filosof pendahulunya, seperti Locke yang menyisakan ruang bagi dunia objektif, yaitu keadaan sebenarnya tanpa dipengaruhi pandangan pribadi. Menurut Hume, apa yang kita terima dari dunia luar tak lebih dari kumpulan persepsi (the bundle of perception) belaka. Kepercayaan total pada pengalaman inilah yang mempengaruhi kritiknya atas kausalitas.
Berkenan dengan kausalitas yang dipercaya para ilmuwan pada masa itu, Hume mengambil posisi kurang percaya (skeptis). Ia menganggap peristiwa satu yang diikuti oleh peristiwa lain bukanlah relasi sebab-akibat, melainkan tidak lebih dari kebiasaan yang sudah lumrah terjadi. Misalnya, bola biliar B yang bergerak setelah didorong bola biliar A. Dalam hal ini, tak bisa disimpulkan bahwa bola biliar A yang menyebabkan bola biliar B bergerak. Peristiwa itu mesti dilihat sebagai dorongan bola biliar A yang diikuti oleh gerakan bola biliar B.
Kausalitas, lanjut Hume, juga tidak bisa diterima sebagai fakta empiris. Hari ini kita memang bisa menerima fakta bahwa air yang dipanaskan akan mendidih dan kertas yang terkena api akan terbakar. Namun, apakah di masa depan air yang dipanaskan akan tetap mendidih atau kertas yang terkena api akan selalu terbakar? Hume meragukan hal itu. Oleh karena itu, ia melihat hubungan kausalitas terhadap peristiwa yang biasanya kita klaim sebagai kebenaran hanyalah merupakan bentuk efek psikologis. Lagi pula, kita tidak tahu apakah hubungan itu pasti akan terjadi di masa yang akan datang.
Kepercayaan yang kuat pada fakta empiris itulah yang mendorong Hume menolak Tuhan dan unsur-unsur mukjizat dalam agama. Menurutnya, pengalaman kita sehari-hari menunjukkan bahwa dunia ini jahat, sehingga bertentangan dengan kesempurnaan dan kebaikan Tuhan. Pun, kita tak pernah melihat Tuhan secara langsung. Terkait mukjizat, Hume mendasarkan penolakannya pada argumen bahwa tak pernah ada mukjizat yang disaksikan oleh orang-orang cerdas dan mukjizat hanyalah cerita ketika ilmu pengetahuan ilmiah manusia belum begitu maju.
Perdebatan tiada Henti
Al-Ghazali dan Hume adalah dua pemikir yang menolak kausalitas dalam sejarah ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan secara umum. Argumen yang dipakai keduanya sebenarnya hampir sama, yakni meyakini bahwa peristiwa yang satu tidak menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain, melainkan peristiwa yang satu kemudian mengikuti peristiwa yang lain.
Al-Ghazali dan Hume meyakini bahwa peristiwa yang satu tidak menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain, melainkan peristiwa yang satu mengikuti peristiwa yang lain.~ Muhammad Akbar Putra Share on XAl-Ghazali memakai argumen itu untuk meneguhkan kekuasaan Tuhan dan mengakui adanya mukjizat. Sebaliknya, Hume memakai argumen itu untuk mempertanyakan objektivitas dan kepastian ilmu pengetahuan. Menariknya, kepercayaan total pada fakta empiris justru membuat Hume menolak adanya Tuhan dan mukjizat. Kritik kedua filosof itu bukan berarti tanpa penolakan. Kritik kausalitas Al-Ghazali telah dikritik balik oleh filosof muslim Ibnu Rusyd yang menganggapnya sebagai bentuk sikap anti-pemikiran dan meleburkan ilmu pengetahuan pada ilmu ketuhanan. Kritik kausalitas Hume pun dikritik balik oleh filosof Kant dengan mengatakan bahwa kausalitas merupakan salah satu kategori transendental, yaitu sesuatu yang melampaui hal-hal yang bisa dirasakan oleh indera. Hal itu bersifat terberi dalam pikiran manusia (apriori), sehingga tak ditemukan dalam fakta empiris mana pun.
Muhammad Akbar Darojat Restu Putra adalah mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat Islam yang menekuni kajian filsafat politik, ekologi, sosiologi dan studi Islam.
Ikuti Restu di Instagram: @restu.putra123
Artikel Terkait
Memerangi Maskulinitas Beracun, Tanggung Jawab Siapa?
Memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki, melainkan untuk memerangi dampak berbahaya dari maskulinitas tradisional, seperti dominasi dan persainganMenjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.