Biarkanlah Anak Bermimpi!: Menyingkap Makna Keluarga
October 31, 2023ASEAN: Peningkatan Kerja Sama Regional dan Perubahan Formasi Kelas
November 13, 2023Photo by Matthew Ball on Unsplash
OPINI
Meneropong Masa Depan Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia
oleh Claudia Rosari Dewi
Kesehatan mental adalah kita dan kita adalah bagian dari kesehatan mental. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah menekankan bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental.
Meskipun sudah banyak diperhatikan, terutama oleh kaum muda, isu kesehatan mental masih menjadi persoalan yang serius.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2007 dan 2013 menunjukkan kalau gangguan mental (depresi dan kecemasan) diderita oleh 11,6% orang berusia di atas 15 tahun di Indonesia dalam jangka waktu bertahun-tahun. Sementara itu, gangguan jiwa berat (psikosis) ditemukan pada 0,46% sampel di 2007 dan 0,17% pada 2013.
Sayangnya, rasio sumber daya ahli kesehatan jiwa di Indonesia masih sangat terbatas. Data WHO pada 2014 menunjukkan kalau rasio per 100.000 penduduk hanyalah sebesar 0,29 psikiater, 0,18 psikolog, 2,57 perawat, dan 0,05 pekerja sosial. Selain jumlah sumber daya ahli kesehatan jiwa yang terbatas, anggaran untuk penanganan kesehatan mental di Indonesia juga masih sedikit, yaitu hanya sebesar 1% dari total anggaran nasional untuk belanja kesehatan.
Di sisi lain, kita bisa melihat kalau pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki upaya yang baik dalam perencanaan kebijakan, namun masih perlu ditingkatkan dalam hal implementasinya. Pada 2015 misalnya, pemerintah sudah membangun 48 Rumah Sakit Jiwa. Rumah Sakit Ketergantungan Obat juga sudah tersedia di 26 dari 34 provinsi. Jumlah Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang memberikan layanan kesehatan jiwa pun sudah ada sebanyak 4182 dari 9005 Puskesmas (46,4%), ditambah dengan sebanyak 249 (55,95%) dari 445 Rumah Sakit Umum yang sudah menyelenggarakan kesehatan jiwa pelayanan (rawat jalan dan rawat inap).
Akar Masalah
Meskipun lambat, kebijakan kesehatan mental di Indonesia telah menunjukkan perkembangan, terutama kalau kita membandingkannya dengan situasi di beberapa dekade sebelumnya. Pada dekade tersebut, perhatian secara khusus pada masalah kesehatan mental belum terlembaga sampai akhirnya pemerintah mengesahkan UU No.18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Sayangnya, walau peraturan perundang-undangan sudah mengakomodasi persoalan kesehatan jiwa, masih banyak tantangan yang belum terselesaikan, terutama dalam hal pengembangan beberapa peraturan turunan dan minimnya dukungan politik dari pemerintah daerah. Masih sedikit pemerintah daerah yang merealisasikan persoalan kesehatan mental ke dalam peraturan atau kebijakan khusus dan menerjemahkannya ke dalam program yang lebih operasional. Padahal, pengesahan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa sudah menunjukkan kalau pemerintah pusat sebenarnya sudah memiliki komitmen untuk memobilisasi sumber daya di tingkat daerah guna memperkuat kesehatan mental masyarakat.
Selain itu, perumusan kebijakan kesehatan mental masih kurang didukung oleh data yang memadai, sebagaimana yang dihadapi oleh banyak negara berkembang lainnya. Padahal, data berkualitas sangat penting dalam merumuskan kebijakan yang efektif, agar upaya penanganan kesehatan mental di tingkat pelayanan kesehatan primer dan sekunder dapat dioptimalkan. Di samping itu, upaya untuk mengarusutamakan masalah kesehatan mental juga masih berfokus pada aspek kuratif dan rehabilitatif (penyembuhan) dan cenderung mengabaikan upaya preventif (pencegahan) dan promotif.
Kebijakan Kesehatan Mental yang Ideal
Untuk merealisasikan kebijakan kesehatan mental yang kuat, ada empat faktor yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.
Komunikasi
Informasi mengenai kebijakan kesehatan jiwa penting untuk dikomunikasikan kepada semua lini pemangku kebijakan agar tujuan dan sasaran kebijakan dapat tercapai. Sasaran komunikasi itu mencakup pelaksana kebijakan, kelompok sasaran kebijakan, dan pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.
Peran komunikasi sangatlah penting, baik dari proses perencanaan maupun pelaksanaan kebijakan. Selain itu, kehadiran pimpinan tertinggi yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan Undang-Undang Kesehatan Jiwa diharapkan dapat membangun jaringan komunikasi yang berkesinambungan dengan pemerintah daerah. Terjalinnya komunikasi semacam itu diharapkan bisa mengoptimalkan implementasi kebijakan kesehatan jiwa di berbagai tingkatan pemerintahan.
Sumber Daya
Sumber daya mengenai implementasi kebijakan kesehatan jiwa meliputi instrumen kebijakan, alokasi anggaran, sumber daya manusia, sumber daya otoritas, dan fasilitas kesehatan. Artinya, implementasi kebijakan memerlukan sumber penggerak dan pelaksana yang harus tersedia mulai dari instrumen untuk melaksanakan kebijakan, wewenang atau otoritas, dan kelengkapan sarana dan prasarana.
Pemimpin dan pemangku kebijakan perlu mendeklarasikan komitmennya untuk mengarusutamakan isu kesehatan mental. Kemudian, para pelaksana kebijakan, berdasarkan wewenangnya masing-masing, perlu menerjemahkannya ke dalam instrumen penanganan kesehatan mental dengan disertai penyediaan dukungan anggaran, fasilitas dan infrastruktur penunjang yang lebih konkret.
Disposisi (Pelaksana Kebijakan)
Manajemen kesehatan mental harus dipahami sebagai sesuatu yang fundamental dan merupakan bagian dari kebutuhan dari keseluruhan aspek kesehatan. Dengan kata lain, kebijakan manajemen kesehatan mental harus diletakkan sama pentingnya dengan mengelola urusan masalah kesehatan secara umum. Oleh sebab itu, pembuat dan pelaksana kebijakan kesehatan jiwa di semua tingkatan mewujudkan amanat dalam UU No. 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Struktur Birokrasi
Sebagai suatu yang relatif ‘baru’, implementasi kebijakan kesehatan mental akan mengalami hambatan kalau tidak ada panduan tertulis atau SOP (Standard Operational Procedure) yang mendasarinya. SOP diperlukan karena struktur birokrasi di Indonesia yang kerap mengalami bongkar-pasang atau berganti personel dalam waktu relatif cepat. Selain itu, struktur birokrasi di Indonesia yang kompleks membuat implementasi kebijakan kesehatan mental melibatkan berbagai lembaga pemerintahan dari beragam sektor.
Tanpa adanya SOP yang jelas, ketidaksinambungan implementasi kebijakan antar-unit pemerintahan sangat berpotensi akan terjadi. Panduan tertulis dalam bentuk SOP diharapkan bisa menjadi cetak biru yang menjadi landasan kebijakan, memuat intervensi yang efektif berdasarkan beban penyakit mental, memberi gambaran aktor pemerintah strategis yang perlu dilibatkan, dan menjadi pedoman kesepakatan antar-unit pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan kesehatan mental.
Catatan Akhir
Pandemi COVID-19 yang terjadi beberapa waktu lalu membuktikan kalau kesehatan mental menjadi salah satu komponen paling penting yang perlu disertakan dalam kebijakan penanganan pandemi. Sebabnya, masalah kesehatan mental sangat berkaitan dengan hilangnya produktivitas masyarakat dan, secara tidak langsung, juga berkaitan dengan pengendalian pandemi COVID-19.
Mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam layanan berbasis masyarakat sebagai cara untuk memastikan cakupan universal pelayanan kesehatan mental menjadi sangat penting. ~ Claudia Rosari Dewi Share on XPemerintah pun mengakui kalau tanpa memberikan perhatian pada isu kesehatan mental, khususnya dalam integrasi implementasi kebijakan terkait penanggulangan pandemi COVID-19, potensi kerugian yang akan ditanggung paska-pandemi akan semakin besar. Mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam layanan berbasis masyarakat sebagai cara untuk memastikan cakupan universal pelayanan kesehatan mental, dengan demikian, menjadi sangat penting.
Selain itu, model pemberdayaan partisipatif yang bersifat bottom-up (dari bawah ke atas) menjadi pilihan rasional untuk mengatasi masalah minimnya sumber daya dan menumpas stigma sebagai penghalang keberhasilan program kesehatan mental di Indonesia.
Claudia Rosari Dewi adalah praktisi dan peneliti bidang psikologi yang menamatkan pendidikan sarjana dan magister di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan University of Bristol, Inggris. Bekerja di Nalar Institute membuat Claudia memiliki pandangan dan perspektif yang lebih luas terkait psikologi dan kebijakan publik. Saat ini, Claudia menekuni behavioural policy sebagai irisan antara psikologi dan kebijakan publik.
Artikel Terkait
Memerangi Maskulinitas Beracun, Tanggung Jawab Siapa?
Memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki, melainkan untuk memerangi dampak berbahaya dari maskulinitas tradisional, seperti dominasi dan persainganMenjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.