“Gerakan mahasiswa ya bakal gitu-gitu aja, kecuali berani gila mengusung revolusi pendidikan.”
Akhir-akhir ini, saya merasa jenuh dengan arah gerakan mahasiswa Indonesia yang linglung terhadap arah geraknya sendiri. Insan-insan di dalamnya hanya reaktif setiap kali melakukan pergerakan. Arah juangnya pun bergantung pada keributan yang sedang ditimbulkan elit.
Kelimbungan ini dapat kita lihat sejak protes mahasiswa terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi calon wakil presiden. Berbagai tuntutan muncul dari gerakan mahasiswa, mulai dari tolak putusan MK hingga boikot partai politik. Tuntutan mereka bersifat reaktif dan, lagi-lagi, hanya bergantung pada masalah yang sedang diributkan elit politik.
Sebetulnya, bukan sekali dua kali ini saja kita melihat gerakan mahasiswa yang cenderung reaktif. Fenomena demikian sudah menjadi iklim tahunan. Sejak era “reformasi dikorupsi” atau gerakan untuk menolak Undang-Undang Omnibus Law, menurut saya, gerakan mahasiswa tidak lebih hanya ‘penanggap’ atas setiap kebijakan yang diinisiasi pemerintah.
Bahkan, lebih jauh lagi, sejak era Orde Baru, kritikus Suryadi Radjab sudah mengkritik gerakan mahasiswa yang reaktif dan moralis pada tulisannya di majalah Prisma nomor 10 tahun 1991. Suryadi melihat gerakan mahasiswa tidak lebih seperti peran resi dalam pewayangan Jawa. Kelompok resi dikenal sebagai golongan dengan kebijaksanaan tinggi yang akan turun gunung untuk mengentaskan masalah dan menghilang ketika masalah telah usai.
Namun, logika moralis itu pada akhirnya mendegradasi gerakan mahasiswa. Hari ini, selain tidak punya arah gerak yang jelas, gerakan mahasiswa pun gagal mendapat simpati besar-besaran dari insan mahasiswa itu sendiri.
Terbukti, dari beberapa aksi-aksi yang dilakukan, gerakan mahasiswa tidak bisa memobilisasi massa secara besar, seperti yang terlihat pada aksi demonstrasi terkait penolakan putusan MK dan dinasti politik yang ramai beberapa bulan lalu. Pada aksi tersebut, eskalasi massa yang terlibat jauh lebih sedikit dibanding aksi menolak Omnibus Law maupun ‘reformasi dikorupsi.’
Dalam situasi yang begitu pelik, saya pikir, logika moralis tidak bisa terus-terusan dipertahankan oleh gerakan mahasiswa. Logika itu cenderung menciptakan jarak antara mahasiswa dengan masalah mereka sendiri. Seolah-olah, mahasiswa merupakan kelompok yang sepenuhnya bijak dan tidak memiliki masalah.
Itu mengakibatkan mahasiswa tercerabut dari basis organik pergerakannya. Mereka makin sibuk mengurus demokrasi dan segala tetek bengeknya, tetapi malah kelimpungan dengan masalah sektoralnya sendiri.
Biaya Kuliah Melonjak, Mahasiswa Tercekik
Salah satu hal yang saya yakini, gerakan mahasiswa harus diorganisasi secara organik yang berarti semangat bergerak diperoleh dari keresahan yang melingkupi setiap insan gerakan tersebut.
Saya masih ingat fenomena menarik yang mempertegas bahwa mahasiswa perlu menolong diri mereka sendiri sebelum ‘menolong’ rakyat. Beberapa waktu lalu, mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) melakukan protes atas kebijakan pinjaman online untuk membayar biaya kuliah. Beberapa mahasiswa yang tidak bisa membayar terpaksa harus mengajukan pinjaman berbunga. Kalau ingin cuti kuliah pun, mereka harus membayar setengahnya. Jika tidak, mereka diancam akan dikeluarkan dari kampus (drop out).
Lebih parahnya lagi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) baru saja mengeluarkan aturan baru tentang standar biaya operasional perguruan tinggi yang termaktub dalam Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 dan Keputusan Mendikbud Ristek Nomor 54 Tahun 2024. Keduanya secara signifikan akan berkontribusi meningkatkan biaya kuliah di perguruan tinggi negeri.
Dalam aturan baru tersebut, Kemendikbud Ristek membakukan biaya kuliah tunggal (BKT) sesuai dengan wilayah yang ada di Indonesia. Sebagai gambaran kecil, angka BKT nantinya akan naik dari 1 hingga 8 juta di Jawa Tengah–kenaikan akan lebih signifikan di program studi dengan akreditasi internasional.
Kenaikan tersebut sudah terlihat di Universitas Jenderal Soedirman. Pada 2022 lalu, Program Studi (Prodi) Sastra Jepang di universitas tersebut misalnya, hanya memiliki BKT sebesar Rp 7.011.000. Angka itu lalu naik menjadi Rp 8.664.000 pada 2024. Di Prodi Kimia lain lagi, BKT tahun ini mencapai Rp 19.908.000, sementara pada dua tahun lalu angkanya hanya Rp 11.228.000.
Bila berkaca dari hitung-hitungan tersebut, kita bisa melihat kalau sudah terjadi inflasi biaya pendidikan tinggi sebesar 20 hingga 80 persen dalam kurun waktu dua tahun saja. Itu mengibaratkan seperti harga beras yang semula hanya 10 ribu per liter menjadi 12 hingga 18 ribu.
Peningkatan BKT gila-gilaan dapat menjadi indikasi adanya kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang harus ditanggung mahasiswa. Lebih jauh lagi, hal itu juga menunjukkan kalau perguruan tinggi nantinya hanya akan diisi oleh mereka-mereka yang memiliki uang.
Dalam hal ini, saya pikir, gerakan mahasiswa sudah tidak lagi relevan menggunakan logika heroisme ‘menolong’ rakyat seperti yang tertuang di lagu “darah juang.” Sudah saatnya mahasiswa menolong diri mereka sendiri sekaligus memahami bahwa mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang sama-sama memiliki masalah.
Hal itu dapat menjadi obat bagi kelimbungan gerakan mahasiswa saat ini: sudah saatnya mahasiswa kembali mengurus masalah pendidikan tinggi yang menjadi tempat mereka berpijak. Seperti kata filsuf Antonio Gramsci, seorang intelektual akan dikatakan organik apabila ia mampu memperjuangkan apa yang menjadi keresahan di wilayah sektoralnya. Maka dari itu, gerakan mahasiswa akan organik bila mereka memperjuangkan nasib mereka di pendidikan tinggi yang sedang ada di ujung tanduk.
Obat untuk Gerakan Mahasiswa: Revolusi Pendidikan Tinggi
Satu tawaran yang saya imajinasikan tentang gerakan mahasiswa adalah gerakan revolusi pendidikan tinggi. Revolusi pendidikan tinggi harus berfokus pada dua hal: akses pendidikan tinggi dan pembenahan kultur akademik.
Dalam hal akses, revolusi pendidikan tinggi harus memastikan kampus ramah bagi berbagai kalangan ekonomi. Maka dari itu, biaya pendidikan tinggi harus murah atau (lebih radikal lagi) gratis.
Ketika kita melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi kasar perguruan tinggi di wilayah kuintil 1 (golongan ekonomi ke bawah) pada 2023 hanya berada di angka 17,51 persen. Sementara di kuintil 5 (golongan ekonomi atas), angkanya sudah mencapai 52,66 persen.
Artinya, dari 100 orang di kelompok sangat miskin, hanya ada 17 di antaranya yang dapat berkuliah. Angka itu tentu saja berbanding terbalik dengan kelompok paling atas.
Dibanding terus bergeliat di pusaran elit nasional yang begitu-begitu saja, gerakan mahasiswa lebih baik kembali fokus ke basis pergerakannya terlebih dahulu. ~ Izam Komaruzaman Share on XHal itu sekaligus menimbulkan pertanyaan, bagaimana visi Indonesia emas bisa tercapai kalau kampus hanya aksesibel untuk mereka yang kaya?
Namun, saya juga menyadari bahwa pendidikan tinggi yang terjangkau saja tidak cukup untuk skala revolusi pendidikan. Dalam situasi hari ini, bila pendidikan tinggi gratis pun, kualitas orang-orang di dalamnya akan tetap sama saja.
Situasi itu menekankan pentingnya pembenahan kultur akademik. Sebagai bagian dari masyarakat kampus, saya sendiri mengamini kultur akademik kita sangat buruk. Kasus dosen di Universitas Nasional yang melanggar kode etik akademik mungkin bisa menjadi salah satu contoh nyata betapa buruknya kultur di perguruan tinggi kita.
Bukti lain dapat dilihat dari fenomena hari ini ketika mendapat gelar cum laude di Indonesia hanya seperti pepesan kosong. Nyatanya, kampus sengaja ‘membaguskan’ nilai mahasiswa demi akreditasi saja.
Revolusi pendidikan harus mengubah kultur mekanis yang hanya berorientasi pada hasil semacam itu. Menciptakan iklim pendidikan tinggi yang menjunjung tinggi etika akademik dan berorientasi pada proses harus lebih dikedepankan.
Insan-insan gerakan mahasiswa, dibanding terus bergeliat di pusaran elit nasional yang begitu-begitu saja, lebih baik kembali fokus ke basis pergerakannya terlebih dahulu. Seperti yang saya katakan di awal, sudah saatnya mahasiswa menolong diri mereka sendiri.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Izam Komaruzaman adalah seorang mahasiswa pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus bagian dari LPM Didaktika UNJ. Izam memiliki ketertarikan terhadap isu-isu pendidikan tinggi.