Meneropong Masa Depan Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia
November 10, 2023Mengapa Kita Harus Belajar Ekonomi Marxisme?
November 13, 2023Gambar oleh Palgrave Macmillan
RESENSI BUKU
ASEAN: Peningkatan Kerja Sama Regional dan Perubahan Formasi Kelas
oleh Nandito Oktaviano
Sejak awal terbentuk, ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) telah mengalami berbagai perkembangan dan modifikasi. Studi Hubungan Internasional (HI) menganggap kalau perkembangan ASEAN merupakan ‘penyimpangan’ atau anomali, karena tidak bisa dianalisis dengan kerangka teori ilmu HI yang dominan.
Dalam buku The Rise of International Capital: Indonesian Conglomerates in ASEAN ini, Faris Al-Fadhat tidak secara eksplisit mempersoalkan anomali tersebut. Meskipun begitu, Farid berusaha melampauinya, bahkan menawarkan kerangka pendekatan yang lebih relevan. Keseluruhan alur pikir buku ini bertujuan untuk menjelaskan asal-usul ASEAN dan berbagai macam modifikasi kebijakan ekonomi yang muncul dalam perkembangannya.
ASEAN dalam Teori Hubungan Internasional
Pada bab 2 dan bab 3, Faris memberikan paparan umum soal pendekatan-pendekatan yang sudah ada di studi HI dan kerangka konseptual yang akan ia ajukan. Pertama-tama, ia memaparkan soal penggunaan pendekatan realisme dan liberalisme dalam ilmu HI untuk menjelaskan asal-usul pembentukan ASEAN.
Realisme melihat pembentukan ASEAN sebagai dorongan untuk bertahan dalam percaturan politik internasional. Artinya, masing-masing negara ASEAN berusaha untuk bekerja sama supaya tetap memiliki signifikansi sekaligus bertahan dalam situasi internasional yang serba berpusat pada pengaturan diri sendiri (self-centered). Hal itu, terutama, merujuk pada masa pembentukan ASEAN yang didirikan di masa perang dingin. Dalam perkembangannya, keseluruhan modifikasi kebijakan ASEAN selalu diwarnai oleh motif untuk menyeimbangkan kekuatan politik global (survival).
Sementara itu, pendekatan liberalisme berargumen kalau faktor utama pembentukan ASEAN adalah dorongan untuk saling bekerja sama. Permasalahan negara-negara ASEAN yang semakin kompleks membuat mereka merasa perlu bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di tingkat regional.
Argumentasi liberalisme bisa dipakai untuk menjelaskan bentuk kerja sama ekonomi regional (regionalisme ekonomi) yang semakin mengarahkan ASEAN pada terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan relasi interdependensi (saling bergantung) antar-negara.
Kedua pendekatan tersebut, meski telah berusaha menjelaskan modus kerja sama negara-negara ASEAN, masih mempunyai kelemahan mendasar.
Pertama, keduanya mengasumsikan kalau negara merupakan suatu unit utuh yang mempunyai kepentingan sama. Kedua, nada pesimis dari realisme dan pandangan optimis dari liberalisme soal kerja sama ekonomi tidak mampu menjelaskan fenomena pembentukan ASEAN secara lengkap. Pandangan liberalisme yang cenderung lugu dan naif terkesan mengabaikan masalah konflik yang nyata melibatkan negara-negara ASEAN. Sementara itu, realisme, dengan adagium dasar state survival, terlalu memberikan jawaban yang sederhana terhadap permasalahan struktural yang menggerakkan pembentukan ASEAN serta mengabaikan capaian-capaian kerja sama ekonomi yang sudah berhasil diraih ASEAN.
Berebut Pengaruh: Bersatunya Kelas Kapitalis Internasional dan Elit Politik
Dalam merespon kedua pendekatan teoretis di muka, Faris mengerangkakan pendekatan yang akan ia gunakan dalam buku ini. Secara umum, ia banyak menggunakan pendekatan Marxisme yang kental dengan perspektif ekonomi politik dan memuat pemahaman mendasar soal relasi negara dan kapitalisme. Kerangka itu dapat dipahami sebagai relasi yang saling mendukung, di mana negara membutuhkan kapitalisme dan begitu pun sebaliknya.
Bersandar pada pendekatan tersebut, Faris pun mengajukan kerangka konseptual yang bisa menjelaskan pembentukan inisiatif-inisiatif kerja sama ekonomi regional. Pertama, Faris mengajukan argumen kalau ada kecenderungan kapitalisme untuk melakukan proses internasionalisasi. Proses internasionalisasi kapital itu melibatkan tiga hal utama, yaitu perluasan sirkuit produksi, komoditas, dan uang. Ujung-ujungnya, keseluruhan proses ini menciptakan keadaan di mana komoditas hanya dapat dikonsepkan, diproduksi, dan direalisasikan dalam skala global (internasionalisasi).
Meskipun demikian, sebagai suatu penegasan, keseluruhan proses ini tidak bisa terjadi tanpa proses politik yang disebut dengan, mengutip filsuf politik Hannah Arendt, akumulasi kekuasaan (accumulation of power). Konsep itu bisa diartikan sebagai pentingnya peran suatu struktur politik yang mempunyai kekuatan tak terbatas, baik negara, institusi regional, ataupun institusi global, untuk mengatur dan menjamin proses akumulasi kapital dan siklus dari sirkuit kapital. Dalam latar seperti itulah, Faris berpendapat kalau keseluruhan inisiatif pembentukan kerja sama ekonomi regional mesti dibedah.
Keseluruhan proses di atas tidak boleh diasumsikan sebagai suatu proses untuk mencapai suatu tujuan tertentu (teleologis) semata. Alih-alih demikian, proses pembentukan dan akumulasi kapital di belakangnya, atau Marx menyebutnya sebagai materialisme dialektis historis, juga perlu dianalisis terlebih dulu. Dalam hal ini, Faris menempatkan negara sebagai, laiknya pendekatan Marxis pada umumnya, medan yang diperebutkan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu.
Faris berpendapat bahwa kelompok sosial yang signifikan dalam proses ini adalah kelas kapitalis dan elit politik. Meski begitu, kepentingan di antara sesama kelas kapitalis maupun elit politik tidak selalu sama. Secara praktis, Faris mengklasifikasi beberapa jenis kelas kapitalis berdasarkan skala akumulasi kapital dalam pasar global. Beberapa di antaranya adalah kelas kapitalis internasional, kelas kapitalis dengan investasi terbatas, kelas kapitalis dengan pasar terbatas, dan kelas kapitalis nasional.
Pada konteks internasionalisasi kapital maupun inisiasi regionalisme ekonomi, kelas kapitalis internasional, yaitu mereka yang mempunyai kapasitas investasi, produksi, dan komoditas berskala internasional, mempunyai kepentingan yang dominan. Kelompok ini kemudian berhasil mendorong kebijakan pembentukan ASEAN yang dapat ditelisik dari proses historis dialektis di mana mereka telah mampu mencapai posisi dominan secara domestik di suatu negara. Oleh karena ini, Faris menekankan pentingnya analisis historis terhadap proses ini.
Secara ringkas Faris menunjukkan bahwa pembentukan ASEAN maupun berbagai modifikasi kebijakan di dalamnya dipengaruhi secara signifikan oleh proses internasionalisasi kapital dan peran negara yang memfasilitasinya. Jika dilihat lebih detail, proses historis perebutan posisi penting di tingkat domestik masing-masing negara mesti ditelaah dengan seksama.
Formasi Kelas dan Internasionalisasi Kapital di ASEAN
Asal-usul terbentuknya ASEAN, dalam pandangan dominan, sering dianggap hanya dilatarbelakangi oleh faktor politik. Hal ini utamanya merujuk pada situasi perang dingin di mana negara-negara Asia Tenggara merespon peristiwa itu dengan membangun solidaritas dan organisasi regional bernama ASEAN. Untuk ini, proses pembentukan ASEAN sering dianggap sebagai suatu proses top-down (dari atas ke bawah), bukan bottom-up (dari bawah ke atas).
Meski begitu, hal itu cenderung mengabaikan proses domestik yang terjadi pada banyak negara di Asia Tenggara. Di Indonesia misalnya, ide pembentukan ASEAN muncul ketika rezim Soeharto berkuasa dan masa itu erat kaitannya dengan penghancuran gerakan kiri (gerakan pro-komunisme) secara sistemik. Senada dengan itu, di Filipina, rezim Ferdinand Marcos juga kurang lebih melakukan hal serupa.
Selain itu, perlu untuk menggarisbawahi pula bahwa piagam ASEAN yang pertama kali dirumuskan juga sudah memuat aspek pentingnya stabilitas politik demi menyukseskan proyek pembangunan di masing-masing negara ASEAN. Ini adalah hal yang jelas menunjukkan permainan kepentingan kelas kapitalis di ASEAN. Hal itu sebenarnya tidak terlalu mengagetkan, mengingat kebanyakan kelas kapitalis di Asia Tenggara secara dominan memang ditopang oleh negara agar bisa berkembang.
Piagam ASEAN yang memuat aspek penting stabilitas politik bagi kesuksesan program pembangunan menunjukkan permainan kepentingan kelas kapitalis ~ Nandito Oktaviano Share on XMelihat sejarahnya, konteks politik di beberapa negara seperti Indonesia dan Malaysia sebenarnya tidak terlalu mendukung inisiatif pembentukan ASEAN yang dimulai sejak 1977. Waktu itu, Indonesia dan Malaysia memiliki model pembangunan yang memberi penekanan kuat pada pembangunan domestik. Preferensi tersebut membuat formasi kelas domestik, berikut kepentingan kelas yang berkuasa, menjadi dominan. Mereka memberikan akses yang besar pada pasar domestik dan proyek strategis yang digerakan oleh kelas kapitalis domestik. Situasi itu membuat inisiatif proyek regionalisme ekonomi ASEAN menjadi terhambat karena proses pembentukannya memerlukan peran kapitalis internasional. Alhasil, intensifikasi kerja sama ekonomi dan perdagangan intra-regional di antara berbagai negara di ASEAN pun baru bisa terlaksana secara intensif setelah 1999.
Berangkat dari argumentasi terakhir tadi, proyek kerja sama ekonomi yang baru berjalan intensif setelah 1999 itu dapat ditelaah lebih lanjut. Faris berargumen bahwa krisis yang terjadi pada 1999 membuat negara-negara ASEAN membuka pasar domestiknya dan itu membawa perubahan mendasar bagi formasi kelas dan kapitalisme di masing-masing negara. Membuka diri pada pasar bebas artinya membuat peran negara dalam melindungi pasar domestik, berikut kelas kapitalis domestik, menjadi semakin berkurang. Model akumulasi kapital yang semakin terinternasionalisasi itu berujung pada perubahan model pembangunan dan perpolitikan yang juga semakin terinternasionalisasi.
Untuk membuktikan pernyataan di atas, Faris menjelaskan secara umum perkembangan kapitalisme di beberapa negara ASEAN, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Meski menganalisis banyak negara, Indonesia merupakan negara yang paling spesifik dilihat oleh Faris.
Faris kemudian secara khusus menelaah salah satu perusahaan dari konglomerat Indonesia, yaitu Salim Group. Pada 1995-1996, penjualan Salim Group secara dominan mengarah ke pasar domestik Indonesia, yaitu sebesar 71 persen domestik, sementara 25 persen sisanya mengarah ke pasar internasional, dan sisanya lagi adalah pasar campuran. Di saat krisis finansial terjadi, Salim Group mengalami kerugian yang besar karena naik turunnya (fluktuasi) harga dan menghilangnya dukungan (back up) dari negara. Merespon hal itu, pemilik baru Salim Group, Anthony Salim, memutuskan supaya Salim Group mengoperasikan perusahaannya sebesar 50 persen di Indonesia dan 50 persen di luar Indonesia.
Dengan cara itu, ketergantungan terhadap pasar Indonesia akan berkurang, tetapi secara bersamaan juga tetap mempertahankan Indonesia sebagai pasar pentingnya. Dalam perkembangannya, perubahan mode akumulasi kapital Salim Group juga membuat mereka sangat agresif dalam mendorong proses intensifikasi kerja sama regional di ASEAN. Secara praktis, itu dilakukan dengan memanfaatkan beberapa celah strategis, seperti melakukan manuver dan negosiasi (lobbying) dengan politisi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Salim Group melakukan manuver tersebut juga dengan bekerja sama langsung dengan para politisi berpengaruh dalam bidang ekonomi di negara tertentu atau dengan menjadikan politisi tersebut komisioner di Salim Group. Upaya itu menghasilkan dampak politis yang menguntungkan Salim Group karena memberikannya akses ke pasar domestik serta pasar ASEAN lewat adanya jaminan pembentukan kerja sama regional yang semakin intensif.
Catatan Akhir
Secara umum argumentasi utama buku ini mengarah pada signifikansi perubahan modus akumulasi kapital dan perubahan formasi kelas secara domestik di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini berpengaruh besar terhadap pembentukan maupun intensifikasi kerja sama intra-regional di ASEAN. Proses itu dipengaruhi pula oleh internasionalisasi kapital dari kelas kapitalis domestik di negara-negara ASEAN. Untuk mendapatkan jaminan dan kepastian akumulasi kapitalnya, regulasi kerja sama regional penting untuk diadakan. Hal itu sudah tercermin dalam inisiatif Masyarakat Ekonomi ASEAN dan proyek-proyek serupa. Dengan penjelasan itu, buku ini menawarkan suatu penjelasan yang jauh lebih kompleks dan komprehensif terkait ASEAN.
Alih-alih terjebak dalam kebuntuan teorisasi dominan ilmu HI dalam merumuskan modus kerja ASEAN, buku ini justru memberi tawaran jawaban yang jauh lebih memuaskan. Lebih jauh, bagi saya pribadi, buku ini berhasil membuktikan bahwa pendekatan Marxisme dalam studi HI secara substansial mampu menawarkan penjelasan yang lebih tajam. Mengingat ilmu HI di Indonesia cenderung alergi pada pendekatan ini, buku ini seperti membawa angin segar dan sudah seharusnya dijadikan langkah awal untuk mengembangkan kerangka pemikiran Marxisme dalam studi-studi Hubungan Internasional.
Nandito Oktaviano adalah penulis lepas yang mempunyai ketertarikan besar terhadap isu ekonomi politik internasional, geopolitik, agama, dan rasisme. Ia dapat dihubungi melalui email [email protected].
Artikel Terkait
Memerangi Maskulinitas Beracun, Tanggung Jawab Siapa?
Memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki, melainkan untuk memerangi dampak berbahaya dari maskulinitas tradisional, seperti dominasi dan persainganMenjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.