Orang-orang Religius dan Wasiat Kematian Dorce
February 18, 2022Kasus-kasus Kekerasan terhadap Anak: Gejala Dari Sistem Perlindungan Anak yang Masih Semrawut
March 1, 2022OPINI
Memahami Autisme Secara Lebih Dalam, Membangun Kesadaran yang Lebih Inklusif
oleh Ireisha Anindya
Kesadaran atas autisme yang sesuai dengan realita hidup individu autistik penting untuk dikembangkan dalam masyarakat. Individu autistik, yang berhadapan langsung dengan realita sehari-hari, memiliki perspektif yang patut diperhatikan dan didengarkan.
Autism Spectrum Disorder (ASD) atau yang juga yang dikenal sebagai Spektrum Autisme merupakan istilah yang jamak diketahui sebagai kondisi perbedaan saraf. Berdasarkan kategori disabilitas yang diusung oleh Undang Undang No. 8 Tahun 2016 Mengenai Disabilitas, autisme tergolong dalam disabilitas mental.
Sebagai kondisi yang mempengaruhi fungsi otak, autisme kerap dianggap sebagai invisible disabilities atau disabilitas tak kasatmata. Dikotomi disabilitas tak kasatmata dan kasatmata, umumnya dilandasi dikotomi fisik dan mental. Disabilitas yang bersifat fisik memengaruhi keadaan tubuh yang berada di “luar,” sehingga dapat diindra. Sementara itu, disabilitas yang bersifat mental memengaruhi mental yang berada di “dalam,” sehingga tidak dapat diindra.
Dikotomi yang kaku pada nyatanya menghilangkan nuansa yang beragam dan kompleks dari pengalaman penyandang disabilitas, termasuk individu autistik. Autisme sebagai disabilitas yang memengaruhi fungsi otak seseorang menyebabkan berbagai proses kognitif dalam pengelolaan diri turut dipengaruhi.
Proses pengelolaan diri berhubungan erat dengan bagaimana individu autistik mengelola tubuh serta mempresentasikan diri melalui pembawaan mereka. Individu autistik barangkali tidak memiliki penanda fisik diagnosis yang saklek dan pakem, tapi autisme bukan saja merupakan disabilitas yang mempengaruhi mental, melainkan juga kondisi yang mempengaruhi bagaimana seseorang mengelola dan mempresentasikan tubuh mereka.
Proses pengelolaan tubuh yang berbeda, walau tidak kentara, merupakan sesuatu yang bisa “diindra” dan ditangkap oleh orang lain. Perbedaan presentasi diri serta perilaku autistik yang tergolong di luar standar normatif tak pelak menyebabkan munculnya bias tak sadar yang bersifat negatif dalam benak orang lain ketika berinteraksi dengan individu autistik.
Sebuah hasil penelitian mengenai persepsi neurotipikal—mereka dengan fungsi otak yang dipandang sebagai standar atau tipikal dalam masyarakat—terhadap individu autistik menunjukkan adanya bias negatif dari neurotipikal terhadap individu autistik dalam komunikasi tatap muka yang didasari faktor komunikasi non-verbal seperti ekspresi muka, postur tubuh, serta cara berbicara. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian atas persepsi terhadap individu autistik dewasa, mereka umumnya dipandang kurang terpercaya dibandingkan individu neurotipikal dewasa.
Berbagai karakteristik dan perilaku sosial individu autistik dipandang tidak sejalan dengan ekspektasi sosial, bahkan kerap dipandang sebagai sebuah gangguan. Seperti kontak mata, sebagian individu autistik memiliki cara kontak mata di luar standar—beberapa individu autistik tidak nyaman dengan kontak mata langsung, sedangkan beberapa individu autistik lain tidak peduli dengan kontak mata langsung.
Cara sebagian individu autistik menampilkan ekspresi juga berbeda dengan masyarakat pada umumnya—raut wajah sebagian besar individu autistik dipandang tidak beremosi atau datar oleh masyarakat pada umumnya. Gerak tubuh repetitif atau stimming (seperti mengayun-ayunkan tangan, memain-mainkan objek dengan tangan, atau pengulangan suara) merupakan strategi bagi sebagian besar individu autistik untuk mengelola diri, mengatur emosi, serta mengkomunikasikan perasaan. Tapi, perilaku ini sering dipandang sebagai disruptif.
Teman-teman autistik nonlisan, yang tidak berkomunikasi dan mempresentasikan dirinya melalui percakapan, juga kerap diasumsikan tidak memiliki kompetensi dikarenakan gerak mulut mereka tidak mengekspresikan komunikasi.
Tak salah lagi, peliyanan (othering) individu autistik di dalam masyarakat mencakup komponen jiwa-raga (bodymind) sebagai kesatuan. Penggunaan istilah jiwa-raga ditawarkan oleh kajian gender-disabilitas kritis sebagai kerangka untuk melihat bagaimana kondisi fisik dan mental saling memengaruhi satu sama lain. Konsep jiwa-raga sebagai satu entitas yang terintegrasi memungkinkan ruang yang inklusif untuk membahas ragam pengalaman disabilitas serta mengulas bagaimana kekompleksan identitas penyandang disabilitas terbentuk. Pengalaman jiwa-raga seseorang disituasikan di tengah-tengah medan sosial-budaya, sehingga pandangan-pandangan yang menilai, mengukur, dan menstandarisasi jiwa-raga memengaruhi perlakuan masyarakat terhadap ragam jiwa-raga.
Konsep jiwa-raga sebagai satu entitas yang terintegrasi memungkinkan ruang yang inklusif untuk membahas ragam pengalaman disabilitas. ~Ireisha Anindya Share on XPandangan yang meliyankan individu autistik secara jiwa-raga serta kurangnya pemahaman atas pendekatan yang sensitif atas kondisi spektrum autisme yang kompleks melandasi tindak diskriminasi yang dialami oleh individu autistik dalam berbagai ranah.
- Pendidikan. Sistem pendidikan pada saat ini masih belum dapat sepenuhnya diakses oleh individu autistik. Kebijakan pendidikan inklusif yang diusung oleh pemerintah tidak dapat diakses secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Sarana pendidikan yang memadai di Indonesia masih belum menjangkau seluruh daerah, sehingga tidak semua daerah memiliki infrastruktur serta sumber daya manusia yang cukup untuk mempraktikkan pendidikan inklusif. Selain itu, kesadaran terhadap autisme di Indonesia masih rendah, sehingga masih banyak tenaga pengajar yang memiliki bias negatif terhadap siswa-siswi autistik. Maka, tidaklah mengherankan bahwa murid-murid di sekolah pun masih belum memiliki kesadaran yang baik atas autisme sehingga murid-murid autistik kerap menerima perundungan. Perilaku individu autistik distigma dan dipandang sebagai “aneh”, sehingga murid autistik rentan menerima tindakan perundungan dan diskriminasi.
Lebih jauh lagi, sistem pendidikan tinggi masih belum ramah terhadap penyandang disabilitas, khususnya individu autistik. Di Indonesia sendiri, hanya tujuh belas universitas yang memiliki Unit Layanan Disabilitas untuk membantu mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Selain itu, tidak ada data yang tersedia mengenai jumlah mahasiswa autistik di Indonesia, tapi data dari Inggris menunjukkan bahwa 2.4% murid didiagnosis autisme. Dari angka tersebut, kurang dari 40% murid autistik yang dapat menyelesaikan pendidikan tinggi. - Lingkungan kerja. Budaya kerja yang masih mengikuti bias “normal” berdasarkan standar di masyarakat menyebabkan individu autistik mengalami kesulitan dalam berbagai aspek, mulai dari pencarian kerja, interaksi dan politik kantor, rangsangan sensorik pada lingkungan tempat kerja, hingga alur kerja. Wawancara yang merupakan syarat untuk rekrutmen pekerjaan menjadi penghalang bagi individu autistik untuk mendapatkan pekerjaan, mengingat presentasi diri individu autistik yang berbeda dengan standar normal dapat menimbulkan bias negatif yang memengaruhi persepsi pewawancara. Selain itu, perbedaan proses komunikasi, cara berpikir, dan proses sensorik turut memengaruhi bagaimana individu autistik menjalankan pekerjaannya.
Lebih dari 70% individu autistik dalam angkatan kerja yang telah menerima diagnosis masih tergolong pengangguran, sebagaimana data-data yang tersedia. Berdasarkan data nasional Inggris pada 2020, hanya 21% individu autistik yang berstatus sebagai pekerja. Jumlah tersebut tidak jauh dari data yang tersedia di Amerika Serikat: hanya satu dari tiga individu autistik dewasa berstatus sebagai pekerja. - Penegakan hukum. Aparat hukum kerap menjadi responden pertama berbagai kasus kejahatan serta kecelakaan. Sayangnya, individu autistik memiliki presentasi diri yang berbeda dengan ekspektasi sosial pada umumnya, sehingga mereka rentan menjadi korban dari tindak kekerasan aparat. Karakteristik perilaku individu autistik seperti tindakan repetitif, kontak mata yang minim, serta produksi bahasa yang tidak sesuai dengan standar normal menyebabkan individu autistik rawan dikriminalisasi sebagai tersangka.
Aparat-aparat hukum yang belum memiliki kepekaan terhadap ragam kondisi fungsi otak turut menyebabkan individu autistik kesulitan dalam menjalani proses hukum, baik sebagai tersangka ataupun korban. Permasalahan ini semakin pelik, mengingat individu autistik kerap bersinggungan dengan aparat hukum. Pasalnya, posisi mereka yang rentan di masyarakat menyebabkan mereka kerap menjadi korban tindakan kekerasan.
Proses peliyanan individu autistik memengaruhi bagaimana pengalaman hidup mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Bias-bias dan diskriminasi yang dialami dalam berbagai aspek hidup tentu memengaruhi kesejahteraan hidup mereka. Berbagai penelitian mengenai angka harapan hidup individu autistik menunjukkan bahwa individu autistik memiliki angka harapan hidup yang lebih rendah daripada kebanyakan orang pada umumnya.
Kesadaran atas autisme yang sesuai dengan realita hidup individu autistik penting untuk dikembangkan dalam masyarakat. Individu autistik, yang berhadapan langsung dengan realita sehari-hari, memiliki perspektif yang patut diperhatikan dan didengarkan. Sayangnya, hingga saat ini, suara-suara individu autistik masih belum memiliki ruang di dalam masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia.
Keadaan serupa juga terjadi di ranah akademik. Salah satu permasalahan dalam advokasi dan penelitian mengenai autisme, khususnya di Indonesia, adalah perspektif yang masih berpusat pada orang tua dari anak autistik, pengajar dari murid autistik, serta praktisi-praktisi kesehatan yang berkutat dengan individu autistik. Produksi pengetahuan mengenai autisme yang berlangsung pun tidak dapat mencerminkan kebutuhan individu autistik secara utuh.
Suara individu autistik sudah sepatutnya terwadahi dalam ruang yang aman dari penghakiman serta stigma. Di dalam ruang seperti inilah, individu autistik dapat mengekspresikan perspektif mereka dengan lapang. Berbagai bentuk perilaku dan presentasi diri yang dipandang disruptif, seperti gerak tubuh repetitif atau stimming, ekspresi wajah yang datar, atau interaksi tanpa kontak mata tidak dipandang sebagai hal negatif atau sesuatu yang perlu diperbaiki. Pandangan individu autistik terhadap dirinya dan realita hidupnya tidak dinafikan karena ketidaksesuaian cara mereka berkomunikasi dengan standar pada umumnya. Ruang yang bebas bagi individu autistik memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara aktif menyuarakan dirinya. Dan, kita perlu membuka ruang-ruang ini, baik di dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam penelitian.
Suara individu autistik sudah sepatutnya terwadahi dalam ruang yang aman dari penghakiman serta stigma. ~Ireisha Anindya Share on XSudah saatnya suara individu autistik didengar dan dihargai demi kesadaran yang lebih inklusif.
Ireisha Anindya memiliki ketertarikan dalam kajian disabilitas serta neurodiversity. Pada saat ini ia aktif mengadvokasikan suara individu autistik di Pemuda Autisme Indonesia, serta kerap menulis bebas di beberapa media online.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Twitter: @___fleursdumal
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini