Posisi Anak-anak dalam Ilmu Sosial (Kontekstual): Agensi dan Budaya
September 20, 2020Membaca adalah Bentuk Aksi
October 7, 2020OPINI
Bagaimana Gay Menubuhi Seksualitasnya?
oleh Abdullah Faqih
“Kalau merasa dirinya gay, mengapa mereka memilih menikah? Kan kasihan sama istri dan keluarganya.” Begitu kurang lebih komentar yang disematkan publik dunia maya kepada 56 gay yang ditangkap polisi ketika beberapa waktu lalu menggelar acara di sebuah apartemen di Jakarta.
Membaca komentar itu, saya jadi teringat cerita salah seorang kerabat. Kerabat saya mengidentifikasi dirinya sebagai gay. Ketika identitas gender dan seksualitasnya dipergoki kedua orang tuanya, kerabat saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti apa yang diinginkan oleh mereka. Orang tuanya meminta dia melakukan terapi ruqyah untuk ‘menyembuhkan’ perilaku homoseksual yang dianggap merupakan buah dari ‘ketempelan’ setan. Tentu saja upaya itu sia-sia. Kerabat saya lantas dinikahkan dengan seorang perempuan yang mengidentifikasi dirinya heteroseksual. Dengan menikah secara heteroseksual, dia diharapkan bisa ‘sembuh’ dari ‘penyakit’ homoseksual yang dinilai melenceng dari norma agama, sosial, dan budaya.
Apa yang dialami oleh kerabat saya dan 56 gay di Jakarta itu sebenarnya bukanlah hal baru. Di Indonesia, ada banyak sekali laki-laki yang mengidentifikasi dirinya sebagai gay, namun memilih menikah secara heteroseksual. Mereka terpaksa (atau dipaksa) menikah dengan perempuan heteroseksual untuk memenuhi imajinasi sebagai bagian dari masyarakat yang hidup dalam kultur heteronormatif—menganggap heteroseksual sebagai satu-satunya yang normal, sementara homoseksual dianggap sebagai bentuk abnormalitas. Selain itu, para lelaki gay juga merasa perlu memiliki keluarga batih (nuclear family) dalam rangka menjalankan fungsi prokreasi (berketurunan). Hal itu dilakukan agar dapat terintegrasi dan diakui sebagai bagian dari warga negara (national belonging). Dalam pandangan negara yang meletakkan ideologi heteronormatif seperti Indonesia, cita-cita itu hanya bisa dicapai apabila terjadi perkawinan secara heteroseksual.
Melihat itu, saya jadi teringat sebuah esai berjudul ‘Queer Feelings’ yang ditulis oleh Sara Ahmed pada tahun 2014 silam. Ahmed mengatakan bahwa kelompok queer (mereka yang memiliki identitas gender dan seksualitas non-normatif; termasuk di dalamnya adalah kelompok gay) mengalami perasaan tidak nyaman hidup di dalam lingkungan heteronormatif. Perasaan tidak nyaman itu pada akhirnya mendorong terjadinya negosiasi, asimilasi, dan transgresi yang membuat kelompok queer harus bertahan hidup dalam norma yang berbeda dengan identitas gender dan seksualitas mereka.
Persis seperti yang dikatakan Ahmed, saya juga melihat bagaimana kerabat saya mengalami pergolakan antara kesadaran dirinya sebagai homoseksual yang berbenturan dengan kultur heteronormatif. Pada posisi itu, dia sedang dihadapkan pada dua pilihan yang sebenarnya tidak adil untuk disebut sebagai pilihan. Pertama, dia harus menikah secara heteroseksual dengan konsekuensi akan mengalami pergolakan batin dan mempertaruhkan identitas gender dan seksualitasnya. Kedua, apabila dia menolak menikah, maka dia akan teralienasi dari ruang kehidupan sosial, budaya, agama, dan politik.
Pilihan lelaki gay untuk menjalani pernikahan heteonormatif, menurut saya, bukan saja menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuannya berhadapan dengan tekanan homofobia dan bias otoritatif kedua orang tuanya. Pergolakan batin itu pasti dirasakan oleh mereka. Namun, pilihan tersebut di sisi lain justru menunjukkan adanya agensi dan resiliensi (daya tahan atau strategi) untuk dapat bernegosiasi dengan heteronormativitas. Agar dapat ‘bertahan hidup’, mereka merasa harus menikah secara heteroseksual dan menubuhi norma heteronormatif yang ada. Mereka bisa saja menjadi sosok suami yang bertanggung jawab untuk istrinya, juga ayah yang sempurna bagi anak-anaknya. Namun, siapa yang tahu, jika diam-diam, mereka juga merayakan identitas gender dan seksualitas di dalam ruang private—sebagai seorang gay. Hal itu sebagaimana yang terjadi pada 56 gay di Jakarta yang baru saja ditangkap polisi. Hampir setiap dari mereka diidentifikasi telah memiliki istri dan anak.
Menjadi ‘bunglon sosial’ dengan menubuhi norma heteronormatif sambil beradvokasi dari bawah tanah, seperti yang sekarang ini banyak dilakukan oleh para aktivis queer, menurut saya adalah langkah paling masuk akal. ~Abdullah Faqih Share on XSoal pernikahan gay secara heteroseksual itu juga pernah diungkap oleh Tom Boellstorff di dalam bukunya, The Gay Archipelago. Menurutnya, istilah dan praktik gay tidak memiliki bentuk tunggal dan tetap, terutama bila dihadapkan pada diskursus yang sedang beredar dalam tataran global dan lokal. Bentuk dan praktik gay di Amerika Serikat, misalnya, bisa saja berlainan dengan yang terjadi di Indonesia. Kelompok gay di Amerika Serikat mungkin bisa mengekspresikan identitas gender dan seksualitasnya dengan menikah sebagai homoseksual karena peraturan perundang-undangan di sana telah mampu mengakomodasi hal itu. Sementara, di Indonesia diskursus soal politik, agama, sosial, dan budaya yang sedang beredar belum memungkinkan kebebasan semacam itu dapat dinikmati oleh kelompok gay. Setidaknya untuk saat ini.
Dengan demikian, pernikahan seorang gay yang dilakukan secara heteroseksual, sebagaimana yang terjadi pada kerabat saya dan 56 gay di Jakarta itu, tidak melulu menunjukkan sisi lemah (powerless) seorang gay. Hal itu juga bisa dibaca sebagai bagian dari daya tahan atau resiliensi mereka untuk beradaptasi dan bernegosiasi dengan norma heteronormatif yang selama ini menjadi pembenaran atas berbagai peminggiran terhadap identitas gender dan seksualitas mereka. Kita juga tidak boleh lupa, ada peran negara yang membentuk imajinasi mengenai bagaimana menjadi warga negara yang baik. ‘Menjadi Indonesia adalah menjadi heteroseksual’, begitu kurang lebih nalar yang ditetapkan negara sehingga menggiring laki-laki gay memilih (atau dipilihkan) melakukan pernikahan secara heteroseksual.
Kembali pada pertanyaan publik di jagat dunia maya, “Kalau merasa dirinya gay, mengapa mereka memilih menikah?”
Saya menaruh harapan besar agar suatu saat nanti kelompok gay dan queer lain di Indonesia tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi menunjukkan identitas gender dan seksualitasnya. ~Abdullah Faqih Share on XSecara singkat, saya ingin mengatakan bahwa itu adalah cara gay berkompromi dengan heteronormativitas. Kita mungkin juga bisa mengatakan bahwa pernikahan gay secara heteroseksual telah menimbulkan ketidakadilan baru bagi perempuan (istri). Tapi, kita juga perlu ingat, jika mereka tidak melakukan pernikahan heteroseksual, mereka akan terus berhadapan dengan peminggiran dan opresi. Dalam hal ini, mereka ditempatkan pada posisi yang serba salah.
Terlepas dari itu semua, saya menaruh harapan besar agar suatu saat nanti kelompok gay dan queer lain di Indonesia dapat memiliki ruang bebas dan aman yang memungkinkan mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi menunjukkan identitas gender dan seksualitasnya—sebagaimana yang saat ini dinikmati oleh mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai heteroseksual. Hal itu tentu saja bukan seperti Harry Potter yang cukup mengucap “simsalabim” lantas membuat ruang-ruang itu terbuka begitu saja. Memerlukan ratusan bahkan ribuan hari untuk sampai pada cita-cita itu. Menjadi ‘bunglon sosial’ dengan menubuhi norma heteronormatif sambil berjuang melakukan kerja-kerja advokasi dari bawah tanah, seperti yang sekarang ini banyak dilakukan oleh para aktivis queer, menurut saya adalah langkah paling masuk akal.
Abdullah Faqih sedang fokus mengerjakan penelitian dengan topik ‘agensi queer Muslim melawan heternormativitas’ sambil diselingi menonton drama Korea. Memiliki hobi membaca, menulis, dan makan donat. Memiliki harapan besar untuk dapat segara menamatkan pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini