Reason and Emotion (1943), Film Pendek Disney yang Jadi Cikal Bakal Inside Out
June 21, 202418 Tahun Lumpur Lapindo: Pentingnya Mengakui Ecocide
June 25, 2024OPINI
Dinamika Regulasi Social Commerce: Bagaimana TikTok Shop Menavigasi Regulasi?
oleh Achmad Jais Mustafa, Katrina Permassari, dan Yusuf Abdurrohman
Kehadiran TikTok Shop di Indonesia telah mendorong lahirnya peraturan baru terkait aktivitas social commerce dan e-commerce. Hal itu ditandai dengan munculnya larangan terhadap beroperasinya TikTok Shop pada 25 September 2023 melalui terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023.
Peraturan tersebut, secara tegas, mengamanatkan pemisahan antara platform social commerce dan e-commerce. Social commerce, seperti TikTok Shop, tidak diizinkan untuk melakukan transaksi penjualan secara langsung dengan fasilitas transaksi pembayaran pada sistem elektroniknya. Platform itu hanya boleh digunakan untuk promosi, sementara transaksi penjualan secara langsung hanya diperbolehkan melalui platform e-commerce. TikTok Shop kemudian ditutup pada 4 Oktober 2023, meskipun dibuka kembali pada Desember 2023, setelah diakuisisi oleh Tokopedia.
Mengapa harus Dipisahkan?
Menurut Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari, terdapat empat alasan mengapa pemisahan antara bisnis media sosial dan e-commerce harus dilakukan.
Pertama, adanya potensi monopoli alur traffic dan pengendalian pasar tanpa disadari oleh pengguna. Kedua, kemampuan untuk melakukan manipulasi algoritma yang memungkinkan platform menguntungkan produk tertentu dan mendiskriminasi produk lainnya. Ketiga, pemanfaatan traffic media sosial yang sangat besar untuk menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce. Terakhir, adanya potensi penggunaan data yang diperoleh dari media sosial sebagai basis pembuatan produk yang terafiliasi dengan platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan.
Kehadiran TikTok Shop dengan segala fitur yang dimilikinya telah memunculkan praktik baru dan mengubah bagaimana kegiatan jual beli melalui media digital dilakukan. Sebagai sebuah platform digital, TikTok Shop dapat memanfaatkan big data melalui layanan social commerce yang dimilikinya. Itu berguna untuk mengarahkan aktivitas penggunanya, sehingga menimbulkan perubahan perilaku dalam berinteraksi dan berbelanja melalui media digital. Namun, hal itu juga memunculkan kekhawatiran baru akan monopoli dan penyalahgunaan data pengguna yang dikuasai TikTok karena banyaknya jenis aktivitas dalam platform tersebut. Tentu saja, kondisi itu memunculkan urgensi akan pembentukan standar teknis dan regulasi dari pemerintah.
Tata Kelola Internet yang Adaptif
Menurut ilmuwan Johannes M. Bauer, para pembuat kebijakan perlu meninjau bagaimana tata kelola sektoral harus disesuaikan agar dapat mendukung pertumbuhan investasi dan inovasi dalam ekonomi digital, sembari tetap melindungi kepentingan publik, seperti akses digital untuk semua, keterjangkauan harga, dan keandalan yang tinggi. Dengan semakin beragamnya cakupan tata kelola internet, muncul urgensi untuk memahami dasar konseptual tata kelola internet demi integrasi yang lebih baik dengan studi tata kelola dan regulasi yang lebih luas. Penggunaan pendekatan sistem dan teori pasar platform dapat memberikan perspektif lebih baik mengenai bagaimana pasar bekerja dan menghasilkan argumen kuat yang mendukung tata kelola adaptif.
Untuk mengawasi aktivitas TikTok Shop, pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), menyampaikan Siaran Pers No. 355/HM/KOMINFO/10/2023 pada Rabu, 4 Oktober 2023 tentang Perkembangan Pengawasan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Kementerian Kominfo akan memberikan sanksi pemutusan akses jika sudah menerima permohonan dari kementerian dan lembaga yang membidangi sektor terkait dan telah melakukan evaluasi/koordinasi atas permohonan tersebut. Terkait dengan TikTok Shop, Menteri Kominfo menyampaikan bahwa TikTok sudah membuat keputusan untuk tidak lagi memfasilitasi transaksi di dalam platformnya. Dengan demikian, sanksi terhadap TikTok tidak diperlukan mengingat TikTok sudah tunduk pada regulasi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Dalam rangka penegakan hukum penyelenggaraan PMSE, Kementerian Kominfo menjalankan fungsi pengawasan PSE melalui kegiatan monitoring rutin terhadap semua platform digital yang menyelenggarakan layanan e-commerce. Pemerintah memiliki fokus untuk melindungi kepentingan publik dari potensi terjadinya monopoli pasar akibat munculnya entitas kuat dengan kemampuan teknologi yang dimilikinya. Namun, pemerintah juga tidak menghambat, melainkan terus mendorong investasi dan inovasi untuk kemajuan industri digital dan ekonomi Indonesia.
Kolaborasi sebagai Solusi
Sebagai bentuk kepatuhan pada regulasi pemerintah, TikTok memutuskan untuk bekerja sama dengan e-commerce lokal, Tokopedia, guna memfasilitasi transaksi jual beli yang sebelumnya dilakukan melalui TikTok Shop. Sembari menunggu proses merger layanan di antara keduanya selesai dilakukan, Kementerian Perdagangan memberikan kelonggaran pada TikTok Shop untuk beroperasi kembali terhitung sejak 12 Desember 2023 hingga April 2024.
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Isy Karim, pemberian kelonggaran waktu tersebut dilakukan lantaran TikTok dan Tokopedia memerlukan waktu untuk proses penyesuaian seluruh bentuk transaksinya. Di lain pihak, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan bahwa TikTok Shop masih melanggar Permendag Nomor 31 Tahun 2023 dan menduga adanya kepentingan politik di balik tetap beroperasinya TikTok Shop. Ia juga menyoroti adanya masa transisi yang diberikan, sedangkan Permendag tersebut tidak mengatur adanya masa transisi, sehingga TikTok Shop seharusnya tidak dibuka kembali sebelum menjadi e-commerce tersendiri yang terpisah dari Tiktok. Proses migrasi dan integrasi sistem TikTok Shop ke Tokopedia ini akhirnya selesai dilaksanakan pada 27 Maret 2024.
Menurut Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), Bima Laga, kolaborasi antar-platform digital, seperti TikTok Shop dan Tokopedia, akan menghadirkan warna baru dalam industri e-commerce dan menciptakan tren belanja digital masa kini. Kolaborasi tersebut memungkinkan pengalaman belanja yang lebih dinamis dan interaktif sekaligus mendorong perkembangan UMKM di Indonesia. UMKM akan diuntungkan dengan meningkatnya visibilitas (keterlihatan) produk, mempermudah pemasaran, hingga meningkatnya keterampilan pelaku UMKM dalam pemasaran digital. Dengan strategi yang tepat, kolaborasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi bagi kedua platform digital tetapi juga bagi UMKM dan para konsumen, sehingga pada gilirannya dapat mendorong kemajuan industri digital dan ekonomi Indonesia.
Meski demikian, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi catatan. Pertama aturan yang mengamanatkan pemisahan antara media sosial dan e-commerce baru muncul sekitar dua tahun setelah TikTok Shop mulai beroperasi pada 2021. Terdapat gap (celah) yang cukup lama antara praktik baru yang muncul dengan regulasi yang mengatur tata kelolanya. Bahkan, aturan tersebut baru terbit setelah viralnya saling silang pendapat antar-warganet terhadap keluhan pedagang pasar tradisional akan keberadaan TikTok Shop.
Kedua, terdapat perbedaan pandangan antar-instansi dan pejabat pemerintah yang diungkapkan kepada publik dalam menghadapi kasus TikTok Shop. Perbedaan pandangan tersebut hendaknya dapat diselesaikan terlebih dahulu di lingkup internal pemerintah agar seluruh instansi memiliki satu kata yang sama. Tumpang tindih peraturan antar-instansi harus dihindari agar tercipta kepastian hukum dan kejelasan tentang arah kebijakan pemerintah, sehingga tidak menimbulkan kebingungan publik.
Ketiga, prosedur peralihan harus jelas diamanatkan dalam peraturan yang baru sebagai petunjuk bagi para pelaku dalam industri untuk beradaptasi dengan kebijakan baru.
Ketiga catatan di atas dapat menjadi masukan dalam menyusun kebijakan tata kelola internet yang adaptif di tengah ekosistem digital yang terus berubah mengikuti pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Achmad Jais Mustafa, Katrina Permassari, dan Yusuf Abdurrohman adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.
Artikel Terkait
Benarkah Media Sosial Mengancam Demokrasi?
Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden sering diasosiasikan dengan perkembangan media sosial dan kemunduran demokrasi. Benarkah demikian?Tren Ikoy-ikoyan sebagai Produk Budaya
Produk budaya yang dihasilkan oleh figur publik ditawarkan kepada warganet, kemudian warganet menyerap budaya tersebut atas kendali media. Hal ini berarti institusi media telah mengungkapkan kekuasaan mereka menjadi produsen dan pembentuk budaya.