Di Balik Bintang Empat Prabowo
March 20, 2024Ketika Seorang Ateis Meneliti Praktik Ziarah
April 18, 2024Photo by Chris Lawton on Unsplash
OPINI
Belajar Memahami Sejarah secara Utuh
oleh Farabi Fakih
Bung Karno pernah memopulerkan frasa “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah atau jas merah” dalam pidato kemerdekaan Indonesia pada 1966. Pada tahun itu, pemerintahan Presiden Sukarno telah runtuh dan Indonesia sedang dalam transisi menuju pemerintahan Presiden Suharto dengan beragam gejolak politik dan sosial yang menyertainya.
Frasa itu dapat dibaca melalui dua sudut pandang. Di satu sisi, frasa itu ingin mengingatkan kita soal sejarah Indonesia dan peran Presiden Sukarno sebagai pemimpin yang membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Jangan meninggalkan sejarah berarti jangan lupa pada jasa Sukarno sebagai pemimpin utama pendiri bangsa pada waktu kekuasaannya sedang meluruh.
Di sisi lain, frasa itu juga bisa kita lihat sebagai himbauan Sukarno untuk tidak melupakan proyek revolusioner memerdekakan kaum Marhaen, yaitu kelompok miskin yang menjadi korban kolonialisme dan imperialisme, seperti kaum tani, dan negara-negara Dunia Selatan lainnya dari pengalaman penindasan oleh penjajah dan kapitalisme.
Sejarah penindasan masyarakat Indonesia dilihat sebagai akar dari munculnya komitmen revolusioner kebangsaan Indonesia dan menjadi bagian dari proyek kebangkitan manusia tertindas. Kita juga bisa melihat frasa itu sebagai peringatan Sukarno atas proyek pembangunan Orde Baru yang nantinya dilaksanakan sebagai sebuah proyek yang ‘lupa’ akan sejarah—yang membayangkan penciptaan masyarakat modern tanpa pemahaman sejarah yang panjang.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa sejarah memiliki pertalian erat dengan kekuasaan dan politik serta sering dipakai untuk melegitimasi suatu kebenaran. Maka dari itu, memahami sejarah secara utuh dengan tidak terjebak pada kepalsuan fakta sejarah maupun dimensi kekuasaan di baliknya menjadi penting. Aspek itu akan menjadi pokok bahasan dalam artikel ini.
Sejarah sebagai Instrumen Kekuasaan
Sejarah bukan hanya untaian fakta dan kejadian yang ditaruh dalam linimasa. Secara keseluruhan, sejarah membentuk sebuah kebenaran yang mampu memandu bangsa, masyarakat, dan bahkan individu untuk menentukan pilihan. Seperti halnya sistem kebenaran lainnya–ilmu pengetahuan, moralitas, dan aestetika–sejarah merupakan kacamata yang bisa digunakan manusia untuk mencapai kebenaran tertentu. Misalnya saja, ilmu pengetahuan membangun model soal cara kerja sebuah realita, moralitas membangun kisi-kisi dan spektrum perbuatan baik dan jahat, aestetika membangun kebenaran berdasarkan rasa yang muncul dalam indera-indera manusia.
Tapi, sama pula seperti sistem kebenaran itu, sejarah juga penuh dengan kontradiksi, kepalsuan, dan marabahaya kekuasaan. Semua sistem kebenaran tidaklah tunggal: ada persaingan antara model ilmu pengetahuan yang berbeda dan masing-masing saling mendaku sebagai yang paling benar, ada perbedaan pendapat mengenai baik dan jahat yang sering kali bertentangan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan ada perdebatan definisi soal kecantikan yang standarnya tidaklah universal.
Selain itu, kebenaran juga sangat dekat dengan kekuasaan. Ibarat dua sisi mata uang, kebenaran berada di satu sisi dan kekuasaan berada pada sisi yang lainnya. Suatu peristiwa sejarah juga biasanya penuh dengan versi yang berbeda-beda, mengandung pernyataan yang tidak bisa dibuktikan alias palsu, dan sering digunakan oleh beragam instrumen kekuasaan, baik itu negara, agama, perusahaan, dan masyarakat, untuk membenarkan otoritas mereka.
Di semua sistem kebenaran, manusia telah menciptakan serangkaian cara untuk mencoba menghindari bahaya kepalsuan dan kekuasaan yang terkandung di dalam kebenaran sejarah. Metode yang dibangun dalam beragam cabang ilmu filsafat pun beragam, tetapi umumnya mempertanyakan soal dari mana kita bisa mengetahui suatu kebenaran, bagaimana kita bisa mengetahui kebenaran, dan dengan cara apa kita bisa mengetahui kebenaran tersebut.
Pendekatan filsafati itu didasarkan oleh perasaan curiga atau skeptis yang artinya kita dituntut untuk tidak boleh menerima kebenaran dari suatu pernyataan secara apa adanya dan begitu saja. Misalnya, ketika kita membaca atau melihat sesuatu saat berbincang dengan tetangga atau ketika kita mengamati media sosial ataupun membaca buku teks di sekolah, maka kita perlu selalu mempertanyakan apakah itu benar atau tidak, siapa yang membuat pernyataan itu, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari pernyataan itu, dan sederet pertanyaan skeptis lainnya.
Sikap skeptis dan kritis di atas merupakan pondasi ilmu pengetahuan yang bisa membantu kita untuk mengungkapkan suatu kebenaran. Bersikap skeptis dan kritis membuat kita tidak rentan terjebak dalam kepalsuan dan marabahaya kekuasaan yang terkandung di dalam sejarah. Ahli sejarah, seperti halnya ilmuwan dan filsuf, telah mengembangkan serangkaian cara (metodologi) untuk menghindar dari kepalsuan dan kekuasaan dalam suatu peristiwa sejarah.
Pertama, ahli sejarah mengakui bahwa masa lalu itu penuh dengan kontradiksi dan cara memahami peristiwa itu berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang yang dipakai untuk melihatnya. Ahli sejarah pun menolak klaim bahwa hanya ada satu cerita sejarah yang benar, melainkan ada beragam interpretasi atau versi.
Kedua, interpretasi yang berbeda dalam suatu peristiwa sejarah harus disandingkan dan dibuat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya. Dalam proses dialog itulah, versi-versi baru cerita sejarah akan diciptakan, sehingga sejarah sebagai ilmu pengetahuan dapat terus ‘maju’ ke depan. Tetapi, semua interpretasi itu harus berbasis pada semangat akademis ahli sejarah. Artinya, ketiga, ahli sejarah harus menggunakan prinsip dan semangat untuk mencari kebenaran dengan menggunakan metode sejarah yang solid dalam menyusun sebuah interpretasi.
Ketiga hal itu yang membedakan ahli sejarah profesional dengan yang tidak. Ahli sejarah profesional harus membuktikan semua klaim interpretasi mereka dengan bukti-bukti yang didapatkan lewat metode sejarah, baik itu bukti primer berbasis dokumen dan lisan maupun bukti-bukti lainnya. Menggunakan metode sejarah dalam mengungkap suatu peristiwa sejarah menjadi cara untuk menegakkan etika ilmu pengetahuan dan menjaga nilai seorang ahli sejarah profesional. Jikapun ada kontradiksi dan mungkin beberapa kepalsuan fakta sejarah dalam proses pengungkapan itu, penggunaan metode sejarah bisa membantu ahli sejarah menghindari kepalsuan sejarah dan menunjukkan komitmen mereka pada nilai dan etika kebenaran.
Bagaimana Kita Bisa Memaknai Sejarah secara Utuh?
Berbasis pada komitmen nilai dan metode ilmu sejarah itu, ahli sejarah dapat membangun interpretasi sejarah secara utuh. Utuh di sini bukan berarti bahwa klaim mereka atas kebenaran fakta sejarah bersifat hakiki dan mutlak, melainkan utuh dari sudut pandang metodologis, yaitu fakta sejarah dibangun dengan basis perspektif filsafat yang kuat.
Ada beragam metodologi sejarah, tetapi yang paling sering ditemui oleh orang-orang Indonesia di sekolah adalah metodologi sejarah nasional atau kebangsaan. Ragam metodologi itu termasuk sejarah liberal, marxist, postmodern, poskolonial, dan lain-lain. Semua itu merupakan kerangka analisis dan filsafat yang bertujuan untuk memberi makna pada peristiwa sejarah yang ditulis. Tanpa perspektif itu, sejarah benar-benar hanya akan menjadi serangkaian untaian peristiwa dalam linimasa dan tidak memiliki makna apa-apa. Dengan menggunakan metodologi dan pendekatan sejarah, semua peristiwa sejarah dapat dimaknai dalam keutuhan metodologisnya. Kita pun tidak boleh gegabah dalam membaca dan memaknai peristiwa sejarah apa pun tanpa melihat dan membacanya dalam kesatuan metodologis itu.
Metodologi itu juga penting karena pendekatan sejarah seringkali didorong oleh nilai objektivitas untuk menentang penguasa. Nilai penting lain yang dianut oleh ahli sejarah adalah nilai untuk ‘berbicara kepada penguasa’ yang artinya interpretasi sejarah itu sadar dan kritis terhadap penguasa dalam beragam bentuknya. Ideologi yang menaungi beragam metodologi sejarah (liberalisme, marxisme, nasionalisme, dan lain-lain) menempatkan dirinya untuk ‘menentang’ kekuasaan tertentu, yaitu negara, kapitalisme, dan penjajah. Mereka juga secara sadar mendorong kebebasan bagi yang tertindas: individu, pekerja, bangsa, dan lain-lain.
Artinya, ahli sejarah sadar akan posisi politik mereka. Hal itu dimungkinkan karena adanya kesepakatan di antara para ahli sejarah bahwa tidak mungkin mereka bisa mencapai interpretasi masa lalu secara murni dan objektif. Klaim demikian seringkali menutupi fakta bahwa ada kontrol penguasa di belakang setiap peristiwa sejarah. Tetapi, kita tidak menutup mata bahwa seorang pejabat bisa dianggap sebagai pahlawan oleh beberapa orang, terlepas dari dosa-dosa masa lalunya. Itu menunjukkan kontradiksi yang mengubah pemaknaan; ‘berbicara kepada penguasa’ menjadi ‘berbicara untuk penguasa’ jika menggunakan ideologi dan metodologi pihak lainnya.
Bagaimana kita bisa menghindari kekacauan kontradiksi yang hadir di sini? Jika sejarawan profesional sendiri mengakui bahwa objektivitas dan kebenaran murni tidak dapat dicapai, bagaimana dengan orang-orang awam yang tidak mengerti banyak mengenai sejarah? Bagaimana mereka bisa menilai sejarah mana yang benar dan bisa diikuti?
Ada satu cara yang bisa dilakukan, yaitu dengan mengikuti prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh ahli sejarah profesional.
Pertama, mengekor pada pemahaman ahli sejarah penting karena sejarah profesional ditulis oleh ahli sejarah yang paham dan menganut metode dan etika sejarah. Kedua, semua versi sejarah yang sudah melewati metode ilmu sejarah itu harus diperbolehkan hadir dan tidak boleh dihapus, sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, kita perlu bersikap kritis dan skeptis terhadap semua klaim sejarah, baik yang ditulis oleh ahli sejarah profesional sekalipun, apalagi oleh ahli sejarah yang non-profesional. Selain itu, kita juga perlu selalu siap mendengar dan membaca versi sejarah tandingannya.
Kita perlu bersikap kritis dan skeptis terhadap semua klaim sejarah, baik yang ditulis oleh ahli sejarah profesional sekalipun, apalagi oleh ahli sejarah yang non-profesional. ~ Farabi Fakih Share on XKeempat, jangan pernah gegabah dalam menyimpulkan sesuatu. Semua peristiwa sejarah berpotensi memiliki makna yang beragam. Selalu ada hal yang luput dan di masa mendatang mungkin akan mengubah pemaknaan peristiwa tersebut. Kelima, kita perlu menyadari akan keterbatasan kita dan ahli sejarah dalam memaknai peristiwa masa lalu. Kita semua tidak ada yang bisa sepenuhnya terbebaskan dari bias, nilai, pandangan pribadi, dan ideologi masing-masing dalam memaknai suatu peristiwa sejarah.
Poin-poin di atas merupakan cara yang bisa kita ambil agar bisa membaca sejarah dengan utuh. Tujuannya jelas, yaitu membantu kita membaca sejarah melampaui peristiwa yang dilekatkan dalam linimasa tertentu saja. Melakukan hal itu membuat kita jadi bisa melihat sejarah secara lebih bermakna, kritis, dan sebisa mungkin menghindari kepalsuan sejarah, apalagi sejarah bentukan penguasa dan penjajah.
Farabi Fakih adalah dosen sejarah di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada. Penelitiannya fokus pada sejarah politik-ekonomi, sejarah
kota dan sejarah pengetahuan. Ia mendapatkan gelar doktor dari Universitas Leiden,
Belanda dengan disertasi mengenai dekolonisasi negara Indonesia dan pengaruh ide-
ide manajerialisme dalam proses tersebut. Saat ini, Farabi sedang menekuni penelitian
tentang sejarah korupsi di Indonesia pada masa Orde Baru serta sejarah dari industri
minyak di Indonesia.
Artikel Terkait
Sejarah, Politik, Masa Lalu, dan Kini
Sejarah kadang dipakai untuk melegitimasi kepentingan politik kelompok tertentu. Kenapa sejarah punya peran penting dalam politik?Sejarah, Historiografi, dan Perubahan
Sejarah bukan sekedar masa lalu. Karya sejarah meliputi semua elemen dan perubahan kehidupan manusia. Sudah selayaknya kita paham lebih lanjut apa yang kita maksud dengan sejarah.Seks dalam Sejarah Budaya Jawa
Bahasan seputar seks sering dianggap tabu dalam lingkungan konservatif. Karenanya, banyak yang memiliki anggapan bahwa seks bukanlah sesuatu yang perlu dipelajari. Dalam tulisan ini, penulis menekankan pentingnya mengkaji aspek sosial dari proses menjalin suatu hubungan intim dan menjabarkan teks-teks kuno Jawa yang telah berusaha membahas topik ini.