Di Balik #SeribuLensa bersama Artgenie
April 15, 2022Menyetip Feodalisme: Jalan Panjang Menuju Reformasi Pendidikan
April 22, 2022OPINI
#BreakTheBias: Agenda Perempuan dalam Mengubah Dunia melalui Pendidikan
oleh Ovy Novakarti
Perempuan sering terdiskriminasi, dan lagi-lagi disebabkan oleh sistem patriarki yang memunculkan bias gender. Kita dapat melihatnya melalui rekam jejak pengalaman laki-laki dan perempuan, dari positif menuju negatif, dari sama menuju tidak sama. Namun demikian, saat ini masyarakat sudah mulai sadar arti kesetaraan, yaitu “dari berlawanan menuju saling melengkapi”. Contohnya pada konteks pendidikan tinggi bagi perempuan. Keadaan mulai berubah dengan adanya respons positif dari masyarakat yang memandang bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan justru menjadi salah satu jalan untuk mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Hari Perempuan Sedunia menjadi salah satu tajuk penting dalam merayakan pencapaian perempuan. Tema kampanye peringatan Hari Perempuan tahun ini adalah #BreakTheBias, dengan harapan besar agar laki-laki maupun perempuan menjadi semakin sadar akan kesetaraan gender. Kita menyadari bahwa saat ini masa depan yang lebih baik akan sulit dijangkau jika kita tidak paham betul arti kesetaraan. Berbicara mengenai kesetaraan gender akan membawa kita untuk memahami lebih jauh struktur ketidakadilan yang tumbuh meruncing di kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia.
Berbicara mengenai kesetaraan gender akan membawa kita untuk memahami lebih jauh struktur ketidakadilan yang tumbuh meruncing di kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia. ~Ovy Novakarti Share on XBias yang muncul di antara laki-laki dan perempuan semakin mengesahkan ide bahwa kedudukan perempuan itu sulit untuk diperbaiki. Hal tersebut didasari oleh hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang justru digunakan untuk menggugat privilese yang selama ini kita miliki. Misalnya, ada anggapan kalau kodrat perempuan adalah mengasuh, memasak, dan melayani keluarga. Sedangkan, kodrat laki-laki adalah mencari nafkah dan memimpin keluarga. Dengan kata lain, sifat keduanya, yakni laki-laki dan perempuan, telah dikonstruksikan secara sosial maupun kultural dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian, hal seperti itulah yang menyebabkan perdebatan panjang sampai saat ini: Sebenarnya bagaimana posisi perempuan yang hidup di tengah persoalan struktur yang telah mapan di masyarakat?
Pada faktanya, keberadaan perempuan selalu terpojok dan terbelenggu oleh budaya patriarki. Berbagai tuntutan dibebankan kepada perempuan untuk bisa melakukan pekerjaan domestik yang bergulat hanya di ranah dapur, kasur, dan sumur. Oleh karena itu, budaya demokrasi perlu ditumbuhkan agar perlahan masyarakat sadar untuk menghilangkan sifat patriarkinya. Artinya, kaum laki-laki dan kaum perempuan dapat menegosiasikan perannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Dengan begitu, setidaknya bisa membawa imbas yang lebih positif yang mengarah pada arti kesetaraan gender yang sebenarnya.
Hal tersebut senada dengan pernyataan Direktur Eksekutif Wanita PBB, Sima Bahous, yang dilansir dari UN Women awal Maret ini. Ia menyatakan dengan lantang bahwa ia ingin menjadikan Hari Perempuan Sedunia tahun ini sebagai momen untuk mengingat bahwa kita semua perlu memajukan kesetaraan gender. Perempuan dapat berkontribusi secara aktif mengawal implementasi dari seluruh target dalam agenda pembangunan berkelanjutan 2030.
Pengalaman Perempuan
Saya perempuan dan bertanya-tanya, “Feminis seperti apakah saya?” Melalui proses kehidupan bermasyarakat yang saya alami, saya belajar untuk mengenali diri sendiri, serta pemikiran feminis mana yang mencerminkan diri saya yang sebenarnya. Feminis liberalkah? Feminis Marxis, Feminis radikal, atau Feminis postmodern? Namun, pada dasarnya pemikiran feminis terus bergerak dan tidak terbatas, karena setiap pemikiran lahir dalam konteks tertentu.
Melihat berbagai bentuk eksklusi dan kesenjangan pada perempuan, saya kira pemahaman tentang perempuan memiliki tingkat opresi (kesengsaraan) yang berbeda-beda. Bahkan, opresi tersebut menjadi hal yang tak terhindarkan. Perempuan sering dianggap sebagai objek melalui tubuhnya dan citranya kurang baik di tengah masyarakat dibandingkan kaum laki-laki. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Filsafat Berperspektif Feminis, para feminis telah mengajukan keberatannya karena proses pengobjektifikasian merupakan hal yang merugikan bagi perempuan. Misalnya, pelecehan pada perempuan yang ditemui di ranah publik. Sering kali ada segelintir kaum laki-laki bersiul dengan maksud menggoda perempuan dianggap sebagai hal mengasyikan dan sebatas bahan lelucon. Padahal, hal tersebut justru menyebabkan perempuan merasa tidak nyaman dan secara tidak langsung menunjukkan ambisi kuasa laki-laki atas perempuan yang dianggap masyarakat luas sebagai perilaku yang kurang etis.
Hal ini didukung dengan argumen filsuf Descartes yang menawarkan sebuah pondasi yang mengubah pandangan teologi mengenai kebebasan manusia, yaitu untuk bertindak dan bertanggung jawab secara moral. Gagasan Descartes tersebut membuktikan bahwa manusia adalah makhluk dualis yang terdiri dari pemikiran-pemikiran spiritual dan tubuh-tubuh material. Dengan kata lain, manusia termasuk perempuan bukanlah tubuh material atau objek saja.
Mengenai citra perempuan, saya sering mendapati cerita perempuan yang terdiskriminasi, dan lagi-lagi disebabkan oleh sistem patriarki di Indonesia yang digembar-gemborkan menjadi budaya kita. Mari kita lihat rekam jejak pengalaman laki-laki dan perempuan, dari positif menuju negatif, dari sama menuju tidak sama. Namun demikian, saat ini masyarakat sudah mulai sadar arti kesetaraan, yaitu “dari berlawanan menuju saling melengkapi”. Contohnya pada konteks pendidikan tinggi bagi perempuan. Keadaan mulai berubah dengan adanya respons positif dari masyarakat yang memandang bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan justru menjadi salah satu jalan untuk mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Mengenai citra perempuan, saya sering mendapati cerita perempuan yang terdiskriminasi, dan lagi-lagi disebabkan oleh sistem patriarki di Indonesia yang digembar-gemborkan menjadi budaya kita. ~Ovy Novakarti Share on XHal tersebut dibenarkan dengan pernyataan Prof. Nizam selaku pelaksana tugas Ditjen Diktiristek pada Detik.com Desember lalu, yang mengatakan bahwa perjuangan R.A. Kartini untuk kesetaraan hak pendidikan sudah terbukti dan tingkat pendidikan perempuan di Indonesia jauh di atas rata-rata Asia dan dunia. Dengan demikian, Indonesia memiliki semakin banyak perempuan berdaya dengan potensi besar untuk bersaing dan melaksanakan agenda pembangunan ke depan.
Menilik Kembali Sekolah Perempuan di Indonesia
Jika kita tilik ke belakang, sejarah sekolah perempuan digagas pertama kali oleh R.A. Kartini dan diberi nama Yayasan Kartini. Kartini merupakan salah satu tokoh perjuangan feminisme Indonesia. Upaya yang dilakukan Kartini saat itu adalah menceritakan kondisi perempuan masyarakat Jawa tradisional yang mengalami berbagai hal problematis melalui tulisan-tulisannya, seperti isu kekerasan seksual, poligami, kawin paksa, dan sulitnya akses pendidikan. Upaya tersebut pada akhirnya berbuah manis. Kartini mendapatkan dukungan penuh dari Van Deventer untuk mendirikan sekolah perempuan.
Pada tahun pertama, Yayasan Kartini memiliki 112 siswi yang mengenyam pendidikan selama dua tahun. Awalnya, Yayasan Kartini memiliki aturan bahwa sekolah ini hanya ditujukan untuk anak-anak bangsawan. Namun seiring berjalannya waktu, Yayasan Kartini mulai mengepakkan sayap hingga ke berbagai daerah dan alhasil sekolah tersebut dapat dijangkau oleh seluruh kalangan masyarakat.
Perjuangan pendidikan yang dilakukan Kartini pada akhirnya memunculkan sekolah-sekolah perempuan lain yang ikut tergerak dan memperjuangkan feminisme Indonesia, mulai dari Sekolah Van Deventer hingga Sakola Kaoetamaan Istri. Dilansir dari Tengara.id, kerabat Van Deventer berinisiatif mendirikan Yayasan Van Deventer ketika beliau wafat. Sementara itu, Sakola Kaoetamaan Istri yang didirikan oleh Dewi Sartika berbasis pada sekolah anti-kolonial. Dewi Sartika menambahkan materi ajar yang tidak kalah penting di sini, yaitu pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjahit, merangkai manik-manik, dan keterampilan lainnya.
Break The Educational Bias
Seiring berjalannya waktu, kesetaraan gender dalam dunia pendidikan tidak serta-merta hanya menjadi jargon belaka, melainkan sudah terealisasikan melalui beberapa program, seperti program perluasan akses pendidikan bermutu bagi anak-anak yang berkeadilan dan inklusif. Menurut Sri Wahyuningsih dalam webinar Kesetaraan Pendidikan untuk Anak Perempuan pada Mei 2021 lalu, pemerintah sudah berupaya baik melalui program Merdeka Belajar yang memiliki lima aspek perubahan: transformasi terhadap ekosistem pendidikan, guru, pedagogi, kurikulum, dan sistem penilaian. Kelima aspek tersebut merupakan dampak dan respons positif dari Kemendikbud dalam mendukung partisipasi, kesetaraan, keterlibatan aktif masyarakat, dan pembentukan suasana sekolah yang tidak diskriminatif.
Namun demikian, masih ada persoalan-persoalan yang cukup kompleks dalam praktik pendidikan. Hal tersebut tentunya menjadi tantangan khusus untuk pemerintah, agar terus memperhatikan dan memperbaharui cara pandang dan pendekatan terkait berbagai macam isu yang terjadi di daerah dan sekolah. Melalui upaya-upaya tersebutlah pemerintah merealisasikan agenda perempuan untuk mengubah dunia melalui pendidikan yang setara dan berkeadilan.
Adapun strategi lain yang dilakukan Kemendikbud dalam mengatasi dinamika pendidikan di Indonesia, di antaranya adalah dengan mendorong percepatan akses pendidikan serta menciptakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata. Harapan besar untuk Indonesia di tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya adalah semoga Indonesia mampu mencetak perempuan-perempuan berdaya dalam menunjang pembangunan berkelanjutan negara. Karena, perempuan mampu mewujudkan peradaban terbaik melalui pendidikan.
Akhir kata, perempuan berpendidikan bukanlah bertujuan untuk menyaingi kaum laki-laki. Melainkan, perempuan memiliki hak untuk berambisi dan membantu membangun generasi.
Ovy Novakarti, penulis lepas yang masih dalam proses belajar. Saat ini sedang merampungkan tugas akhirnya yang berfokus pada kajian pendidikan. Ia menyukai kajian tentang perempuan, anak muda, dan kesehatan mental.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @ovy_nva
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini