Yang Berpijar dari Revolusi Oktober
August 9, 2021Menghidupkan Kembali Budaya Gotong Royong dalam Pandemi
August 16, 2021OPINI
Berkaca pada BTS: Bagaimana Jika Tak Punya Mimpi Sama Sekali?
oleh Ratih Latifah Murniati
“Terkadang,” kata si kuda. “Terkadang apa?” Tanya si anak laki-laki. “Terkadang, sekadar bangkit dan melanjutkan hidup saja sudah gagah dan hebat.” — Anak Laki-Laki, Tahi Lalat, Rubah, dan Kuda karya Charlie Mackesy.
Pernah nggak kamu ditanya, “Apa mimpi kamu di masa depan?” Atau, “Apa ambisimu?” Lalu, karena bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kamu pun mulai membandingkan dirimu dengan teman-teman di sekitarmu yang kelihatannya sudah yakin dan sedang bergerak menuju ke mimpi mereka. Akhirnya, karena perbandingan ini, kamu pun merasa tertinggal.
Saya sendiri kerap duduk dan melamun, kemudian tersadar bahwa selama ini saya tidak punya mimpi yang besar. Sering kali saya merasa malu karena tidak punya mimpi atau tujuan jelas untuk saya capai dalam hidup ini.
Apalagi saya berada di lingkungan yang menuntut saya untuk cepat sukses, cepat berkontribusi nyata, cepat membangun keluarga, cepat punya anak, dan lain sebagainya. Ya, mungkin banyak dari kita yang juga merasakan keadaan ini.
Menurut suatu artikel yang pernah saya baca, mimpi adalah rangkaian gambaran, pikiran, keinginan, atau hal luar biasa (seperti ingin keliling dunia) yang ingin dicapai di masa depan. Sementara, tujuan adalah sesuatu yang lebih nyata. Tujuan pun terbagi menjadi dua, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Kedua hal tersebut lah yang memberikan kita kejelasan arah dalam menjalani hidup.
Namun, bagaimana jika bermimpi itu sendiri terasa menakutkan? Bagaimana jika kamu tak menemukan alasan untuk bermimpi besar? Tenang, kamu tidak sendirian. Bahkan, boygroup yang saat ini sedang berada di puncak ketenarannya, BTS pun tak luput dari rasa takut untuk bermimpi.
Hal ini mereka ungkapkan dalam lagunya yang berjudul “Paradise”. Ketakutan tersebut diekspresikan dalam penggalan liriknya, yakni, “Saya tidak punya mimpi. Terkadang bermimpi itu mengerikan.” Kemudian, “Tidak apa-apa untuk berhenti (Kita) Tidak perlu berlari tanpa tahu tujuan. Tidak punya mimpi itu tidak apa-apa.”
Lirik tersebut menjadi penenang bagi saya, khususnya ketika saya merasa rendah karena menganggap diri saya tidak mampu “berlari” secepat yang lain. Padahal, menjadi seseorang yang tak punya mimpi, tujuan, atau ambisi besar sebetulnya tidak apa-apa, kok.
Tapi, apa benar begitu?
Terjebak Hamster-Wheel Mentality (Mentalitas Roda Hamster)
Sebenarnya, mimpi atau tujuan yang kita miliki belum tentu sepenuhnya ambisi kita sendiri. Entah itu berasal ekspektasi masyarakat atau orang tua kita, masalah akan timbul saat kita mengadaptasi ekspektasi tersebut dan menyetir kita untuk hidup demi pengakuan orang lain. Mimpi tersebut justru menjadi apa yang kita pikir harus kita lakukan. Kalau kata BTS dalam lagu Paradise, “Kita meminjam mimpi dari orang lain (Seperti hutang). Kita belajar bahwa kita harus menjadi hebat (Seperti cahaya). Mimpimu sesungguhnya adalah beban.”
Pada dasarnya, kita selalu punya tujuan. Entah itu untuk mendapatkan pekerjaan impian, meraih prestasi di bidang tertentu, atau menikah. Stever Robbins, seorang life coach dan konsultan, mengatakan bahwa meski sudah mencapai mimpi kita pun, kita tidak langsung bisa melihat hasilnya. Apakah dengan menggapai mimpi tersebut, hidup kita langsung menjadi lebih baik? Faktanya, setelah berhasil mencapai satu target, kebanyakan dari kita cenderung langsung beralih ke target yang lain. Kurang lebih, kita berpikir seperti, “Oke, aku udah dapet ini. Selanjutnya apa lagi, ya?”.
Situasi ini membuat kita seperti berada di dalam sebuah roda. Di sinilah kita terus berusaha mengejar sesuatu agar roda tersebut tetap berputar. Ketika kita hanya fokus pada hasil, maka kita akan terjebak dalam “hamster-wheel mentality (mentalitas roda hamster).”
Kondisi ini terjadi ketika seseorang mengejar tujuannya tanpa henti. Biasanya, orang tersebut menerapkan pola pikir seperti, “Kalau saya dapat IPK sempurna, saya akan bahagia,” atau, “Jika saya berhasil masuk perusahaan impian, maka saya akan sejahtera.” Padahal, saat semua tujuan itu sudah tercapai, kita hanya akan merasa bahagia sebentar. Setelah itu, kita pun merasa tertekan untuk mencari target baru untuk dicapai agar bisa merasa bahagia lagi.
Begitulah siklusnya: Kita menetapkan tujuan, mencapainya, merasa senang sebentar, lalu merasa kembali tak bersemangat, dan akhirnya menetapkan tujuan lain lagi. Hal tersebut terjadi secara terus menerus.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa mentalitas roda hamster ini hanya akan menguras tenaga. Akibatnya, kita pun akan merasa kelelahan karena terjebak dalam perasaan, “Aku sudah bekerja keras dari hari ke hari. Tapi kok, rasanya aku enggak kemana-mana, ya?”
Selain itu, perlu kita ingat bahwa ada kalanya apa yang kita rencanakan tak membuahkan hasil yang kita dambakan. Dalam buku yang berjudul The Bhagavad Gita, Krishna-Dwaipayana Vyasa, seorang filsuf dan sastrawan India yang menulis Mahabharata, mengungkapkan bahwa mereka yang hanya termotivasi oleh hasil sesungguhnya sengsara. Hal itu karena mereka terus-menerus merasa cemas tentang hasil dari apa yang mereka lakukan. Maka dari itu, tak heran jika kita secara konstan dihantui perasaan cemas, kecewa, stress, dan tertekan. Apalagi, ketika tujuan-tujuan tersebut gagal diraih.
Pepatah “Kejar Mimpimu!” Tidak untuk Semua Orang
Dulu, saya cenderung menghakimi orang yang tidak punya mimpi atau tujuan jelas. Namun, saya kemudian sadar bahwa pepatah, “Kejarlah Mimpimu!” Atau, “Gantungkan mimpimu setinggi langit!” Tidak selalu masuk akal untuk semua orang.
Meskipun kita cenderung menentukan mimpi saat masih kanak-kanak atau remaja, saya rasa konsep tersebut tidak perlu dipaksakan kepada setiap anak.
Melissa Kirk, salah satu penulis buku Depression 101 mengemukakan masalah pada nasihat untuk mengejar mimpi. Menurutnya, nasihat tersebut terkesan memojokkan mereka yang cukup puas dengan hidupnya, meskipun mungkin mereka tidak terlalu bersemangat tentang satu hal.
Di sisi lain, tidak semua orang mempunyai privilese untuk mengejar mimpi mereka. Contohnya, seseorang yang tidak punya pekerjaan tetap, seseorang yang berjuang dengan masalah mental, single-parent (orang tua tunggal) yang harus menghidupi anaknya. Situasi mungkin tidak menyisakan mereka kebebasan dan sumber daya untuk mengejar mimpinya.
Apakah kamu pernah melihat cuitan seorang financial trainer (perencana keuangan) yang sempat viral di media sosial? Cuitannya berbunyi, “Yakali enggak punya rumah di usia 40an?”
Dari cuitan tersebut, dapat dilihat bahwa lingkungan kerap memberikan standar dalam “tujuan” yang perlu dicapai semua orang. Standar tersebut seolah-olah mengesampingkan apa yang sudah kita jalani dan capai selama ini seperti bekerja, belajar, bersosialisasi, menjalin relasi, mencintai, melakukan hobi, sampai mencuci pakaian dalam kita sehari-hari.
Daripada dipusingkan dengan mimpi dan target yang justru menjadi beban, akan lebih baik jika kita belajar mengapresiasi diri karena hal-hal yang lebih nyata. Caranya adalah dengan menerima bahwa:
1) Kita boleh melakukan apa yang kita suka. Tapi, tak apa juga jika kita melakukan sesuatu yang tidak kita sukai karena bertanggung jawab kepada orang lain;
2) Hidup memang sulit dan menyebalkan. Tapi, kamu juga pantas untuk diapresiasi karena sudah bertahan sejauh ini;
3) Terkadang, kebahagiaan juga bisa hadir melalui hal-hal kecil, tidak selalu melalui hal-hal besar seperti mencapai mimpi;
4) Kita tidak membutuhkan semangat atau ambisi besar jika kita sadar akan kemampuan yang kita miliki.
Daripada dipusingkan dengan mimpi dan target yang justru menjadi beban, akan lebih baik jika kita belajar mengapresiasi diri karena hal-hal yang lebih nyata. ~Ratih Latifah Murniati Share on XLebih Fokus ke Sasaran Ternyata Bermasalah
Banyak buku self-help (pengembangan diri) dan pakar kesuksesan yang mendorong kita untuk membayangkan mimpi atau tujuan kita dengan spesifik. Namun, peneliti Heather Kappes dan Gabriele Oettingen mengemukakan bahwa orang yang menggambarkan mimpi atau tujuannya secara spesifik cenderung tidak akan mencapainya.
Hal tersebut karena gambaran masa depan yang positif cenderung mendorong diri kita merasa kekurangan energi untuk mencapainya dibandingkan dengan orang-orang yang punya gambaran netral. Ternyata, memiliki gambaran spesifik tentang masa depan tidak serta-merta menjamin kita bisa mencapai apa yang diinginkan.
Lalu, bagaimana jika kita melupakan target-target kita seluruhnya dan fokus pada prosesnya? Dalam bukunya yang berjudul Atomic Habits (Kebiasaan Atom), James Clear mengemukakan bahwa memiliki target tidak serta-merta sia-sia.
Target atau tujuan berguna untuk menetapkan arah. Namun, ada juga sistem yang harus kita terapkan demi mendapatkan kemajuan. Menurutnya, ada masalah-masalah yang akan timbul jika kita terlalu fokus hanya pada sasaran, yaitu:
1) Survivorship bias, yakni kecenderungan untuk melihat hanya pada seorang pemenang dan meyakini bahwa sifat ambisius merekalah yang mengantarnya mencapai tujuan. Akibatnya, kita pun mengabaikan kegagalan orang lain yang memiliki tujuan yang sama.
2) Perubahan yang dibawa oleh pencapaian tersebut hanya bertahan sebentar. Padahal, keadaan belum tentu berubah apabila kita tidak memperbaiki diri maupun sistem selama proses pencapaian tersebut.
3) Terjebak dalam asumsi, “Begitu aku berhasil meraih targetku, barulah aku akan bahagia.” Mentalitas ini sama seperti membatasi kebahagiaan dalam versi yang sempit.
4) Pola pikir yang berorientasi sasaran dapat menciptakan efek “yoyo”. Maksudnya, banyak orang yang cenderung kembali kebiasaan-kebiasaan lama setelah berhasil mencapai tujuan tertentu.
Pengalaman manusia dalam menjalani kehidupan begitu kompleks dan beragam. Kita pun tidak bisa terlalu menyederhanakannya. Nggak apa-apa kalau kamu tidak punya mimpi besar. ~Ratih Latifah Murniati Share on XMeskipun tidak memiliki mimpi besar, saya tetap ingin mengembangkan diri dengan lebih berkomitmen dan konsisten dalam proses. Toh, hidup bukan ajang lari cepat. Justru, hidup adalah jalur maraton.
“Maraton… Maraton. Hidup begitu panjang jadi santai saja.” (Paradise, BTS)
Pengalaman manusia dalam menjalani kehidupan begitu kompleks dan beragam. Kita pun tidak bisa terlalu menyederhanakannya. Nggak apa-apa kalau kamu tidak punya mimpi besar. Nggak apa-apa kalau kamu hanya jadi orang biasa-biasa saja.
Tidak apa juga jika mimpi atau tujuanmu hanya untuk tetap waras dan bertahan hidup sampai akhir tahun ini. Apalagi, sekarang kita berada di tengah masa pandemi. Bahkan, mimpimu bisa juga berupa hal-hal sederhana, seperti: “Besok aku mau beli buku incaranku! Yeay!” “Tidak masalah jika yang diimpikan berbeda. Kata siapa mimpi harus sesuatu yang besar? Jadilah siapa saja. Kita semua pantas untuk hidup, tak peduli besar atau kecil, biar bagaimanapun kamu adalah kamu.” (Paradise, BTS)
Ratih Latifah, 22 tahun, seorang lulusan Ilmu Komunikasi Undip yang saat ini sedang berusaha menemukan jati dirinya. Hobi saya adalah membaca dan mengoleksi buku. Saya tertarik membicarakan topik yang berkaitan dengan dunia psikologi dan literasi.
Bisa dihubungi melalui Instagram: @ratihlatifahm dan Twitter: @kumismussolini
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini