Konsep Mini
1. Reproduksi
Mencakup reproduksi biologis (kemampuan untuk melahirkan anak) dan peran sosial dan ekonomi yang menopang dan mereproduksi masyaraka, tidak hanya mencakup persalinan dan pengasuhan anak, tetapi juga sistem perawatan dan tenaga kerja yang lebih luas yang mereproduksi tenaga kerja dan menegakkan struktur sosial.
2. Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (HKSR)
Hak individu untuk memiliki kendali atas tubuh mereka sendiri dalam hal reproduksi dan seksualitas. HKSR mencakup kebebasan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi (seperti perencanaan keluarga, kehamilan, persalinan, dan akses ke layanan kesehatan reproduksi) serta hak atas informasi dan pendidikan terkait kesehatan seksual yang aman dan bertanggung jawab.
Sejalan dengan pengertian reproduksi tersebut, manusia sebagai makhluk sosial yang terus-menerus berinteraksi kemudian mengadopsi normalisasi reproduksi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu standar menuju kehidupan yang “normal” yang melatarbelakangi munculnya normalisasi dalam berpasangan, bahwa pasangan yang sehat/normal adalah mampu untuk bereproduksi dalam institusi pernikahan.
Setiap orang yang menikah biasanya akan mengupayakan menjadi pasangan yang normal dengan bereproduksi. Bahkan, tidak jarang dari mereka yang kemudian mengeluarkan dana yang sangat besar untuk proses bayi tabung untuk memastikan mereka dapat bereproduksi. Proses tersebut tentunya tidak hanya menghabiskan dana, namun kerugian-kerugian lainnya seperti stres dan depresi yang tentunya berkontribusi dengan menurunnya kualitas hidup manusia, khususnya perempuan.
Dalam hal ini, dampak terbesar tentunya dialami oleh perempuan. Karena perempuan merupakan agen yang akan memberikan tempat tinggal bagi embrio untuk bertumbuh dan berkembang yang tidak dapat dijadikan alat ukur keberhasilan dalam bereproduksi. Meskipun demikian, keadaan ini akhirnya dapat menempatkan perempuan sebagai obyek yang dapat dikontrol oleh pasangan, keluarga, masyarakat maupun negara setiap saat. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Amalliya Hesti Susanti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga bahwa perempuan dijadikan obyek untuk mensukseskan pembangunan ekonomi. Fungsi perempuan dalam pembangunan dengan adanya program KB sebagai pengontrol jumlah pertumbuhan penduduk. Sekaligus menempatkan reproduksi sebagai tujuan utama pernikahan dan membentuk keluarga.
Sebagai contoh, dalam suatu pernikahan, perempuan dijadikan tolok ukur reproduksi yang normal dan akan diminta oleh pasangan maupun keluarga dan masyarakat untuk menunjukkan keutuhannya sebagai perempuan dengan hamil dan melahirkan bayi sehat. Dapat dibayangkan jika pernikahan dan konsep keluarga yang normal adalah memiliki anak minimal 2 orang, tentunya akan memberikan dampak secara langsung terhadap pertambahan penduduk di dunia. Tanpa disadari, standar yang dianut masyarakat tentang normalisasi pernikahan tersebut berdampak panjang terhadap keseimbangan kehidupan, khususnya pembangunan suatu negara.
Perempuan berhak menentukan segala sesuatu yang berhubungan atas tubuh dan kehidupannya. Perempuan yang sempurna tidak dapat diukur dari hasil reproduksi berupa anak. ~ Mitra Kadarsih Share on XPertumbuhan penduduk dunia pada 2012 mencapai 7,1 milyar dan diproyeksikan akan mencapai 9,6 milyar pada 2050. Proyeksi tersebut menggunakan asumsi tiap 1 perempuan di dunia hanya melahirkan 2 anak saja. Sangat cepatnya pertumbuhan penduduk tersebut tentunya akan diikuti beragam permasalahan kependudukan. Logika pemikiran yang digunakan dalam analisis masalah kependudukan salah satunya adalah dengan membandingkan luas wilayah dunia yang tetap dengan pertumbuhan penduduk yang selalu bertambah setiap tahunnya. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan di dunia yang berdampak terhadap stabilitas sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, dan aspek lainnya dalam berkehidupan.
Permasalahan kependudukan tersebut yang kemudian melatarbelakangi program Keluarga Berencana (KB) di seluruh dunia. Pertama kali dicanangkan pada tahun 1967 dalam “World Leaders’ Declaration on Population” yang dihadiri oleh 30 kepala negara di dunia untuk menjalankan program KB di negaranya masing-masing guna menekan laju pertumbuhan penduduk yang begitu pesat. Program KB ini disinyalir akan berdampak terhadap pembangunan suatu negara. Namun, dalam pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek, khususnya sosial, budaya, agama, dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Belum lagi adanya pertentangan bahwa program KB merupakan kontrol atas tubuh perempuan. Karena program KB tidak lepas kaitannya dengan Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (HKSR) Perempuan. Sehingga, permasalahan penduduk ini, kembali menempatkan reproduksi dan seksualitas perempuan menjadi objek utama dalam upaya menekan laju pertumbuhan penduduk di dunia.
Hal tersebut akhirnya menimbulkan kompleksitas dalam mencapai keberhasilan program KB di suatu negara dan dampaknya terhadap pembangunan. Jika program KB meninggalkan kaidah-kaidah HKSR, hal ini akan menjadi layaknya dua mata pisau bagi perempuan. Di satu sisi, perempuan dijadikan alat untuk melahirkan keturunan yang banyak. Di sisi lainnya, perempuan dijadikan alat untuk mengontrol laju perkembangan penduduk. Program KB menjadi alat bagi pemerintah atau masyarakat untuk dapat mengontrol perempuan dengan membatasi jumlah anak yang dapat dilahirkan. Sebagi contoh, pembatasan pilihan kontrasepsi khususnya bagi perempuan yang menggunakan asuransi negara. Secara tidak langsung terjadi pemaksaan bahwa perempuan wajib menggunakan kontrasepsi jangka panjang (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim/spiral) atau kontrasepsi mantap (sterilisasi). Ini yang akhirnya menyebabkan program KB menjadi mata pisau kedua, karena program KB seharusnya melindungi hak reproduksi perempuan dan meningkatkan kualitas hidup perempuan.
Perlu diketahui bahwa status kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan menjadi sangat penting untuk pembangunan suatu negara. Terbukti bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) dan dan Contraceptive Prevalence Rate (CPR)merupakan dua indikator utama untuk mengukur status pembangunan di suatu negara. Keduanya dapat memberikan gambaran tentang kesehatan, populasi, pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, akses kesehatan yang universal dan inklusif, termasuk kesehatan reproduksi perempuan di suatu negara.
CPR adalah persentase pasangan usia subur yang menggunakan kontrasepsi secara aktif tanpa terputus. Tingginya keikutsertaan pasangan untuk menggunakan kontrasepsi dapat menurunkan rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan. Maka, Angka Kematian Ibu langsung menurun dan kualitas hidup perempuan meningkat. Hal ini tentunya akan berdampak besar, khususnya terhadap pembangunan sosial dan ekonomi pada suatu negara. Oleh sebab itu, sangat penting untuk meluruskan konsep normalitas reproduksi serta hubungannya dengan konsep pernikahan dan berkeluarga.
Apakah pernikahan hanya untuk bereproduksi? Dan, apakah reproduksi yang normal adalah yang dapat hamil dan melahirkan bayi sehat?
Perempuan berhak menentukan segala sesuatu yang berhubungan atas tubuh dan kehidupannya. Perempuan yang sempurna tidak dapat diukur dari hasil reproduksi berupa anak. Perempuan yang tidak memiliki anak atau memilih untuk tidak memiliki anak juga tetap perempuan yang utuh.
Oleh sebab itu, dalam hal ini sangat penting untuk menempatkan perempuan sebagai subyek utama bukan obyek. Karena tujuan utama dari program KB adalah menyelesaikan pemasalahan-permasalahan kependudukan dan reproduksi perempuan yang disebabkan oleh ketidaksetaran gender, ketidakberdayaan perempuan, misintepretasi dan miskonsepsi tentang normalitas yang terjadi di masyarakat secara luas.
© 2024 Anotasi. Dibuat dengan hati dan puluhan gelas kopi.
Adding {{itemName}} to cart
Added {{itemName}} to cart