Selamat Hari Bumi!
April 22, 2020Mungkinkah Menghadirkan Negara untuk Pencegahan Kekerasan Seksual?
May 17, 2020OPINI
Buku dan Prasangka
oleh Ariva Septyawati
Salah satu pendiri Indonesia, Mohammad Hatta, atau lebih akrab dipanggil Bung Hatta, pernah mengilustrasikan kecintaannya terhadap buku melalui ungkapan terkenalnya yang berbunyi “Aku rela dipenjara bersama buku karena dengan buku aku merasa bebas.” Kecintaannya ini juga termanifestasi ketika ia membawa peti berisi buku bersamanya dalam masa-masa pembuangannya ke Boven Digoel pada tahun 1935. Ungkapan Bung Hatta di atas sesungguhnya mengacu pada keyakinan bahwa pikiran dan pengetahuan tak akan pernah terpenjara, dan buku adalah pintu yang akan selalu membebaskan diri kita. Kutipan inilah yang biasanya menjadi kiasan pada perayaan Hari Buku Sedunia yang jatuh pada tanggal 23 April.
Peringatan Hari Buku Sedunia mungkin tidak sepopuler peringatan lainnya seperti misalnya Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret, Hari Buruh pada tanggal 1 Mei, maupun Hari Kartini yang diperingati dua hari sebelum Hari Buku Sedunia, yakni pada tanggal 21 April. Selama ini, Hari Buku selalu diperingati dengan gegap gempita ajakan untuk pergi ke perpustakaan, toko buku yang memberikan diskon, serta pemerintah yang mengajak masyarakat untuk memberdayakan buku sebagai upaya memajukan pendidikan dan kualitas SDM Indonesia.
Hari Buku Sedunia seharusnya bukan hanya dimanfaatkan melalui selebrasi semu dengan cara menghiasi beranda media sosial kita dengan kutipan milik Bung Hatta atau public figure lainnya, melainkan juga dijadikan momentum bagi kita untuk melakukan refleksi kritis.
Minat baca di Indonesia menurut CCSU (Central Connecticut State University) tahun 2016 berada di urutan ke-60 dari 61 negara dalam riset World’s Most Literate Nations. Hanya satu peringkat di atas Negara Botswana. Hal tersebut terjustifikasi oleh fakta yang memperlihatkan bahwa hanya 0,01% dari 267 juta masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca. Apa yang menyebabkan kita terpuruk sejauh ini?
Saya pernah menjadi bagian dari None Buku DKI Jakarta pada tahun 2017. Tugas utama saya sebagai Duta Literasi adalah menggalakkan kampanye giat membaca kepada seluruh warga Jakarta, terutama anak-anak. Saya dan teman-teman sejawat biasanya secara rutin berkunjung ke RPTRA tertentu kemudian melakukan story telling dan juga acara yang berhubungan dengan literasi termasuk mempromosikan I-Jakarta, sebuah platform perpustakaan daring milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada salah satu kunjungan, saya mendapati orang tua dari salah satu anak yang hadir di RPTRA menghardik anaknya sendiri karena asyik membaca novel. Orangtua tersebut kemudian mengambil ensiklopedia mengenai tata surya kemudian memaksa anaknya untuk mengganti apa yang dibacanya. Saya tertegun dan mendapati diri saya bernostalgia ketika saya yang berusia 9 tahun sedang membaca buku cerita Princess Aurora mendapatkan komentar dari ayah bahwa bacaan saya ini remeh dan tidak berguna. Saya dikondisikan untuk membaca sesuatu yang lain, dalam hal ini buku yang dianggap memiliki tema yang lebih ‘berat’ dan ‘penting’ untuk dibaca.
Terlihat biasa saja, tetapi menurut saya ada hikmah penting dari kejadian ini yang mungkin dapat menjelaskan salah satu penyebab fenomena rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak. Bagaimana jika fenomena ini disebabkan oleh tuntutan orangtua pada prosesnya terhadap jenis bacaan apa yang boleh anaknya baca?
Tuntutan orangtua tersebut tak lain berasal dari stigma masyarakat tentang klasifikasi buku. Masyarakat membentuk semacam ide mengenai pemeringkatan buku yang berlandaskan semangat Era Positivistik. Pada Era Positivistik yang dipelopori oleh August Comte, terdapat pengagungan yang berlebihan terhadap pengetahuan yang bersifat ilmiah atau saintifik. Akibatnya tercipta semacam doktrin ilmu pengetahuan di mana ilmu yang bersifat saintifik menduduki peringkat pertama sebagai ilmu yang paling berguna terutama dalam menjelaskan kebenaran. Hal-hal seperti seni dan sastra dipandang sebelah mata. Aliran positivistik ini menilai pengetahuan harus mengikuti doktrin unified science bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis yang eksistensial. Kemudian pandangan ini diadopsi besar-besaran dan dijadikan tolak ukur kemajuan peradaban barat, tidak ketinggalan sampai saat ini ada di indonesia.
Seperti halnya pengalaman saya ketika masih aktif di lembaga kemahasiswaan, terdapat semacam stigma bahwa pekerjaan para mahasiswa yang berada di Departemen Kajian maupun Aksi Strategis lebih ‘berat’ karena berkaitan dengan urusan politik dalam negeri atau kampus. Sementara itu, teman-teman mahasiswa yang berada di Departemen Seni dan Olahraga dianggap ‘ringan’ pekerjaannya, kendati hal tersebut hanya didasarkan pada prejudice semata.
Program peningkatan minat literasi seharusnya tidak hanya menyasar pada anak-anak semata, tetapi juga kepada orangtua. ~ Ariva Septyawati Share on XPola pikir ini kemudian membentuk pandangan tentang apa yang paling baik dibaca, profesi apa yang paling baik dimiliki, serta jenis pandangan seperti apa yang dianggap lebih ‘maju’. Sama halnya, tentang bagaimana masih banyak orangtua yang menuntut anak-anaknya untuk bekerja di bidang tertentu yang sesuai dengan pandangan patokan yang mereka buat. Hal-hal seperti ini yang kemudian menghambat keingintahuan dan potensi anak, terutama dalam meningkatkan ketertarikan terhadap buku.
Ketertarikan terhadap membaca bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau arbitrer, tetapi dipupuk dalam jangka waktu yang panjang. Anak-anak harus dibebaskan untuk memilih bacaannya. Dengan adanya antusiasme sebagai titik berangkat, harapannya intensitas membaca akan tumbuh beriringan. Anak-anak akan mulai menambah dan mengeksplorasi jenis bacaan ketika mereka sudah memiliki kebiasaan dan rasa suka untuk membaca.
Salah satu cerita yang dapat kita teladani berasal dari Presiden ketiga Republik Indonesia, B.J Habibie. Beliau dikenal sangat menyukai karya sastra dan seni terutama novel-novel milik Jules Verne pada masa kanak-kanaknya. Ketertarikannya pada sastra membuat beliau melestarikan kesukaannya terhadap membaca hingga sampai menjadi insinyur pesawat terbang ternama dari Indonesia.
Oleh karena itu, program peningkatan minat literasi seharusnya tidak hanya menyasar pada anak-anak semata, tetapi juga kepada orangtua. Dengan memberikan pemahaman kepada orangtua untuk tidak membatasi pilihan membaca anak, anak dapat terus memelihara antusiasmenya terhadap membaca dan secara tidak langsung meningkatkan angka minat literasi indonesia di masa yang mendatang.
Ariva Septyawati merupakan mahasiswi tingkat akhir Prodi Ilmu Filsafat di Universitas Indonesia. Kegiatannya saat ini tengah menjalani magang di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Kantor Gubernur DKI Jakarta. Ariva juga tertarik kepada feminisme, politik, filsafat keadilan serta isu seputar Hak Asasi Manusia. Aktif dalam kegiatan mahasiswa, Ariva baru saja menyelesaikan kegiatannya sebagai Koordinator Bidang Sosial Politik BEM FIB UI, disana ia mengurusi gerakan sosial masyarakat dan politik, mulai dari demonstrasi mahasiswa sampai Bakti Sosial. Memiliki hobi membaca dan travelling, ariva berharap bisa melihat dunia lebih banyak melalui hobinya tersebut. Ariva saat ini dapat ditemui melalui instagram @arivaseptya
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini