Mendobrak Bingkai Konsumerisme Kontemporer ala Taylor dan Heath
July 6, 2022Pesantren: Wadah Pencetak Agamawan atau Wadah Pelecehan Seksual?
August 1, 2022OPINI
Cancel Culture, Level Baru Cyberbullying
oleh Fania Taufiq
Perkembangan interaksi di media sosial meningkatkan kemungkinan kekerasan cyber, misalnya cyberbullying. Salah satu contoh cyberbullying yang sering tampak di media sosial saat ini yaitu cancel culture. Namun, mengapa cancel culture sering kali dianggap bermanfaat hingga dinormalisasi?
Internet pada dasarnya merupakan hal yang netral, bukan hal yang baik maupun buruk. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan teknologi dan segala manfaatnya, berkembang juga segala kerugian yang ditimbulkan oleh penggunanya. Kita bisa menikmati mudahnya donasi lewat internet, mudahnya βfit inβ di suatu komunitas, dan mencari teman ataupun sekadar pendengar cerita. Internet juga merupakan faktor terbesar berlangsungnya demokrasi dengan membiarkan pengguna menyuarakan kemarahannya terhadap suatu ketidakadilan dan keburukan. Tetapi, selalu ada kemungkinan bahwa segala hal yang baik dalam internet itu digunakan lebih jauh lagi ke arah yang melanggar hak asasi manusia. Interaksi dalam media sosal meningkatkan kemungkinan kekerasan cyber karena kurangnya ikatan sosial dan emosional antarpengguna, sedangkan empati adalah kunci untuk memahami kondisi emosional orang lain.
Internet pada dasarnya merupakan hal yang netral, bukan hal yang baik maupun buruk. ~Fania Taufiq Share on XCyberbullying, contohnya, bisa terjadi kepada siapa pun di media sosial. Salah satu karakteristik dari cyberbullying yaitu serangannya tidak memandang bulu, yang artinya: semua pengguna, baik akun terpandang dengan pengikut banyak maupun akun yang tidak dikenal banyak orang, bisa menjadi korban cyberbullying. Berbeda dengan bullying di dunia nyata, di mana biasanya yang lemah menjadi korban dari yang berkuasa.
Sejauh ini, cyberbullying terus berkembang, bahkan dinormalisasi seiring dengan perkembangan media sosial. Sampai saat ini mungkin kebanyakan dari kita telah melihat atau mengalami sendiri, sebagai korban atau malah tanpa kita sadari, sebagai bully. Bentuk-bentuk cyberbullying pun bisa sangat mirip antara satu sama lain serta sering terjadi secara bersamaan dalam satu fenomena.
Salah satu contoh cyberbullying yang sering tampak di media sosial saat ini yaitu cancel culture. Cancel culture adalah aksi meng-cancel seseorang berdasarkan tindakan atau pun pernyataannya di masa lalu yang menyinggung atau mencerminkan sikap problematik. Online bullies akan mencari dan menemukan kesalahan masa lalu itu, menghakimi/menilai secara instan, lalu membiarkan pengguna lain ikut-ikutan, dengan maupun tidak dengan bukti. Cancel culture hampir tidak memberi ruang untuk tumbuh bagi korbannya dan sering kali mengalihkan pembicaraan dari isu-isu yang lebih mendasar dan mendesak ke isu-isu yang berpusat pada perasaan. Opini negatif korban mungkin melibatkan rasisme, homofobia, seksisme, fat-shaming, pilihan politik, dan lain-lain. Saat seseorang mengekspresikan opini negatifnya di antara rentang topik itu (misalnya mendukung politisi rasis dan menggunakan sebutan merendahkan saat menunjuk pada wanita), pengguna internet bisa menjadi internet bullies dengan meng-cancel orang tersebut, dengan maupun tidak dengan klarifikasi korban akan kesalahannya.
Menurut studi oleh Rob Henderson, terlibat dalam cancel culture akan meningkatkan status sosial dengan menjatuhkan orang lain, serta memberikan kesempatan-kesempatan baru dalam tangga sosial. Lalu, hal itu menjadi motivasi besar bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Fenomena ini disebut sebagai social media mobbing atau mob mentality dalam penggunaan media sosial.
Cancel culture hampir tidak memberi ruang untuk tumbuh bagi korbannya dan sering kali mengalihkan pembicaraan dari isu-isu yang lebih mendasar dan mendesak ke isu-isu yang berpusat pada perasaan. ~Fania Taufiq Share on XTercermin dari karakteristiknya, berikut adalah alasan mengapa cancel culture digolongkan sebagai cyberbullying:
1. Exclusion
Alih-alih mengajak korban berbicara dalam komunitas untuk membahas isu lebih lanjut sehingga terjadi penambahan pengetahuan, bully malah mengasingkan korban dari komunitas, bahkan sampai mengasingkan simpatisan korban juga.
2. Cyberstalking
Sejauh mana orang akan melakukan pembenaran atas aktivitas meng-cancel orang lain bervariasi. Bullies bahkan akan menggali informasi dari masa lalu korban termasuk informasi dari orang-orang yang sempat dikenal oleh korban maupun informasi sensitif atau personal. Hal ini dapat dikenal dengan istilah cyberstalking. Informasi tentang korban yang digali meliputi informasi pekerjaan, koneksi sosial, tempat tinggal, informasi akun media sosial, dan lainnya. Cyberstalking pada akhirnya dapat mengakibatkan kegiatan outing/doxing.
3. Harassment
Online bullies akan menghina korban, mencerca, mempermalukan, termasuk memberi julukan negatif kepada korban (name-calling). Bullies juga sering kali mengunggah informasi personal atau sensitif dari korban (outing/doxing) untuk memperparah image-nya.
The Great Grey Area
Ada banyak komplikasi seputar cyberbullying, seperti cancel culture yang mungkin dianggap bermanfaat bagi sebagian orang. Cancel culture adalah fenomena internet modern yang hukumnya diperbolehkan bagi sebagian orang tetapi dipandang sebagai tindakan yang merugikan bagi sebagian orang lainnya.
Bullies dalam cancel culture bahkan berpendapat bahwa cancelling adalah sebuah gerakan untuk menggapai keadilan sosial dan untuk meminta pertanggungjawaban target. Padahal, pada saat yang sama ia tidak bersikap adil pada orang-orang yang terkena dampaknya di luar ruang cyber (contohnya bisnis offline, semangat belajar, serta kesehatan fisik dan emosional). Justifikasi tersebut merupakan salah satu faktor mengapa cancel culture bisa menjadi sangat umum sekarang ini. Terlebih lagi dengan menganggapnya sebagai hal yang pantas, bahkan keren, hal tersebut akan mengakibatkan semakin banyak orang yang berpikir cyberbullying adalah hal yang diperbolehkan jika ditargetkan kepada orang-orang yang tidak sependapat, serta orang-orang yang membuat kesalahan tanpa sengaja, dengan alasan meminta pertanggungjawaban.
Di sisi lain, fakta bahwa cancel culture memiliki efek positif masih diperdebatkan dan tidak dapat diabaikan. Contohnya, gerakan #MeToo yang berawal dari cancelling terhadap Harvey Weinstein, pria pelaku kekerasan dan pelecehan seksual. Gerakan #MeToo pada akhirnya terlahir dengan tujuan memberi dukungan kepada korban kekerasan seksual. Perdebatan seputar penerimaan cancel culture seringnya berkisar soal keefektifannya dan pencarian kemungkinan lain untuk menggapai pertanggungjawaban pelaku kekerasan sekaligus untuk memulai perubahan.
Istilah cancel culture sendiri mulai umum terdengar pada tahun 2019, walaupun sebelumnya fenomena semacam canceling sudah umum terjadi. Cancel culture sangat mirip dengan kegiatan boikot di mana bully akan mendorong orang lain untuk menghentikan dukungan mereka terhadap korban cancel dengan cara unfollow di platform yang mereka gunakan, berhenti mendukung endorsement dan berbagai kegiatan mereka, hingga melaporkan laku mereka pada institusi tempat mereka bekerja dengan tujuan pemecatan. Terutama dalam industri hiburan, saat ini sangat umum ditemukan pengguna internet menggali informasi masa lalu selebritas dan mengungkit kesalahan-kesalahan mereka dari masa sebelum mereka terkenal untuk merusak karir mereka.
Rekomendasi Terkait Cancel Culture
Hal-hal di bawah disarankan untuk diingat dan dilakukan agar kita terus berkembang menjadi pengguna media sosial yang lebih bijak dalam pemanfaatan ruang online:
- Mengedukasi orang secara sopan dibandingkan dengan cara yang membangkitkan kebencian dan rasa malu.
- Sadar bahwa semua orang memiliki hak untuk beropini selama tidak membahayakan orang lain.
- Cancel culture harus dijalani dengan akal dan alasan yang jelas serta waktu yang cukup untuk mempelajari isu, supaya kritik yang diberikan lebih terarah dan dapat didiskusikan lebih mendalam, seperti isu kesetaraan dan HAM.
- Korban terlebih dahulu mengakui dan belajar dari kesalahan, serta menghubungi support system yang dapat membantu dalam hal kesehatan mental dan dampak lainnya.
- Lebih memperhatikan apapun yang kita unggah ke media sosial, terutama pendapat kita dalam hal yang sensitif. Pikirkan bahwa pengguna lain memiliki ilmu yang memadai dan memiliki sensitivitas terhadap pendapat kita sehingga mereka dapat menemukan celah kekeliruan atau ketidakadilan dari pendapat kita.
- Semua pengguna sebaiknya meningkatkan kesadaran bahwa apapun yang dikatakan dan dilakukan di media sosial dapat menyakiti seseorang secara fisik, mental, emosional, serta mengganggu urusan ekonomi.
Fania Taufiq, a book nerd and also an internet nerd. Currently majoring in Communication Science.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini