Agensi: Kemampuan berpikir dan bertindak
January 30, 2018Kesadaran Diri
January 30, 2018Catatan Pinggir
Musik, Murakami, dan “Ma”
oleh Bayu Maitra
Pengantar Redaksi:
Renungan Bayu tentang identitasnya sebagai seorang jurnalis, penulis fiksi dan skenario di artikel ini sangatlah menarik. Ia menegaskan betapa konsep diri bisa berbeda, tergantung dari kacamata mana kita melihat. Bayu merenungkan bagaimana seorang penulis memerlukan ‘diam’. Diam di sini bukanlah kehilangan suara. Diam adalah membiarkan suara bermain dan mencipta di dalam kepala. Muncul dan hilangnya suara sama pentingnya bagi penulis seperti pentingnya ritme bagi pemain musik.
Ketika orang bertanya soal profesi, saya selalu dengan mudah menjawab bahwa saya seorang penulis. Kemudian banyak dari mereka akan bilang, oh, ya, bisa ditebak.
Dulu, saya akan heran mendengar respons macam itu. Belakangan saya baru menyadari bahwa banyak teman menganggap saya pendiam, penyendiri yang kadang terlalu hening. Dari mereka, saya juga menyadari bahwa banyak orang terjebak dalam stigma bahwa seorang penulis mestilah orang yang tertutup, pendiam, serta lebih banyak mengamati ketimbang berbicara. Mungkin mereka ada benarnya. Tapi sejujurnya, ada hal yang rasanya belum mereka pahami.
Sebagai penulis, saat sedang diam atau sendirian, kepala saya justru seringkali ramai. Pemikiran, ide dan beragam kalimat bermunculan, saling silang sengkarut. Saya akan mulai memikirkan bagaimana merunutnya agar menjadi prosa yang cukup baik. Tanpa disadari, dalam keheningan itu sesungguhnya saya sedang berlatih menulis. Dan saya baru mendapat landasan atas pemikiran itu bertahun-tahun kemudian, dari obrolan antara dua orang besar.
Pada 4 Juli 2011, sebuah kereta cepat melaju membelah perbukitan dari Jenewa menuju Paris. Di antara para penumpang kereta tersebut adalah dua orang besar, yang selain sama-sama orang Jepang, juga sama-sama monumental bagi dunia. Mereka adalah Haruki Murakami, seorang penulis, dan Seiji Ozawa, seorang konduktor. Keduanya terlibat pembicaraan soal musik.
Saat itu Murakami menanyakan soal pentingnya “keheningan” dalam musik. Ia mengacu pada pemikiran Robert Mann, pemain biola yang juga pendiri Juilliard String Quartet. “Keheningan bukanlah sekadar ketiadaan suara: Ada suara yang disebut keheningan,” ujar Murakami.
“Ah, itu sama dengan Ma dari pemikiran Jepang. Konsep itu muncul pula dalam gagaku, juga dalam permainan biwa dan shakuhachi. Kurang lebih sama. Mann memiliki pemahaman yang sangat baik tentang hal-hal seperti ini,” balas Ozawa.
Ma sendiri memiliki banyak pengertian, meski semuanya mengacu pada hal yang sama. Beberapa definisi Ma paling sederhana adalah “ruang negatif”, “ruang di antara dua bagian struktural”, atau “ketiadaan yang murni dan esensial di antara semua hal”. Ma adalah perekat yang membuat hal-hal di sekitarnya tidak tercerai-berai, Ma adalah kekosongan yang membuat hal-hal di sekelilingnya menonjol. Ma memberi arti pada hal-hal yang tampak.
Salah satu aspek dalam dunia penulisan yang paling sulit untuk dikuasai oleh seorang penulis adalah soal ritme. Ia menjadi sulit lantaran ritme bukanlah semata soal benar-tidaknya cara penulisan, bukan saja soal benar-tidaknya menaruh titik dan koma, juga bukan sekadar soal rima bahasa. Ini soal rasa, soal di mana meletakkan Ma.
Butuh bertahun-tahun bagi saya untuk memahami betapa ritme muncul dari kombinasi antar kata, antar kalimat dan juga antar paragraf. ~ Bayu Maitra Share on XItulah sebabnya mengapa kalimat “Rina menatap Jojon dingin dan menamparnya” kalah asyik dengan “Rina menatap dingin Jojon dan… Plak!”. Itu pula alasan mengapa kalimat “Tono menembakkan pistol dan otak Joni muncrat dari belakang kepalanya yang bolong” kalah menegangkan dengan “Tono menodongkan pistol. Joni menarik napas panjang, lalu semuanya menjadi hitam.”
Ada ritme di sana. Ada “napas”, sebagaimana yang dikatakan oleh Mann. Ada Keheningan setelah “Plak!”, yang membuat kita bertanya-tanya mengapa Rina begitu murka. Juga, ada Ma setelah kalimat “semuanya menjadi hitam”. Apa yang terjadi? Apakah Tono menarik pelatuknya? Apakah Joni benar-benar mati?
Di kereta cepat menuju Paris itu, Murakami sempat bernostalgia mengenai masa-masa awalnya sebagai penulis. “Tak ada yang mengajari saya menulis. Dan, saya tak pernah mempelajari teknik penulisan. Jadi bagaimana saya belajar? Dengan mendengarkan musik. Dan apa hal terpenting dalam penulisan? Ritme. Tidak ada yang mau membaca tulisan Anda jika ia tidak memiliki ritme,” ujar Murakami.
Murakami bahkan bicara lebih lugas, bahwa untuk bisa ‘mendengar’ ritme tulisan, seseorang mesti memiliki telinga yang baik. “Pilihannya hanyalah apakah Anda orang yang bisa mendengarnya atau tidak, apakah Anda termasuk yang bisa memahami atau tidak.”
Saya memahami maksud Murakami, meski tidak sepakat sepenuhnya. Saya adalah tipe penulis yang pekerja keras. Maksudnya, penulis yang kalau mau apa-apa mesti bekerja keras. Saya bukan penulis produktif, yang sekali duduk bisa melahirkan ribuan kata. Mustahil saya bisa melakukannya. Tapi kelemahan itulah yang membuat saya memahami bahwa, pada akhirnya, kerja keras akan mengalahkan segalanya.
Butuh bertahun-tahun bagi saya untuk memahami betapa ritme muncul dari kombinasi antar kata, antar kalimat dan juga antar paragraf. Ritme juga muncul dari padu-padan antara yang keras dan lunak, ringan dan berat, dingin dan panas, basah dan kering, seimbang dan tidak seimbang, juga dari pengucapan dan penekanan.
Sulit, memang. Dan itu sebabnya saya tak berani menerka-nerka berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi seorang penulis untuk bisa memahami konsep Ma. Penulis yang satu bisa paham dalam semalam, sementara yang lain butuh seumur hidup. Tak ada ukuran pasti. Dan tak ada masalah dengan itu.
Pada akhirnya, seorang penulis hanya perlu terus bekerja keras, terus berusaha ‘mendengar’ dan merasakan. Karena seperti kata orang, bunga akan mekar pada waktunya. Dan saya berani bertaruh, ketika pemahaman itu akhirnya datang, rasanya tentu akan sepadan.
Artikel Terkait
Kesadaran Diri
Akhir-akhir ini kita banyak dihadapkan dengan pertanyaan sulit mengenai makna identitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari fenomena-fenomena sosial politik yang terjadi di sekitar kita. Situasi ini telah mendorong berbagai pihak untuk berpikir keras apa sebenarnya yang menyebabkan kuatnya sentimen berbasis identitas? Dan bagaimana cara kita menjelaskan fenomena ini?Musik, Murakami, dan “Ma”
Renungan Bayu tentang identitasnya sebagai seorang jurnalis, penulis fiksi dan skenario di artikel ini sangatlah menarik. Ia menegaskan betapa konsep diri bisa berbeda, tergantung dari kacamata mana kita melihat.Agensi: Kemampuan berpikir dan bertindak
Hidup itu penuh dengan pilihan. Rangkaian pilihan dalam kehidupan kita merupakan warisan dari nenek moyang yang sudah mengkristal dalam keluarga, pertemanan, masyarakat, bahkan negara.