NFT untuk Seniman Lokal Braga
September 13, 2022Nasib Pekerja Akademik di Kabupaten
June 20, 2023OPINI
COP 27: Aksi dan Pendanaan Iklim
oleh Dinda Prayunita dan Diego Calero Valdez
Pada tanggal 6 hingga 20 November 2022, telah dilaksanakan Conference of the Parties 27, atau COP 27, di Sharm El Sheikh, Mesir. COP 27 merupakan agenda tahunan terbesar dalam membahas isu perubahan iklim. Para tokoh internasional dari seluruh dunia berkumpul dan berkoordinasi untuk membatasi kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius pada tahun 2030 melalui aksi iklim. Di COP 27, pembahasan difokuskan pada implementasi aksi, termasuk penguatan alur kerja mitigasi, adaptasi, dan pendanaan iklim; serta transparansi dan akuntabilitas dalam semua proses.
Kemajuan aksi iklim
Untuk menentukan sejauh mana langkah-langkah implementasi harus diambil, kemajuan aksi iklim dan komitmen dari berbagai negara merupakan pertanyaan penting yang sebelumnya perlu dijawab.
Sayangnya, laporan State of Climate Action 2022 yang ditulis oleh World Resources Institute menunjukkan bahwa kemajuan aksi iklim tidak sejalan dengan target tahun 2030.
Laporan tersebut menilai 40 indikator yang mencakup sektor-sektor penting, seperti sektor energi, bangunan, industri, transportasi, hutan dan lahan, pangan dan pertanian, teknologi penghilang karbon, serta pendanaan. Indikator-indikator tersebut diidentifikasi, dinilai, dan dikelompokkan dalam lima kategori yaitu: di jalur (on-track), di luar jalur (off-track), sangat di luar jalur (well off-track), salah arah (wrong direction), dan data tidak mencukupi (insufficient data).
Dunia perlu menghentikan penggunaan energi batu bara enam kali lebih cepat untuk untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. ~Dinda Prayunita & Diego Calero Valdez Share on XPenilaian indikator menunjukkan bahwa tidak ada satupun indikator yang berjalan sesuai rencana, justru menunjukkan tren yang memburuk dari tahun sebelumnya. Terdapat 6 indikator yang dikategorikan di luar jalur, 21 indikator sangat di luar jalur, 5 indikator mengarah ke arah yang salah, dan 8 indikator kekurangan data.
Apabila temuan ini diterjemahkan, maka diartikan bahwa dunia perlu menghentikan penggunaan energi batu bara enam kali lebih cepat untuk untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. Hal ini setara dengan menghentikan sekitar 925 pembangkit batu bara setiap tahun hingga 2030.
Selain itu, temuan ini juga menjelaskan kalau sistem transportasi umum harus diperluas enam kali lebih cepat dan laju deforestasi tahunan harus dikurangi 2,5 kali lebih cepat atau setara dengan menghentikan deforestasi seluas seluruh area pertanian di Swiss setiap tahun.
State of Climate Action 2022 mencatat kemajuan yang tidak memadai di sektor padat energi. Harga yang lebih murah menyebabkan perluasan yang masif dari pembangkit listrik tenaga angin dan surya. Namun, perkembangan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas, pada saat yang sama, membuat pangsa listrik ramah karbon tetap rendah dan hanya 36 persen pada tahun 2019. Angka ini tentu saja terlalu kecil untuk untuk memenuhi target 2030 sebesar 75 persen.
Tidak hanya di sektor ketenagalistrikan, meningkatnya permintaan akan produk industri yang didorong oleh meningkatnya tingkat kemakmuran, urbanisasi, dan pembangunan infrastruktur telah memicu pertumbuhan pesat dalam ekstraksi dan produksi material di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan kebutuhan energi di sektor industri terus meningkat.
Kemajuan positif dari keseluruhan laporan yaitu terkait penjualan kendaraan listrik yang meningkat pesat. Pangsa kendaraan listrik mencapai hampir sembilan persen pada tahun 2021 dan meningkat dua kali lipat pada tahun 2022.
Namun, secara umum, banyak indikator pada sektor transportasi berada pada katagori sangat di luar jalur. Dapat diartikan bahwa tren terkini setidaknya perlu menggandakan kecepatannya atau dipercepat enam kali lipat untuk mencapai target tahun 2030.
Membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C membutuhkan transformasi pada sektor pertanian dan kehutanan. Sebagai contoh, untuk mencegah dampak iklim, diperlukan restorasi skala besar pada 300 juta hektar hutan dan 20 juta hektar lahan gambut pada tahun 2050, serta 240.000 hektar hutan mangrove pada tahun 2030.
Sayangnya, usaha restorasi sangat tidak memadai dan upaya terkini untuk memperlambat deforestasi berada sangat di luar jalur. Di sektor pangan dan pertanian, secara umum upaya untuk meningkatkan produktivitas mengarah ke arah yang benar, tetapi masih sangat di luar jalur untuk peningkatan hasil panen dan di luar jalur untuk peningkatan produktivitas daging hewan pemamah biak (ruminansia).
Masih dalam sektor yang sama, upaya untuk mempercepat perubahan pola makan berada di luar jalur, sedangkan status dari pemborosan pangan tidak dapat dinilai karena data tidak mencukupi.
Terakhir, semua indikator pendanaan iklim berada sangat di luar jalur. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dan lembaga swasta gagal menyelaraskan aliran pendanaan untuk iklim. Total pembiayaan iklim global mencapai US$640 miliar pada tahun 2020. Tetapi studi menunjukkan bahwa angka tersebut perlu tumbuh lebih dari 10 kali lebih cepat untuk mencapai target US$5,2 triliun per tahun pada tahun 2030.
Pendanaan Iklim
Menurut Biennial Assessment and Overview of Climate Finance Flows Technical Report yang terbit tahun 2022 , aliran pendanaan iklim global rata-rata sebesar US$803 miliar per tahun pada periode 2019–2020.
Pendanaan tersebut berfokus pada energi terbarukan (rata-rata sebesar US$336 miliar per tahun) dan transportasi berkelanjutan (US$169 miliar). Secara umum, pembiayaan mitigasi iklim mewakili 93 persen dari seluruh pendanaan, sementara pembiayaan adaptasi iklim hanya sekitar 5 persen. Ketidakseimbangan antara pembiayaan mitigasi dan adaptasi ini menjadi sebuah masalah karena sebagian besar negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim memiliki lebih sedikit sumber keuangan untuk beradaptasi terhadap dampak itu sendiri.
Oleh karena itu, selama kurun waktu hampir tiga dekade, negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim meminta bantuan pendanaan kepada negara-negara maju untuk mengatasi dampak tersebut. Salah satunya dengan pembentukan dana loss and damage, yang juga merupakan keluaran utama dari COP 27.
Loss and damage mengacu pada risiko perubahan iklim yang tidak dapat dihindari dan memiliki efek negatif seperti desertifikasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan meningkatnya kejadian ekstrem seperti kebakaran hutan dan banjir. Diharapkan skema loss and damage dapat mendukung negara-negara berkembang untuk dapat lebih beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim tersebut.
Meskipun pembentukan dana loss and damage merupakan pencapaian besar, masih banyak detail yang harus dibahas, seperti siapa yang akan membayar, dari mana uang berasal, dan negara mana yang mendapatkan manfaat dari pendanaan tersebut. Sejauh ini pendanaan loss and damage bersifat sukarela dan negosiasi masih sangat diperlukan untuk menentukan bagaimana cara mengumpulkan kontribusi dari berbagai negara maju.
Selama COP 27, janji-janji kontribusi pendanaan telah dibuat oleh negara-negara maju. Namun, seperti diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pemerintah seharusnya tidak menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Sektor swasta, terutama pelaku bisnis bahan bakar fosil, juga harus dimintai pertanggungjawaban melalui pengenaan pajak yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh negara tempat perusahaan beroperasi.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun terdapat berbagai sumber pendanaan (publik, swasta, campuran), pembiayaan dari pihak swasta menyumbang sebagian besar pendanaan iklim atau sekitar 56 persen dari total pendanaan.
Menurut Climate Policy Initiative, investasi swasta untuk pendanaan iklim telah tumbuh dalam beberapa dekade terakhir, mengindikasikan adanya peluang ekonomi. Selain itu, pendanaan swasta memiliki mekanisme inovatif yang memungkinkan mereka menjadi lebih terdepan dibandingkan sumber pendanaan lainnya.
Namun, lagi-lagi, pendanaan iklim dari pihak swasta saat ini hanya berfokus pada pendanaan mitigasi dan investasi energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan karena memberikan keuntungan finansial yang lebih cepat.
Dinda Prayunita dan Diego Calero Valdez merupakan mahasiswa master jurusan Sustainable Development di KU Leuven, Belgia.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini