Tren Ikoy-ikoyan sebagai Produk Budaya
January 4, 2022Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi, untuk Siapa?
January 26, 2022OPINI
Degrowth sebagai Pra-syarat Alternatif Pembangunan
oleh Mohammad Fachry
Degrowth adalah rancangan terencana untuk memperlambat aktivitas ekonomi agar kerugian yang dialami manusia dan alam bisa diminimalisir. Misi degrowth bisa dimulai dengan mengurangi aktivitas ekonomi pada negara-negara berpendapatan tinggi maupun perusahan multinasional yang konsumsi sumber daya alamnya sudah melebihi batas wajar.
Beberapa waktu lalu, jagat maya diramaikan dengan cuitan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan era Presiden Joko Widodo, yang berkata bahwa pembangunan besar-besaran di Indonesia hari ini tidak bisa berhenti atas nama deforestasi. Potongan cuitan ini sontak menuai banyak kritik di linimasa media sosial. Pasalnya, pembukaan lahan dengan deforestasi dapat memicu terjadinya bencana ekologis.
Pemerintah Indonesia bukannya tidak peduli dengan isu krisis iklim. Jika kembali melihat kumpulan cuitannya, Siti Nurbaya Bakar menyebutkan strategi pemerintah untuk mengurangi bencana alam akibat aktivitas manusia di sektor kehutanan. Namun, dalam penjabaran tersebut, Siti Nurbaya Bakar menyatakan bahwa penghentian deforestasi seutuhnya (zero deforestation) tidak bisa dilakukan, karena pembangunan harus terus dijalankan. “Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi,” ujar Menteri LHK ini.
Sayangnya, jika melihat data Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sepanjang masa pemerintahan Jokowi, deforestasi justru lebih banyak dilakukan untuk kepentingan ekspansi bisnis tambang yang cenderung meninggalkan jejak konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Sementara, deforestasi yang dilakukan untuk kepentingan pembangunan, yang menurut Siti Nurbaya Bakar harus dilakukan dengan kaidah berkelanjutan dan berkeadilan, nyatanya seringkali menyebabkan konflik agraria dengan masyarakat setempat. Proyek Strategi Nasional misalnya, tercatat menyebabkan 17 dari 30 konflik agraria di sektor infrastruktur sepanjang tahun 2020.
Situasi ini seharusnya bisa menjadi bahan refleksi untuk kita semua: Apakah pembangunan yang didorong pemerintah benar-benar untuk menyejahterakan rakyatnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk kita terlebih dahulu melihat awal mula kemunculan pembangunan.
Sejarah Singkat Pembangunan
Pada tahun 1949, melalui pidato inagurasinya, Presiden ke-33 Amerika Serikat, Harry Truman, mengatakan bahwa lebih dari setengah penduduk di dunia berada dalam kondisi yang mengenaskan: Mereka kekurangan makan, lebih rentan terkena penyakit, serta kondisi ekonominya cenderung stagnan. Menurut Truman, kemiskinan mereka adalah hambatan hingga ancaman yang bisa berdampak ke negara-negara makmur lain. Pidato tersebut juga berisi klaim Truman yang mengatakan bahwa Amerika Serikat yang unggul dalam perkembangan industri dan pengetahuan, bisa membebaskan mereka dari “jerat kemiskinan”.
Narasi ini lantas membawa tatanan baru di kancah Internasional. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa memposisikan diri mereka sebagai negara yang lebih “maju”. Padahal, kemajuan yang diklaim negara-negara bagian Utara ini tidak lepas dari eksploitasi yang dilakukan pada negara-negara di dunia bagian Selatan. Alih-alih bertanggungjawab atas eksploitasi yang dilakukan, negara-negara Utara justru lebih meyakini bahwa penyebab kemiskinan adalah persoalan internal negara-negara Selatan. Menurut Jason Hickel, seorang Ekonom Antropolog, pengalihan permasalah ini adalah upaya negara-negara Utara untuk tetap mendominasi negara-negara Selatan setelah runtuhnya era kolonialisme.
Masih menurut Hickel, ide utama untuk mengaburkan peran kolonialisme dalam menyebabkan kemiskinan datang dari seorang ekonom Amerika Serikat, Walt Whitman Rostow. Rostow berargumen bahwa kemiskinan tidak lahir dari kolonialisme, melainkan akibat dari ketiadaan pengetahuan dan teknologi yang tepat. Menurut Rostow, jika negara Selatan ingin keluar dari kemiskinan, maka mereka perlu menerima bantuan dan saran kebijakan dari negara Utara untuk menuju ‘modernisasi’. Di sinilah dogma pembangunan lahir.
Rostow yang lalu terkenal dengan teori stage of growth menyebutkan bahwa tujuan akhir pembangunan adalah membawa masyarakat tradisional menjadi masyarakat high-mass consumption atau masyarakat yang bisa mengonsumsi lebih dari kebutuhan dasarnya. Dan strategi yang dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menumbuhkan PDB.
PDB (Produk Domestik Bruto) adalah pendapatan negara dari seluruh total nilai barang dan jasa yang diproduksi pada periode tertentu. Selama lebih dari 70 tahun, PDB digunakan untuk mengukur seberapa besar dan sehat perekonomian negara. PDB yang selalu tumbuh juga dipercaya bisa ’meneteskan’ (trickle down effect) kekayaan yang dihasilkan ke masyarakat miskin. Namun, logika ini kembali dibantah oleh Hickel. Menurut Hickel, meskipun PDB naik sejak 1960, jumlah masyarakat miskin justru meningkat. Fenomena ini terjadi dikarenakan kekayaan dunia tidaklah terdistribusi secara merata: 40% manusia terkaya mendapatkan 95% kekayaan dunia, sedangkan 60% rakyat termiskin hanya mendapatkan 5% sisanya.
Selain itu, upaya dalam meningkatkan PDB juga mempunyai konsekuensi lain. Ketika PDB naik, maka penggunaan sumber daya alam yang terbatas juga akan meningkat. Hal ini dikarenakan segala aspek yang menunjang ekonomi, seperti jalan, bahan bakar kendaraan, listrik, gedung, dan segala material fisik yang ada diperoleh dengan penggunaan sumber daya alam. Melihat hubungan ini sangat penting, karena proses pengubahan sumber daya alam menjadi kebutuhan sehari-hari akan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang terlepas ke atmosfer. Emisi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer akan membuat suhu Bumi semakin panas, dan jika peningkatan suhu Bumi ini diteruskan, maka keseimbangan alam akan terganggu, sehingga bisa menyebabkan berbagai bencana ekologis.
Melihat ancaman ini, beberapa tahun terakhir muncul upaya untuk memisahkah hubungan pertumbuhan PDB dan dampak lingkungan melalui efisiensi teknologi dan sumber daya alam terbarukan. Namun, proses yang disebut decoupling ini setidaknya mempunyai dua masalah. Pertama, tidak ada bukti empiris yang memperlihatkan bahwa decoupling dapat menurunkan emisi yang terlepas ke atmosfer. Negara berpendapatan tinggi memang berhasil melakukan decoupling. Namun, jika dilihat secara global, emisi yang terlepas ke atmosfer justru semakin meningkat. Kedua, kita tidak punya cukup waktu untuk menghentikan atau, setidaknya, menahan temperatur Bumi di ambang batas 1.5 derajat celsius dengan mengandalkan decoupling. Jika suhu Bumi mencapai 1,5 derajat celsius, maka ancaman ekologis yang masif sudah tidak bisa dihindari.
Permasalahan sosial dan ekologis yang terjadi ini membuktikan beberapa hal. Pertama, sejak awal kemunculannya, pembangunan hadir bukan untuk menyejahterakan manusia, melainkan untuk mempertahankan dominasi kekuasaan dan memperkaya segelintir orang. Kedua, pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan bertujuan untuk membawa manusia menjadi masyarakat high mass consumption sangat bertentangan dengan daya dukung alam. Cara pandang baru diperlukan untuk mengubah obsesi akan pembangunan, dan itu bisa dimulai dengan menurunkan aktivitas ekonomi.
Cara pandang baru diperlukan untuk mengubah obsesi akan pembangunan, dan itu bisa dimulai dengan menurunkan aktivitas ekonomi.~Mohammad Fachry Share on XMenuntut Degrowth dan Membayangkan Alternatif Pembangunan
Dunia perlu menerapkan degrowth (menurunkan pertumbuhan ekonomi). Degrowth berbeda dengan resesi. Resesi adalah kondisi di mana aktivitas ekonomi menurun secara tak terencana, sehingga menyebabkan kemiskinan dan pengangguran. Adapun degrowth adalah rancangan terencana untuk memperlambat aktivitas ekonomi agar kerugian yang dialami manusia dan alam bisa diminimalisir. Misi degrowth bisa dimulai dengan mengurangi aktivitas ekonomi pada negara-negara berpendapatan tinggi maupun perusahan multinasional yang konsumsi sumber daya alamnya sudah melebihi batas wajar. Sementara, negara-negara berpendapatan rendah bisa menyusul setelah memastikan penduduknya memenuhi hak-hak dasar mereka.
Lebih rinci, Jason Hickel, dalam bukunya Less is More, memaparkan berbagai langkah yang harus dilakukan untuk melancarkan misi degrowth. Beberapa di antaranya adalah menghapus semua utang negara yang dibebankan ke negara miskin; mengembalikan mandat public goods ke rakyat yang membutuhkan; mendistribusikan penghasilan dan kekayaan lebih adil; memperpendek dan membagi jam kerja; mengganti pekerjaan ekstraktif dan eksploitatif ke pekerjaan reproduktif, seperti merawat dan berkebun; hingga menerapkan struktur kepemilikan kolektif (cooperative ownership) dalam institusi politik dan ekonomi.
Upaya-upaya ini berusaha untuk membebaskan mayoritas penduduk dunia dari tuntutan menjalani pembangunan dengan mengejar pertumbuhan ekonomi yang merupakan produk neokolonial. Sebagai slogan yang datang dari Eropa, para pendukung degrowth tidak ingin degrowth menjadi produk lain neokolonial. Oleh karena itu, beberapa akademisi degrowth merasa perlu untuk melibatkan perspektif anti-kolonial di dalamnya. Dengan begini, degrowth juga menyertakan proses dekolonisasi, yang tujuan akhirnya memberikan kesempatan ke negara-negara lain untuk mencari alternatif cara berkehidupan yang baik versi mereka.
Strategi ini juga sejalan dengan pemikiran akademisi post-development (pasca-pembangunan) dari negara selatan seperti Arturo Escobar. Menurut Escobar, meskipun degrowth dan post-development berasal dari tradisi intelektual yang berbeda, keduanya sama-sama mempertanyakan hegemoni sistem hari ini dan berusaha untuk mendorong upaya-upaya dalam mencari sistem alternatif yang lebih adil bagi manusia dan alam.
Menjalankan cara hidup alternatif bukanlah sesuatu hal baru. Di Bhutan misalkan, PDB sebagai alat ukur kesuksesan sudah ditinggalkan. Bhutan kini menjadikan kesejahteraan rakyatnya sebagai indikator penting melalui Gross National Happiness Index. Lalu, di Amerika Latin terdapat slogan buen vivir, yang berarti hidup yang baik. Slogan ini telah menjadi pedoman bagi gerakan-gerakan sosial; dan pada akhirnya landasan konstitusi, di beberapa negara di Amerika Latin untuk melawan dominasi pembangunan. Falsafah buen vivir percaya bahwa ada banyak cara hidup alternatif yang mana relasi antara manusia dan alam bisa terjaga dengan baik.
Selain buen vivir dari Amerika Latin, beberapa negara juga mempunyai gerakan yang serupa. India punya swaraj, falsafah pada masa perjuangan yang kini menjadi gerakan akar rumput dalam mengedepankan nilai-nilai demokrasi radikal: sebuah situasi di mana mandat tertinggi ada pada rakyat. Afrika Selatan, di sisi lain, memiliki ubuntu, konsep dengan kearifan lokal yang menyadari pentingnya hubungan harmonis manusia dengan satu sama lain maupun dengan alam.
Melihat kemunculan berbagai alternatif tandingan ini menggeser pemahaman khas barat bahwa pembangunan adalah satu-satunya cara menuju hidup yang baik. Strategi dalam mengentaskan kemiskinan dengan terus meningkatkan ekonomi juga memperlihatkan bahwa mayoritas penduduk dunia masih harus berjuang untuk hidup layak. Ditambah lagi perilaku konsumsi berlebih yang lahir dari obsesi pembangunan mengancam kelestarian lingkungan dan menjadi penyebab utama krisis iklim.
Situasi ini seharusnya bisa mendorong Indonesia keluar dari dogma pembangunan dan mencari alternatif berkehidupan. Sebagai negara kepulauan yang terkenal dengan beragam budaya dan suku di dalamnya, Indonesia melalui masyarakat adat adalah sumber inspirasi untuk kita dalam menjalani hidup. Selama ratusan tahun, mereka selalu bisa memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus merusak alam. Dengan belajar dari kearifan lokal yang sudah dibawa masyarakat adat secara turun-temurun ini, kita mungkin bisa mencari alternatif berkehidupan yang lebih adil dan lestari.
Dengan belajar dari kearifan lokal yang sudah dibawa masyarakat adat secara turun-temurun ini, kita mungkin bisa mencari alternatif berkehidupan yang lebih adil dan lestari. ~Mohammad Fachry Share on XMohammad Fachry atau yang biasa disapa Fachry adalah seorang Product Designer yang tertarik pada isu lingkungan, demokrasi ekonomi dan ketahanan pangan. Fachry percaya bahwa pendekatan desain yang berkelanjutan, partisipatoris, dan spekulatif bisa membawa ke masa depan yang lebih disukai.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini