Pengantar Redaksi:
Sudah aktif di dunia blockchain dan aset kripto sejak tahun 2015, Dimaz merefleksikan kembali pengalamannya sebagai peneliti dan pemilik aset kripto yang ternyata tidak selalu berjalan mulus. Yuk segera simak tulisannya berikut.
Lima tahun sudah saya bergelut di bidang cryptocurrency, atau bila diterjemahkan secara luas, aset kripto. Saat itu, bitcoin baru bernilai lima juta rupiah per keping, dan Ethereum, aset kripto peringkat dua dunia, baru dimulai proyeknya. Tak banyak yang paham apa itu bitcoin. Termasuk saya.
Bergelut di dunia aset kripto hingga sekarang, sebenarnya, tak ada dalam pikiran saya. Waktu itu, saya sekadar mencari topik tesis sekaligus dosen pembimbing, yang harus segera diselesaikan sebelum semester baru dimulai. Beruntung, ada seorang dosen muda yang bersedia menerima saya menjadi mahasiswa bimbingan. Dengan topik yang saat itu cukup menggugah selera, Bitcoin.
Semenjak saat itu, saya tak pernah pergi dari dunia riset aset kripto. Selepas menyelesaikan pendidikan master, saya menempuh pendidikan doktoral oleh dosen yang sama, dengan topik yang kurang lebih sama pula. Pascadoktoral pun, hari-hari saya masih penuh dengan membaca literatur, berdiskusi, menulis artikel, ataupun bereksperimen terkait aset kripto.
Bermain-main dengan bitcoin di masa-masa awal bukanlah perkara mudah. Tak banyak literatur tersedia, hingga saya harus bereksperimen dengan bitcoin yang saya beli sendiri. Tak jarang saya harus kehilangan bitcoin dalam eksperimen, karena kesalahan pemrograman misalnya. Atau, dalam satu kesempatan, dicuri orang. Lalu, melalui sebuah forum, saya bertukar pendapat dengan sang pencuri yang ternyata anggota senior di forum yang sama. Itulah pertama kalinya, saya kecurian, tetapi berhasil “mencuri” banyak ilmu dari si pencuri.
Bitcoin, tak seperti uang lokal biasa yang diterbitkan pemerintah, memberikan kebebasan yang amat luas pada penggunanya. Tak seperti uang yang ada di bank, yang saya sendiri tidak tahu bagaimana bank mengelola uang saya, aset kripto dapat ditransaksikan langsung dari aplikasi elektronik ke jaringan aset kripto tanpa perantara. Penerima juga langsung mendapatkan notifikasi penambahan aset kripto dari aplikasi, juga tanpa perantara. Perbankan, dalam ruang lingkup sistem aset kripto, menjadi konsep usang dan ketinggalan zaman.
Teknologi blockchain memungkinkan sistem uang digital seperti Bitcoin berjalan tanpa perantara. Blockchain memaksa para penggunanya untuk tunduk pada aturan main yang dijalankan program komputer yang dapat diverifikasi kebenarannya. Blockchain menjamin bahwa hanya ada satu versi informasi, yang terduplikasi di banyak peladen (server) yang saling bertukar informasi. Dengan demikian, peladen Bitcoin yang berlokasi di Amerika Serikat, dapat mengetahui bahwa seseorang membayar dengan menggunakan bitcoin, meski orang tersebut sedang berada di Eropa, selama peladen tersebut tersinkronisasi dengan jaringan blockchain Bitcoin. Teknologi blockchain milik Bitcoin serupa buku besar berskala global yang mencatat transaksi pemindahan aset dari satu alamat ke alamat lainnya, yang terjadi dalam jaringan Bitcoin di seluruh dunia.
Aset kripto yang didukung teknologi blockchain meningkatkan kemandirian pengguna. Saya, sebagai pemilik aset kripto, memiliki akses penuh terhadap aset saya. Itu artinya, saya bertanggung jawab pula atas keamanan aset saya, yang bergantung pada cara saya menyimpan kunci privat dari aset kripto saya. Lengah sedikit, aset kripto saya pasti lenyap, tanpa ada kemungkinan kembali. Sayangnya, ini adalah konsekuensi dari ketiadaan pihak perantara seperti perbankan ataupun penjamin seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam sistem aset kripto, yang layanannya membuat sistem pembayaran tradisional kita benar-benar nyaman dan aman digunakan.
Aset kripto seperti Bitcoin memiliki fitur pemrograman, yang tidak ada dalam sistem uang tradisional. Fitur ini pula yang memberikan aset kripto julukan “programmable money”, atau uang yang bisa diprogram, meski, yah, tak semua aset kripto benar-benar dapat diprogram. Melalui fitur pemrograman dalam uang, maka layanan finansial kompleks seperti uang jaminan (bond) dan pertukaran yang adil (fair exchange) dapat dilakukan tanpa bantuan perantara, yang artinya tak perlu ada ongkos tambahan untuk membayar komisi perantara.
Aset kripto yang lebih baru seperti Ethereum memungkinkan terjadinya konvergensi antara layanan dan pembayaran. Kontrak pintar (smart contract) memberikan keleluasaan bagi siapapun untuk membuat program, menyimpannya ke dalam blockchain, dan membiarkan sistem blockchain mengeksekusi program tersebut, sesuai dengan masukan (input) pengguna. Sedikit informasi tambahan, Ethereum bisa dibilang aset kripto yang populer nomor dua setelah Bitcoin. Bahkan, jika dikaitkan dengan relevansi saat ini, popularitasnya lebih menanjak ketimbang Bitcoin, bertepatan dengan meledaknya istilah DeFi yang berjalan di platform mereka.
Kontrak pintar memberi peluang baru bagi sistem perdagangan yang lebih adil dan demokratis. Sistem lelang misalnya, dapat dibangun menggunakan kontrak pintar, yang dapat dengan mudah diaudit untuk menghindari kecurangan. Pun halnya dengan sistem pemilu, yang dapat dibangun menggunakan kontrak pintar, sehingga pihak-pihak yang turut serta dalam pesta demokrasi dapat yakin bahwa tak ada kecurangan oleh penyelenggara. Atau, bila ada, dapat dideteksi dengan mudah.
Kontrak pintar yang didukung sistem blockchain tanpa pengendali pusat mendukung desentralisasi. Setelah aplikasi desentralisasi (decentralised application atau dApp) seperti game dan digital collectibles, kini muncul tren baru yakni finansial desentralisasi (decentralised finance atau DeFi). Melalui DeFi, kegiatan simpan-pinjam dapat terjadi secara otomatis di dalam blockchain. Siapapun dapat menyimpan dana, dengan iming-iming bunga, ataupun meminjam dana, dengan membayar sejumlah bunga, plus aset kolateral yang harus dijaminkan selama waktu tertentu. Pembagian keuntungan bagi para penyedia dana dapat dilakukan pula secara transparan, dengan bantuan blockchain. Juga, likuidasi aset kolateral dari kredit macet, terjadi secara transparan pula di dalam sistem blockchain.
Teknologi blockchain yang mulanya dikembangkan untuk sistem keuangan independen seperti Bitcoin, diadopsi pula untuk memenuhi kebutuhan korporasi karena karakteristik dasarnya yang mengedepankan keamanan informasi. Blockchain bertipe konsorsium memungkinkan terjadinya pertukaran informasi antar organisasi dengan jaminan integritas data yang tinggi.
Produk-produk seperti Hyperledger Fabric dan Quorum menjadi bukti bahwa gelombang perubahan yang dibawa oleh Bitcoin cukup signifikan dalam dunia teknologi informasi.
Karakteristik aset kripto yang bersifat maya, mudah diakses, mudah dipindahtangankan, dan semi-anonim, menjadi penghambat utama dalam pemberantasan penipuan aset kripto. ~ Dimaz Wijaya Share on XBitcoin dan blockchain, sayangnya, merupakan konsep yang cukup sulit dipahami masyarakat awam. Cerita-cerita sukses para early adopter yang membeli Bitcoin dengan harga sangat murah dan kini bergelimang uang karena tingginya harga Bitcoin di pasaran, memicu munculnya get rich quick seperti skema piramida yang mengeruk uang mereka yang berada di bagian bawah piramida, sementara memperkaya mereka yang ada di pucuk. Aset kripto, menurut Jamie Bartlett dalam seri podcast besutan BBC Inggris Raya yang membahas Onecoin, menjadi kepingan terakhir yang menyempurnakan skema piramida tradisional yang tumbuh makin pesat dalam tahun-tahun belakangan ini. Aset kripto palsu Onecoin, menurut Bartlett, menjadi salah satu penipuan terbesar di dunia, dengan total kerugian mencapai miliaran Euro, dengan para korban penipuan dari seluruh penjuru dunia.
Program-program penipuan berbasis aset kripto muncul karena ketidakpahaman masyarakat terhadap blockchain, nilai teknologi dan nilai ekonomisnya, didukung dengan terseok-seoknya regulasi menghadapi perkembangan yang sangat cepat. Karakteristik aset kripto yang bersifat maya, mudah diakses, mudah dipindahtangankan, dan semi-anonim, menjadi penghambat utama dalam pemberantasan penipuan aset kripto maupun aset kripto palsu.
Aset kripto dan blockchain merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kapabilitas sistem informasi. Namun, seperti dua sisi mata uang, inovasi modern juga perlu didukung dengan edukasi dan regulasi yang memadai untuk mencegah kerugian dari oknum-oknum yang mencari keuntungan sepihak.
[share_box]
Dimaz Ankaa Wijaya, saat ini bekerja sebagai periset pascadoktoral pada Deakin Blockchain Innovation Lab, Deakin University, Australia. Dimaz mendapatkan gelar master dan doktor dari Monash University. Sejak tahun 2015 ia aktif di dunia blockchain dan aset kripto, menulis beberapa buku, serta terlibat di beberapa proyek blockchain di Indonesia sebagai konsultan. Ia juga aktif menulis kolom di Blockchainmedia.id, sembari sesekali mengisi situsnya sendiri, Kriptologi.com.