Menghidupkan Kembali Budaya Gotong Royong dalam Pandemi
August 16, 2021Sehat Siarannya, Sehat Bangsanya
September 6, 2021OPINI PANDEMI
Di Tengah Pandemi, Jangan Lupa Jaga Sesama
oleh Dion Faisol Romadhon
Presiden telah mengabarkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 sampai 23 Agustus 2021. Menurut data yang ada sebanyak 8 kabupaten kota telah turun tingkatan dari level 4 menjadi level 3.
Namun, perpanjangan pembatasan kegiatan kali ini juga diikuti oleh beberapa kelonggaran peraturan. Salah satu di antaranya adalah izin bagi pasar tradisional dan pelaku UMKM untuk buka lebih lama. Izin ini tentu diberikan dengan syarat penerapan protokol kesehatan yang diperketat.
Izin tersebut diberikan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. Akan tetapi, meskipun telah diimbangi dengan kelonggaran peraturan, nyatanya selama PPKM Level 4 ini, masih ada masyarakat yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari berita yang dilansir oleh Republika, dikabarkan bahwa Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Semarang sempat meminta pemerintah untuk memperhatikan usaha dan pekerja dalam sektor pariwisata. Dari permintaan ini dapat dilihat bahwa masih ada pekerja yang belum mendapatkan bantuan yang mencukupi dari pemerintah.
Sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak hanya dirasakan oleh mereka yang bekerja di sektor pariwisata. Dari jumlah gerakan membantu sesama yang muncul, tampaknya fenomena ini dirasakan oleh mereka yang bekerja dari ragam sektor yang cukup besar. Dalam situasi dimana kita tidak bisa bergantung pada kebijakan pemerintah seperti ini, masyarakat memang mau tidak mau harus turut turun tangan membantu sesama.
Kearifan Lokal sebagai Bekal
Inisiatif masyarakat sangat diperlukan saat ini. Lonjakan kasus COVID-19 telah membuat kita kehilangan begitu banyak hal–mulai dari pekerjaan hingga orang tersayang. Banyak cara-cara yang diajukan untuk menangani situasi genting ini. Tentunya, pemerintah pun sudah mulai mengimplementasikan banyak gagasan untuk mendorong ekonomi dan kesehatan negara.
Akan tetapi, saya rasa gagasan-gagasan modern ini tidak seharusnya berdiri sendiri. Dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan, baik pemerintah maupun masyarakat perlu berpegang pada kearifan lokal kita.
Dalam tulisannya, Suyono Suyatno mengartikan kearifan lokal sebagai kebijakan yang berasal dari budaya masyarakat lokal dan lintas etnik, baik melalui cara pandang ataupun perilaku.
Dengan ragam etnisnya, Indonesia adalah bangsa kaya dengan kearifan lokal. Kearifan lokal ini pun muncul bukan tanpa sebab. Kekayaan intelektual ini diturunkan oleh para leluhur karena telah terbukti mampu menyelesaikan permasalahan yang ditemui oleh orang-orang yang ada sebelum kita.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa zaman telah berubah. Akan tetapi, saya percaya masih ada banyak nilai-nilai dalam kearifan lokal yang bisa digunakan untuk memandu kita selama pandemi; seperti gotong royong, toleransi, dan semangat kerja sama.
Perkembangan zaman membiasakan kita dengan pola hidup individualis. Karenanya, kebanyakan orang menjadi apatis dan mementingkan diri sendiri. Padahal, di tengah krisis seperti sekarang ini, kita dituntut untuk memperkuat satu sama lain agar bisa bertahan.
Sebaliknya, pola pikir yang mementingkan diri sendiri bisa membawa kita pada kekacauan. Sesungguhnya sikap apatis ini bisa menjadi bumerang untuk kita sendiri.
Dalam bidang ekonomi, contohnya. Apabila pemerintah dan mereka yang memiliki sumber daya hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan masyarakat yang kekurangan, krisis pun akan tetap terjadi.
Dalam situasi dimana kita tidak bisa bergantung pada kebijakan pemerintah seperti ini, masyarakat memang mau tidak mau harus turut turun tangan membantu sesama. ~Dion Faisol Romadhon Share on XDi awal pandemi, krisis dari sikap tidak mementingkan kebutuhan sesama ini ini terlihat saat masyarakat berbondong-bondong memborong masker dan sembako. Akibatnya, banyak kelompok rentan dan kekurangan yang tidak berhasil menemukan masker dan sembako. Mereka yang berhasil menemukannya pun harus membeli dengan harga mahal.
Sekarang, hal yang sama dapat dilihat dari keengganan pemerintah untuk menerapkan karantina. Pada Pasal 7 UU Kekarantinaan Kesehatan telah dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh perlakuan yang sama selama karantina ini berlangsung.
Sementara pasal 8 menjanjikan bahwa dalam penerapan karantina akan menjamin dipenuhinya hak masyarakat atas kebutuhan dasar seperti layanan medis, bahan pangan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya selama karantina berlangsung. Artinya, mobilitas dari berbagai kelompok masyarakat akan dapat dikurangi secara signifikan.
Tingginya tingkat penyebaran COVID-19 tidak terlepas dari karantina yang tidak kunjung dimulai. Meski pembatasan mobilitas sudah ditetapkan, masyarakat, khususnya yang berkekurangan, tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Karena itu, mereka tetap harus keluar rumah seperti biasa dengan beresiko tertular dan menularkan virus.
Apabila terus begini, regulasi yang dibuat oleh pemerintah pun hanya akan menghasilkan dua kemungkinan; Meninggal karena terinfeksi virus COVID-19 atau mati kelaparan karena tak bisa memenuhi kebutuhan pangan. Masyarakat membutuhkan pemerintah untuk sebisa mungkin mengeluarkan kebijakan yang solutif dan konsisten.
Dalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945 dikatakan bahwa, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Dengan menyebutkan asas kekeluargaan, pasal tersebut menyiratkan bahwa nasib dan kesejahteraan sesama seharusnya menjadi dasar perhitungan ekonomi, bukan sebaliknya.
Kebiasaan bergotong royong dan saling membantu bisa jadi pembawa harapan, khususnya di masa seperti sekarang ini. Uluran tangan mungkin bisa berdampak besar pada keberlanjutan hidup saudara-saudara kita. ~Dion Faisol Romadhon Share on XGotong Royong lewat Gerakan Kolektif
Setelah menghadapi pandemi selama lebih dari satu tahun dengan kebijakan pemerintah yang masih belum efektif, kini banyak bermunculan gerakan-gerakan kolektif yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satu gerakannya dikenal sebagai ‘warga bantu warga’.
Menjadi refleksi atas belum efektifnya kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi, gerakan ini datang dari upaya masyarakat membantu sesamanya bertahan di tengah pandemi. Untungnya, nilai gotong royong ini masih bisa kita temukan di masyarakat.
Semangat gotong royong ini bisa dilihat mulai dari didirikannya dapur umum di Yogyakarta, gerakan memproduksi dan membagikan masker gratis kepada masyarakat, hingga platform bagirata yang memfasilitasi subsidi silang antar pekerja. Selain itu, banyak juga akun-akun Instagram dengan ribuan pengikut yang membantu mempromosikan UMKM yang terdampak oleh pandemi.
Tulisan ini dibuat untuk mengajak semua pihak, termasuk penulis sendiri, untuk turut berkontribusi dalam kapasitasnya masing-masing. Sebagai makhluk sosial, penting bagi kita untuk peka terhadap kebutuhan oleh sesama. Saya rasa, kebiasaan bergotong royong dan saling membantu bisa jadi pembawa harapan, khususnya di masa seperti sekarang ini. Uluran tangan mungkin bisa berdampak besar pada keberlanjutan hidup saudara-saudara kita.
Semoga setelah ini, banyak dari kita kita tergerak untuk meringankan beban saudara-saudara kita meski dengan upaya-upaya sederhana. Baik itu dengan menyebarkan hal-hal positif di media sosial, atau berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Mari rayakan kehidupan yang telah tidak karuan ini dengan berbuat baik kepada sesama. Panjang umur untuk semua hal-hal baik dan jangan lelah untuk berbagi semangat positif.
Akhir kata, penulis juga ingin berterima kasih kepada mereka yang sudah menjadi harapan, baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri, di tengah pandemi ini.
Dion Faisol Romadhon, sekarang ini tengah berjuang lulus dari jurusan Antropologi Sosial di Universitas Airlangga. Tidak memiliki hobi yang spesifik namun memiliki ketertarikan dalam berbagi sudut pandang kepada khalayak luas.
Bisa dihubungi melalui Instagram: @dionfaisol_romadhon dan Twitter: @dionfaisol_
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini