Mungkinkah Menghadirkan Negara untuk Pencegahan Kekerasan Seksual?
May 17, 2020Spektrum Lansia yang Terlewat
May 27, 2020OPINI
Didi Kempot adalah Jawa dan Jawa adalah Kita
oleh Geradi Yudhistira
Jika saya membuat sebuah tajuk yang menggambarkan perjalanan karir seorang almarhum Didi Kempot bin Ranto Gudel dalam setahun terakhir maka mungkin saya lebih memilih kata ‘Bangkit Kembali’. Didi Kempot bukan baru populer setahun belakangan, dia sudah populer sejak dua puluh tahun lalu. Apa yang terjadi setahun belakangan ini hanya menunjukan bahwa Didi Kempot berhasil menyentuh kelompok anak muda Jakarta untuk berjoget bersama dalam lirik-lirik berbahasa Jawa. Konser Didi Kempot di Jakarta selalu gila, dipenuhi kawula muda yang mengidentifikasikan dirinya sebagai ‘sobat ambyar’ Jakarta dari kelompok menengah ke bawah hingga menengah ke atas. Mengherankan sekaligus mengasyikan untuk didiskusikan oleh para pengamat kebudayaan.
Tulisan ini dipicu karena salah seorang rekan saya, seorang Jawa, mengungkapkan keheranannya: Enggak mungkin lagu Pakde dengan lirik Bahasa Jawa dan nada-nada slendro bisa meresap ke sanubari anak muda urban Jakarta apalagi sampe jejogetan. Saya ketawa saja, soalnya keheranan itu sudah menjadi realita, kok.
Tapi kenyataan ini cukup menantang untuk perenungan lebih dalam karena ini bukan cuma soal popularitas melainkan soal identitas yang cair. Identitas urban menjadi sulit untuk didefinisikan karena tidak memiliki sebuah kerangka yang baku. Justru saya melihat bahwa fenomena ini menunjukan identitas Jakarta sebagai miniatur Indonesia sangatlah cair dan terus menerus beradaptasi dengan identitas lokal. Pertanyaannya sekarang adalah identitas lokal yang mana?
Musik Daerah Pasca Demokrasi
Didi Kempot mulai berkarir saat Pemerintahan Orde Baru sedang di puncak kekuasaannya. Saat itu budaya nasional ditinggikan dan menekan budaya-budaya lokal. Dalam hal musik, standar idealnya adalah musik harus memakai nada-nada nasional, berbahasa Indonesia dan menggunakan atribut-atribut nasional. Permasalahannya muncul ketika Indonesia sendiri tidak mampu mendefinisikan ‘nasional’ di tengah kemajemukan kebudayaan lokal itu sendiri sehingga yang terjadi adalah jalan pintas dengan berkiblat ke Barat.
Pasca 1998, era kebebasan dimulai, dan musik-musik daerah mulai menemukan kembali tempatnya. Di era ini, para seniman daerah mulai percaya diri memasarkan musik-musik lokal dengan distribusi yang tidak resmi.
Andrew Weintraub di bukunya Dangdut Stories menjelaskan kalau kebebasan untuk memproduksi hasil karya sendiri dalam bentuk VCD konser tanpa label rekaman berbuah menjamurnya musik lokal. Di bus menuju Sumatera Barat, kita bisa menonton video dalam balutan alunan lagu Pop Padang Khairil Amri. Di bus menuju Makassar, kita mendengar alunan Anci La Rinci dan Meity Baan, dan, di bus menuju Jawa Tengah, kita pasti mendengar Didi Kempot. Terkadang dalam 18 jam perjalanan, saya bisa hafal 2/3 dari lagu-lagu yang selalu diputar terus menerus.
Kebebasan yang sudah didapatkan tidak semerta-merta membuat pengidentifikasian bangsa ini atas apa itu ‘musik nasional’ menjadi selesai. Mungkin yang paling mendekati adalah dangdut, namun masalah terjadi ketika dangdut dianggap menjadi musik yang dianggap rendah terutama setelah kejayaan raja dangdut Rhoma Irama memudar.
Rhoma Irama adalah orang yang berhasil menasionalkan dangdut sehingga digemari semua golongan dengan mengakulturasikan musik dangdut yang kental nuansa India dan Melayu dengan cabikan gitar ala musik rock dibalut lirik-lirik berisi pesan moral. Mungkin kamu yang lahir setelah 1990an tidak pernah terbayang betapa populer Rhoma Irama. Namun, sebagai gambaran hanya ada dua orang biasa non-politisi dan non-militer yang kepopulerannya dinilai bisa mengancam popularitas Soeharto saat Orde Baru, yaitu Zainuddin MZ dan Rhoma Irama.
Kemenangan dangdut Rhoma Irama di pasar musik nasional menandakan cairnya sekaligus rentannya definisi atas musik nasional. Siapa yang mampu merebut kompetisi di Jakarta maka otomatis mendapat predikat kampiun musik nasional. Jakarta merupakan pintu masuk sekaligus medan pertempuran yang dominan. Menguasai Jakarta berarti menguasai narasi nasional. Rhoma Irama dengan akulturasi musik yang khas ala musik Barat berhasil menggaet pasar Jakarta setelah sebelumnya irama Melayu Deli, Pop Daerah, dan Gambus kesulitan masuk industri nasional.
Namun, pertanyaannya adalah mengapa pasca demokratisasi sekalipun, hanya Didi Kempot dengan pop-campur sarinya yang mampu merebut simpati pasar nasional? Saya menduga faktor bahasa lah yang menjadi faktor X. Ya, saya ulang: Bahasa adalah faktor penentu yang membedakan mengapa artis dari luar Jawa tidak bisa merebut pasar Jakarta.
Bahasa Jawa adalah bahasa kita
Setidaknya dalam 40 tahun terakhir, saya mencatat dua lagu pop berbahasa daerah yang mampu masuk dalam pangsa pasar nasional walaupun tidak sepopuler Pakde Didi Kempot: Bahasa Sunda yang dibawakan oleh Doel Sumbang dan Evi Tamala dan Bahasa Jawa. Keduanya merupakan bahasa yang secara geografis dekat dengan Jakarta dan menjadi dua bahasa dengan penutur terbanyak di Indonesia.
Ketika saya di tengah kebingungan mencari jawaban atas polemik bahasa, saya menemukan tulisan Benedict Anderson berjudul Language and Power soal bahasa-bahasa politik Indonesia yang banyak membantu saya memahami fenomena ini.
Bagi Anderson perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa melayu modern merupakan perkembangan yang unik bila dikaitkan dengan bahasa-bahasa lain. Awalnya, Bahasa Indonesia dipakai sebagai sebuah upaya menghancurkan strata sosial yang dibentuk berdasarkan bahasa. Tapi, sekarang bahasa Indonesia malah bertransormasi menjadi bahasa elit yang dipakai untuk menjelaskan sesuatu yang sopan, formal, dan intelek. Namun sebagai bahasa yang tumbuh dalam era revolusi modern, bahasa Indonesia cenderung mengalami stagnasi dalam perkembangannya. Dalam situasi revolusi, kita mendengar istilah-istilah yang terserap dalam bahasa Indonesia seperti ‘ganyang’ atau ‘merdeka’ itu sendiri. Saat ini, justru perkembangan itu diisi oleh bahasa-bahasa asing atau bahkan bahasa daerah.
Jika Didi Kempot adalah sebuah fenomena, maka bukan popularitasnya yang menjadi fenomena. Yang menarik adalah munculnya sebuah kesadaran bersama atas optimisme hidup yang dibutuhkan manusia. ~ Geradi Yudhistira Share on XBahasa Jawa merupakan bahasa paling besar mempengaruhi bahasa Indonesia. Sejak dulu bahasa jawa tinggi (krama) dipakai untuk menjelaskan dan menunjukan status bahasa Indonesia yang tinggi. Anderson menemui beberapa istilah seperti Bhayangkara, Sapta Marga, Krida dan Raga yang diserap dari bahasa jawa tinggi. Perlahan bahasa Indonesia mengidentifikasi dirinya sebagai bahasa elit.
Contoh paling nyata adalah peninggian bahasa ini terlihat dalam penanganan virus korona yang memakai bahasa asing dan bahasa Indonesia level tinggi yang membuat ‘pemberontakan’ di kalangan masyarakat terutama di pedesaan. Mereka membuat himbauan untuk berdiam di rumah dengan jenaka seolah-seolah terjadi ketidakpahaman masal dengan membuat spanduk bertuliskan ‘lokdon’, ‘lock daun’ atau bahkan ‘don’t look’ ketimbang menulis ejaan aslinya ‘lockdown’.
Perlahan gaya bahasa serampangan khas pergaulan justru diisi oleh bahasa-bahasa daerah yang justru menghilangkan sekat sosial tersebut. Namun hal tersebut tidak semerta membentuk bahasa nasional itu sendiri. Membuat kesepakatan atas bahasa nasional adalah juga merupakan perjuangan dalam menempatkan diri dalam kontestasi di ruang publik. Bahasa-bahasa dengan penutur terbanyak lah yang bisa merebut ruang publik itu, apalagi jika kita perhitungkan jarak geografis antara tempat di mana kesepakatan itu muncul (Jakarta) dengan episentrum bahasa Jawa, Sunda, atau Betawi yang berada dalam kesatuan pulau Jawa. Tentu kalau anak muda Jakarta ditanya tentang bahasa yang paling dikuasai setelah bahasa Indonesia, saya yakin mayoritas mereka akan menjawab bahasa Betawi pergaulan dan bahasa Jawa pergaulan (ngoko).
Hal itu yang menurut saya membentuk identitas baru kelompok anak muda Jakarta dalam mendengarkan musik-musik Didi Kempot. Mereka sudah terbiasa mendengar bahasa Jawa ngoko walaupun mereka tidak menguasainya. Namun itu membantu memahami kompleksitas lagu-lagu Didi Kempot yang memakai Jawa ngoko. Hal ini dibantu dengan sebuah acara dari kanal Youtube Gofar Hilman yang dianggap sebuah batu pijakan dari kebangkitan kembali Didi Kempot dalam setahun terakhir yang kemudian dilanjutkan dengan acara bincang-bincang dengan Rosiana Silalahi di Kompas TV beberapa minggu setelahnya. Bagi saya dua acara ini penting bukan saja memperkenalkan irama-irama pop campur sari Didi Kempot yang ringan untuk didengarkan, namun juga membantu menginterpretasikan makna-makna di dalam lagunya yang ternyata sangat terkait dengan kehidupan anak muda. Mereka mulai mengidentifikasi makna-makna dalam lagu tersebut dan menikmati tanpa ada sebuah perasaan gengsi sosial yang menyekat ruang gerak mereka. Didi Kempot berhasil menyatukan itu semua dalam lirik-lirik seperti lebur dalam asosiasi-asosiasi hayati dan geografis dalam menikmati sebuah penderitaan hidup: patah hati.
Jika Didi Kempot adalah sebuah fenomena, maka bukan popularitasnya yang menjadi fenomena. Yang menarik adalah munculnya sebuah kesadaran bersama atas optimisme hidup yang dibutuhkan manusia. Bahwa cobaan hidup bukanlah akhir kehidupan, bahwa sakit hati tinggal dijogetin saja. Dan itu adalah warisan Didi Kempot.
Sekali lagi sebelum dunia kembali muram: Selamat Jalan Pakde…
Geradi Yudhistira adalah Pemerhati Musik dan Budaya. Tinggal di Yogyakarta atau di Depok Jawa Barat. Twitter dan Instagram: @bunggera
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini
Artikel Terkait
Sistem Demokrasi yang tidak Demokratis: Pelajaran dari Politik Duopoli Amerika Serikat
Baik di Indonesia maupun Amerika Serikat, keduanya sebenarnya memperlihatkan bahwa politik merupakan kendaraan para pemodal untuk memuluskan akumulasi kekayaan mereka melalui lobi proses pengambilan kebijakan.Vasektomi, Otonomi Tubuh Laki-laki, dan Pemberontakan Maskulinitas
Keputusan melakukan vasektomi mendobrak anggapan bahwa KB merupakan proses pendisiplinan tubuh laki-laki yang dianggap hanya valid untuk melakukan peran non-reproduksi dan kerja yang dikategorisasikan produktif.Merenungkan Jejak Leluhur melalui Dunia Hewan
Hewan juga mempunyai kesadaran, bahasa, dan budaya. Ini menantang kepongahan manusia yang selama ini digambarkan sebagai satu-satunya makhluk paling agung dan berkuasa di muka bumi.