Benarkah Media Sosial Mengancam Demokrasi?
April 24, 2024Obat Linglung Gerakan Mahasiswa
May 4, 2024Photo by King’s Church International on Unsplash
OPINI
Potensi Menguatnya Dinasti Jokowi di Pilkada 2024
oleh Teddy Chrisprimanata Putra
Terpilihnya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto menunjukkan kuatnya pengaruh Jokowi sebagai seorang presiden, sekalipun Mahkamah Konstitusi menolak klausul itu.
Dicalonkannya Gibran sebagai pendamping Prabowo dianggap publik sebagai representasi Jokowi. Dugaan tersebut dikuatkan dengan hasil survei Indikator Politik yang menyebutkan bahwa publik yang beranggapan bahwa pasangan Prabowo-Gibran didukung oleh Jokowi sebesar 87,8 persen.
Apabila pasangan Prabowo-Gibran resmi dilantik pada 20 Oktober 2024 mendatang, kita bisa memastikan itu sebagai sinyal bahwa kekuasaan Jokowi belum usai. Keterpilihan Gibran sebagai wakil presiden juga mengonfirmasi dugaan publik terkait praktik politik dinasti oleh Jokowi. Politik dinasti atau politik kekerabatan adalah gejala neopatrimonialistik, yaitu sistem yang mengadopsi karakter pemerintahan monarki yang benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Sistem ini lebih mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis (keturunan) tinimbang merit sistem (pemilihan pemimpin berdasarkan prestasi dan kapasitas). Sebagai putra Jokowi, Gibran tidak mungkin mengabaikan berbagai legacy ayahnya saat menjabat sebagai presiden.
Praktik politik dinasti sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan macetnya proses rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan nasional dan di internal partai politik itu sendiri. Praktik itu bisa bermuara pada kian maraknya nepotisme, korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, dan penyalahgunaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Hal itu tentu saja berlawanan dengan semangat demokrasi yang telah dicanangkan sejak 1998 lalu.
Trah Jokowi di Lingkar Kekuasaan
Sebelum terpilih sebagai wakil presiden, Gibran yang diusung PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) telah sukses duduk sebagai Wali Kota Surakarta. Tidak hanya Gibran sang putra sulung, Bobby Nasution, sang menantu pun, terpilih menjadi Wali Kota Medan pada Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) 2020 lalu. Tidak berhenti sampai di situ. Putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, juga menyusul kerabatnya untuk terjun ke dunia politik. Setelah dua hari berstatus sebagai anggota PSI (Partai Solidaritas Indonesia), ia langsung diangkat menjadi Ketua Umum pada Kopdarnas (Kopi Darat Nasional) yang diselenggarakan di Jakarta oleh partai yang mengidentifikasi dirinya sebagai partainya anak muda itu.
Nama Kaesang Pangarep pun digadang-gadang akan meramaikan kontestasi Pilkada serentak pada November mendatang. Ia dijagokan untuk bisa berlaga di beberapa daerah, seperti di Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, hingga Daerah Khusus Jakarta. Erina Gudono, istri Kaesang, juga tidak lepas dari bursa kepemimpinan jelang Pilkada serentak. Nama Erina disebut akan maju menjadi salah satu bakal calon Bupati Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabar itu kemudian dibenarkan oleh Ketua DPC (Dewan Perwakilan Cabang) Gerindra yang mengatakan bahwa Erina Gudono menjadi salah satu kandidat kuat yang akan diusung pada Pilkada mendatang.
Tidak berbeda jauh dengan Erina, menantu Jokowi yang kini masih menjabat sebagai Wali Kota Medan, Bobby Nasution, digadang-gadang juga akan maju menjadi bakal calon Gubernur Sumatera Utara. Potensi tersebut menguat setelah Bobby mendapat dukungan langsung dari Partai Golkar dan PAN. Melalui dukungan dua partai tersebut, Bobby sebenarnya sudah cukup memiliki peluang besar menjadi calon gubernur di periode selanjutnya, mengingat kedua partai sudah memiliki 28 kursi di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sumatera Utara.
Potensi yang sama juga dimiliki oleh Kahiyang Ayu, istri Bobby Nasution yang sekaligus merupakan anak kedua Jokowi. Candaan yang dilempar Bobby ke khalayak media dapat menjadi penanda bahwa kemungkinan-kemungkinan itu sangat terbuka, tinggal menunggu partai politik yang mau menyambut kode yang telah dilempar tersebut. Apabila seluruh kerabat Jokowi maju sebagai peserta dalam Pilkada serentak dan, pahit-pahitnya, terpilih, maka Jokowi telah berhasil memberikan contoh paripurna soal bagaimana membangun dinasti politik di negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi.
Melawan Politik Dinasti
Sesuatu yang membahayakan adalah apabila keberhasilan kerabat-kerabat Jokowi duduk sebagai kepala daerah dan posisi strategis lainnya benar-benar memberi inspirasi kepada pejabat publik lain untuk mengikuti jejaknya. Meskipun bukan fenomena baru, belakangan ini, kita jadi lebih sering melihat kerabat-kerabat pejabat publik yang mendadak terjun ke dunia politik dan mengincar posisi-posisi legislatif di berbagai tingkatan. Praktik semacam itu menunjukkan semakin memburuknya kualitas demokrasi kita.
Semakin mengaburnya spektrum ideologi partai politik juga turut menjadi salah satu faktor menguatnya praktik politik dinasti di Indonesia. Ideologi yang seharusnya menjadi garis demarkasi (pembatas) antara satu partai politik dengan partai politik lainnya, atau antara partai politik dengan figur non-partai, justru ditabrak dan tidak dijadikan indikator utama dalam proses pengambilan keputusan politik. Alih-alih berpegang teguh pada ideologi, yang notabenenya merupakan roh partai politik di Indonesia, partai politik justru tampak dengan telanjang menyimpan ideologi di bagian kantong paling dalam. Mereka lebih mengedepankan aspek-aspek yang sifatnya pragmatis, seperti pembagian kue kekuasaan paska-pemilihan elektoral. Artinya, tidak peduli siapa dan ideologi apa, asalkan itu bisa mendatangkan jatah kursi kekuasaan, partai politik tidak akan mengambil pusing.
Padahal, bagi keberlangsungan partai politik itu sendiri, praktik politik kekerabatan menghasilkan dampak yang fatal terhadap proses regenerasi kepemimpinan secara internal. Mengandalkan kuatnya personalisasi figur tertentu dalam konteks pemilihan menjadikan partai politik gagal menjalankan fungsi kaderisasi pemimpin yang memiliki kapasitas dan ideologi yang jelas. Sebabnya, kaderisasi dijalankan secara transaksional dan, sekali lagi, atas dasar pragmatisme belaka.
Lebih jauh lagi, politik kekerabatan akan menyebabkan pemusatan kekuasaan di tangan segelintir elit dan membiarkan mereka, serta kerabatnya, bisa mengakses sumber daya secara lebih leluasa.. Akibat dari pemusatan kekuasaan itu adalah sulit dikonversikannya keresahaan dan aspirasi rakyatmenjadi kebijakan-kebijakan pemerintah. Artinya, partai politik tidak menjadi tempat bagi rakyat untuk menyandarkan aspirasinya, melainkan justru menjadi wadah bagi kelompok elit untuk mempertahankan, bahkan memperkuat, kekuasaannya.
Masuknya Indonesia ke dalam kategori negara demokrasi cacat (flawed democracy) dalam laporan indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) semestinya menjadi salah satu refleksi bagi seluruh komponen bangsa. Meski sudah 25 tahun usia reformasi, alih-alih terjadinya peningkatan pada aspek demokrasi, Indonesia justru terjebak pada stagnasi. Perolehan skor Indonesia sejak 2021 hingga 2023 masih sama, yakni 6.71 dan peringkat Indonesia pun turun dari 52 menjadi 54. Suburnya politik kekerabatan di seluruh tingkatan elektoral sangat potensial menjadi faktor penentu anjloknya indeks demokrasi di Indonesia.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi rakyat untuk menumbuhkan nalar kritis terhadap setiap tingkah polah elit dan partai politik. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini tidak boleh membiarkan praktik-praktik politik dinasti, baik yang dilakukan oleh elit individu maupun partai politik. Kita tidak boleh tinggal diam melihat kuatnya personalisasi individu seorang Jokowi dimanfaatkan untuk memberikan kesempatan para kerabatnya merebut kursi-kursi kekuasaan. Apabila terus dibiarkan, praktik pengkultusan individu seperti yang pernah terjadi di masa Orde Baru bukan tidak mungkin akan kembali terjadi.
Dalam jangka panjang, bukan hal yang mustahil jika publik menganggap bahwa hanya keluarga besar Jokowi-lah yang kompeten untuk mengurus kekuasaan di negeri ini. ~ Teddy Chrisprimanata Putra Share on XMitos Jokowi orang baik yang disampaikan oleh sastrawati Okky Madasari dapat menjadi pengingat bahwa citra baik dan sederhana yang diperlihatkan ke publik hanyalah gincu alias pemanis belaka. Apabila trah dinasti yang dibangun Jokowi berhasil, maka kekuasaan akan semakin eksklusif. Dalam jangka panjang, bukan hal yang mustahil jika publik akan beranggapan bahwa hanya keluarga besar Jokowi-lah yang berkompetensi untuk mengurus kekuasaan di negeri ini.
Teddy Chrisprimanata Putra adalah mahasiswa S2 Ilmu Politik di Universitas Nasional dan juga Sekretaris Jenderal PP KMHDI 2023-2025.
Artikel Terkait
Matinya Cendekiawan Kampus
Kaum terpelajar menjadi anak tiri dengan berbagai macam tekanan yang lahir dari struktur opresif negara. Negeri ini lahir dari rahim kaum terpelajar. Namun, negeri ini seperti dibesarkan oleh kultur kekerasan yang sangat kuat dan cendekiawan dicurigai sebagai kelompok yang akan merubah status quo kekuasaan. Apakah memang negeri ini bukan tempat yang nyaman bagi para kaum terpelajar?Selamat Hari Pers Nasional, Ricky!
Terlepas dari wacana mana yang lebih dominan, perayaan hari pers nasional selalu terasa jauh dan asing serta tidak dekat dengan kita sebagai masyarakat biasa.Membayangkan Demokrasi di Indonesia: Trauma Kolektif dan Toleransi
Lirik lagu Mars Pemilu 2019 mencerminkan semangat demokrasi modern Indonesia dengan lugas hanya dalam sembilan baris singkat. Lagu ini menggarisbawahi pentingnya hak pilih rakyat bagi keberlangsungan negara Republik Indonesia sebagai negara demokrasi muda yang hampir berusia 74 tahun. Lalu bagaimana keadaan demokrasi Indonesia saat ini?