Kata Siapa Kerja di Luar Negeri itu Gampang?
July 27, 2020Membaca ‘Gilang Bungkus’ dari Kacamata Ilmu Sosial
September 2, 2020
OPINI
Dinding Pembatas itu Bernama ‘Warna Kulit’
oleh Melisa Nirmala Dewi
”Ah, kalau dia sih nggak perlu ditanya. Udah cantik, putih, pinter lagi.”
”Anaknya hitam manis, mirip kayak bapaknya ya.”
”Skincare apa ya yang bisa mutihin kulit? Bagi tipsnya, dong!”
Pernah dengar atau mungkin mengucap salah satu kutipan percakapan di atas? Ya, mungkin tanpa sadar kita sering melabeli kesempurnaan fisik dengan mengukurnya lewat warna kulit. Bukan hal yang salah, toh kita juga tumbuh di lingkungan dan keadaan sosial yang semakin menguatkan kedudukan dari warna kulit sebagai alat definisi kecantikan. Saya sendiri pernah terjerembab dalam stigma tersebut. Saya merasa karena tidak memiliki kulit putih, saya tidak cantik. Termakan omongan saudara, tetangga, dan iklan manis yang selalu mengistimewakan kulit putih. Bukan main rasanya ketika saudara datang ke rumah dan menyematkan kalimat ”Eh, si hitam”, ”Hitam manis”, ”Kamu kok tambah gelap kulitnya? Sering main di luar ya?” yang dulu sering jadi ungkapan harian yang saya terima ketika masih kecil.
Sedih? Tentu.
Perlahan saya mulai tahu, kalau warna kulit gelap sering dikaitkan dengan hal-hal negatif. Beberapa dugaan yang membuat saya dilabeli kulit gelap sendiri pastinya seputar aktivitas bermain di luar yang nggak ada aturan atau anggapan nggak mau merawat tubuh sendiri. Padahal, warna yang sudah dipoles alami dan diberikan oleh Tuhan sejak kecil adalah bentuk kesempurnaan yang permanen bukan? Menuntut perubahan warna secara utuh sudah di luar kendali selain nafsu atau tuntutan yang harus dipenuhi oleh setiap individu.
Meski pernah mengalami masa-masa pahit terkait warna kulit, di saat bersamaan saya ditampar untuk terus merasa bersyukur. Terlahir dengan warna kulit khas Nusantara perlahan membuat saya mulai tertarik untuk memahami lebih definisi kecantikan yang sebenarnya tidak hanya didasari oleh warna kulit. Namun di sisi lain, kita tidak bisa memungkiri kalau warna kulit sampai saat ini masih jadi bentuk standarisasi kecantikan, baik untuk kebutuhan komersial maupun pengakuan dari publik.
Tulisan ini mungkin akan jadi ringkasan singkat mengenai warna kulit dan perkembangan kecantikan atas dasar standar tersebut. Dengan sedikit pengetahuan yang saya dapat dari membaca literatur sambil ditemani cemilan kukis favorit, semoga bisa sedikit memberi gambaran buat yang membaca.
—
Pernah terlintas di pikiran untuk memutihkan kulit? Atau mulai kelayapan begitu tahu warna kulit mulai kusam atau menghitam? Itu hal yang wajar, secara kulit bisa jadi penanda seberapa besar pengaruh aktivitas kita terhadap kesehatan fisik di bagian tubuh luar. Tapi, nggak menutup kemungkinan ada alasan lain untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Yap, usaha untuk mempercantik diri. Memutihkan kulit pada dasarnya sudah menjadi kegiatan turun temurun mulai dari zaman kerajaan kuno sampai era modern seperti saat ini. Rata-rata, produk yang paling sering digunakan adalah produk pemutih kulit. Kalau melihat dari sejarah era Yunani Kuno, perempuan pada masa itu sudah menyibukkan diri untuk memutihkan kulit menggunakan timah putih dan ceruse, semacam bahan campuran dari timah putih dan cuka. Ikon kecantikan asal Mesir, Ratu Cleopatra, melakukan rutinitas mandi susu untuk memutihkan kulit, dan perempuan di Jepang populer dengan kebiasaan menggunakan oshiroi (semacam bubuk putih yang mirip foundation dari campuran bahan-bahan khusus seperti kaolinite) yang sering diaplikasikan oleh para geisha.
Melihat hasil pencarian keyword krim pemutih wajah dari Ubersuggest di Indonesia sendiri, terhitung sejak tulisan ini dibuat, telah mencapai angka 12,100 orang yang melakukan pencarian. Dari sinilah bisa terlihat bagaimana tren memutihkan kulit datang bersamaan dengan hasrat bagi mereka yang ingin tampil ‘cantik’. Semakin putih kulit yang dimiliki, maka semakin cantik fisiknya. Kepopuleran mengenai kecantikan yang distandarisasi dari warna kulit juga bisa dilihat bagaimana budaya memutihkan kulit masuk secara perlahan ke negara-negara yang menjadi korban kolonialisme. Namun, menurut Ayu Saraswati dalam bukunya yang berjudul Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, hierarki kecantikan berdasarkan warna kulit sudah ada jauh sebelum era kolonialisme Eropa.
Hal tersebut terlihat dalam puisi epos Ramayana yang menceritakan seorang perempuan bernama Sita yang merupakan istri dari Rama. Sita digambarkan memiliki fisik perempuan ideal yang rupawan dengan parasnya yang secantik cahaya rembulan. Rembulan sendiri direpresentasikan sebagai lambang kecantikan dengan kulitnya yang tampak terang bercahaya. Dijelaskan pula terdapat sebuah pemilahan definisi antara warna kulit yang terang dan gelap. Ayu menjelaskan, bahwasanya konstruksi warna kulit terang dianggap sebagai representasi warna yang menunjukkan kebaikan dan rasa positif yang diinginkan oleh semua orang. Lain halnya dengan warna gelap yang memiliki rasa negatif dan kerap kali tidak diinginkan oleh banyak orang.
Pada perkembangannya, pemaknaan perempuan cantik terus berkembang seiring perubahan zaman, tren, dan mode yang berlaku. Meski tidak menutup kemungkinan, hampir sebagian besar hidup kita sebagai perempuan (dan laki-laki) terbiasa menyaksikan iklan atau model majalah yang memiliki kulit putih yang cerah, baik putih dari ras kaukasoid, maupun kulit putih ala Asia. Pada tahun 1990-an, definisi kecantikan mulai mengalami pergeseran dan memberontak stigma tentang ‘cantik itu harus putih’. Yup, Alek Wek mengguncangkan dunia karena fisik dan warna kulitnya yang tidak seperti standar model pada umumnya saat itu. Dengan warna kulitnya yang coklat tua, tentu bukan hal yang biasa disaksikan oleh orang-orang yang menjadikan kiblat kecantikan negara-negara Barat kala itu. Kiprahnya yang muncul di sampul majalah Elle tahun 1997, cukup mengguncang dunia mode yang identik dengan warna kulit putih sebagai lambang identitas kecantikan saat itu. Oprah Winfrey sendiri mengakui bagaimana model asal Sudan tersebut bisa menjadi cerminan berbeda untuk memaknai kulitnya, kalau saja dia bisa melihat Wek lebih awal di sampul majalah fashion saat Ia masih muda.
Tren diversitas warna kulit sendiri mulai dilihat oleh beberapa perusahaan kecantikan sebagai ranah yang cukup potensial untuk dikomersilkan. Jangan kaget jika sepanjang tahun 2014-2018 mulai mengalami lonjakan mengenai jumlah ”people of color” yang mewarnai sampul majalah untuk merepresentasikan warna kulit yang digambarkan oleh model-modelnya. Dari sini lah mulai muncul model-model berwarna yang datang memenuhi ikon sampul majalah mode dunia, sebut saja ada Lupita Nyong’o, Tessa Thompson, Tracee Ellis Ross, dan masih banyak lagi.
Meski demikian, kenyataannya kehadiran orang-orang berwarna untuk bisa unjuk lebih harus tetap mendapat proporsi jumlah yang tidak menentu setiap tahunnya. Seperti pada tahun 2019, dimana tahun ini bisa dibilang sebagai tahun berkurangnya keberagaman perempuan-perempuan berwarna yang mewarnai sampul majalah mode. Mengutip data dari Fashion Spot, majalah-majalah yang memiliki unsur keberagaman biasa ditemukan dengan jumlah yang tinggi di wilayah Asia (VOGUE India, Hong Kong, Thailand dan Taiwan), dan beberapa negara di Eropa ( VOGUE U.K dan Marie Claire U.S). Meski demikian, warna kulit putih masih menjadi pilihan favorit negara-negara dengan jumlah populasi kaukasoid yang dominan, seperti VOGUE di Paris, Republik Ceko, Polandia, dan Portugal.
Supremasi putih yang tumbuh dan berkembang di masyarakat kita saat ini sebenarnya juga tidak bisa menyangkal kehadiran dari para nenek moyang kolonial yang berkuasa dan menguasai standar. Adanya mimikri kolonial yang disebutkan oleh Homi Bhabha sebagai upaya untuk menjadi hampir sama (“almost the same, but not quite”) dengan penjajah yang secara tidak sadar malah bisa melemahkan kedudukan pihak yang terjajah tersebut. Pada perkembangannya, kata putih kini lebih sering dikonotasikan dengan kata cerah atau mencerahkan sebagai bentuk lain pendekatan warna kulit yang lebih enak dipandang. Namun, tidak dapat dihindari pula bahwa kenyataannya dinding pembatas yang bernama kulit ini lambat laun menjadi identitas bagi kita untuk mendefinisikan kecantikan, kedudukan, bahkan privilese yang bisa diperoleh oleh sebagian besar individu.
Tidak dapat dihindari bahwa kenyataannya dinding pembatas yang bernama kulit ini lambat laun menjadi identitas bagi kita untuk mendefinisikan kecantikan, kedudukan, bahkan privilese yang bisa diperoleh. ~Melisa Nirmala Share on XMau membicarakan soal kecantikan batin juga rasanya nggak bisa seratus persen langsung yakin, toh kecantikan fisik selalu jadi langkah awal untuk menilai seseorang bukan? Tapi, bicara soal kecantikan saat ini kayaknya nggak perlu pusing soal warna kulit, toh perlahan kita mulai menempatkan diri dalam standar yang seharusnya kita ciptakan sendiri. Perlahan ruang-ruang publik memang tidak mempermasalahkan warna kulit sebagai standar utama, tapi semua tergantung dari stigma kita dalam menilai kecantikan yang biasanya hanya didasari oleh warna putih.
Masih minder karena putih bukan warna kulit asli kamu? Ya, itulah fungsi kehadiran dari produk pemutih kulit yang ada. Meski kamu sendiri tahu efeknya belum seberapa ampuh, tapi kalau sudah termakan rayuan dan stigma mau gimana lagi? Oh, iya buat mereka yang juga masih menghakimi fisik dari warna kulit-pun harusnya bisa segera meninggalkan bumi ini, orang-orang nggak bakal berpikiran sesempit itu kok. Meski tetap ada kemungkinan bagi mereka untuk memberi celah yang menjatuhkan.
Apapun warna kulitmu, kamu berhak untuk hadir dan merepresentasikan diri sebagai simbol kecantikan yang murni. Cheers!
Melisa Nirmala Dewi berkuliah di Universitas Airlangga jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Di waktu senggang suka menulis di blog pribadi atau menggambar ilustrasi. Sangat senang belajar hal-hal baru terutama tentang dunia kepenulisan, desain, dan ilmu filfasat. Penikmat film-film animasi karya Masaaki Yuasa dan Hayao Miyazaki. Suka membaca buku-buku nonfiksi yang berkaitan dengan pengembangan diri, sejarah, dan majalah gaya hidup.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini