Mendobrak Bingkai Konsumerisme Kontemporer ala Taylor dan Heath

Di artikel ini, Albertus, Donaya, dan Sanata dari LSF Cogito menjelaskan fenomena konsumerisme di masyarakat dari sisi filsafat.

Ide Utama

Seseorang yang memecahkan kaca bertuliskan "konsumerisme"

Konsep Mini

Aliran pemikiran yang menekankan peran ide, konsep, atau kesadaran dalam memahami realitas.

Pandangan yang menyatakan bahwa kesenangan atau kebahagiaan adalah tujuan tertinggi dan paling penting dalam hidup. Filsafat hedonisme berpendapat bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menghasilkan kesenangan atau menghindari rasa sakit.

Dampak atau konsekuensi yang dihasilkan dari suatu tindakan ekonomi, tapi tidak secara langsung tercermin dalam harga pasar atau tidak diperhitungkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi.

Kontribusi dunia Barat dalam masyarakat kontemporer menyeruak secara nyata dalam ragam perkembangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Perkembangan tersebut menimbulkan perubahan yang tidak sedikit. Salah satu perubahan yang paling jelas dapat dilihat pada dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang melekat dalam aktivitas masyarakat pada dewasa ini. Tidak dapat dimungkiri, relasi manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi memang menghasilkan output positif yang sangat luas. Akan tetapi, di sisi lain, dampak negatif yang kurang dicermati masyarakat perlu diungkap dengan jelas.

Salah satu instrumen yang mendapatkan keprihatinan lebih dalam konteks ini adalah domain ekonomi kontemporer. Produksi, distribusi, dan konsumsi selaku aktivitas utama dalam perekonomian yang pada awalnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seolah-olah sedikit demi sedikit menggeser visinya. Fenomena problematis dalam lanskap ekonomi makro, seperti inflasi, pengangguran, dan kemiskinan menjadi bukti konkret terjadinya pergeseran ini. Adapun, konsumerisme tak luput dari perhatian khusus dan turut mengambil bagian dalam aneka fenomena tersebut.

Masyarakat kontemporer menyoroti dan mendefinisikan konsumerisme dengan konotasi negatif. Hal ini merujuk pada bentuk perilaku masyarakat yang cenderung berhasrat untuk mempunyai selera konsumtif. Gejala yang sudah terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari ini mengindikasikan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat luas pada waktu-waktu mendatang. Contoh kerugian tersebut dapat kita amati dari ragam isu terkini, seperti penyebaran virus berskala global, kepunahan spesies flora dan fauna berskala masif, serta perubahan iklim yang fluktuatif. 

Investigasi mengenai akar masalah konsumerisme akan mengembalikan kita pada karakteristik perkembangan hegemoni Barat pada Abad Modern. Dalam kancah filsafat Barat, kajian Abad Modern memberi corak deterministik-materialistik bagi ilmu pengetahuan dan transformasi teknologi. Hal ini dapat dideteksi, salah satunya, dari kajian ilmu pengetahuan yang cenderung menomorduakan atribut mistis dan memprioritaskan atribut fisik sebagaimana tumbuhnya pengaruh besar diskursus positivisme. Di sisi lain, kontribusi dari ide materialistik dari tradisi Marxian, ide evolusi dan seleksi alam dari tradisi Darwinian, serta ide alam bawah sadar dari tradisi Freudian pun memainkan peran penting. Pengaruh atas konstruksi metafisika deterministik-materialistik ini membangun aliran rasionalisme, empirisisme, utilitarianisme, dan―kembali menguatnya corak aliran―hedonisme pada Abad Modern.

konsumerisme
Latar belakang terjadinya konsumerisme tidak hanya disebabkan oleh konstruksi masyarakat hedonis. Oleh karena itu, Taylor dan Heath berusaha memahami konsumerisme dalam dinamika masyarakat modern dengan pendekatan yang berbeda.

Hedonisme yang sejatinya telah tumbuh sejak Yunani Klasik memiliki andil kuat dalam menciptakan pola konsumsi masyarakat yang berorientasi pada aspek material. Namun, agak naif apabila kita menakar latar belakang terjadinya konsumerisme hanya dengan bertumpu pada konstruksi masyarakat hedonis. Hipotesis inilah yang mengantarkan, salah dua dari filsuf Barat kontemporer, untuk memformulasikan solusi nyata atas masalah konsumerisme dalam dinamika masyarakat kontemporer. Walaupun keduanya mengawal permasalahan yang sama, tetapi pendekatan yang digunakan bertentangan. Kedua pendekatan yang digunakan oleh Taylor dan Heath dapat memberikan kita pertimbangan yang jelas kala menyikapi isu konsumerisme pada realitas keseharian.

Dalam menanggapi fenomena konsumerisme, Taylor berfokus terhadap masalah konsumerisme dan relasinya terhadap ketidakpahaman masyarakat pada ide-ide budaya yang menarasikan kepentingan bersama. Menurut Taylor,  ada dua alasan yang melandasi kekaburan ini. Pertama, keadaan damai membuka peluang bagi setiap individu untuk dapat secara bebas mengidentifikasi dan menentukan jati dirinya. Pencarian jati diri ini dipermudah dengan adanya akses kepada segala peralatan yang berfungsi sebagai sarana dalam pencapaian jati diri, misalnya teknologi. Kedua, mitos-mitos kepahlawanan dalam Romantisisme Barat melahirkan perspektif bahwa penaklukan terhadap sesuatu menentukan status sosial yang lebih tinggi. Paradigma ini banyak mendapat pengaruh dari Revolusi Prancis dan Revolusi Industri yang mengemuka pada era Barat modern.

Taylor dengan sarkastik mengkritik pola pikir tersebut. Menurutnya, setiap individu harus tetap kritis dengan mempertanyakan ulang realitas Barat yang telah tergambar sejak era Romantisisme. Manusia hanya dapat keluar dari kemapanan tersebut saat mereka mencoba untuk mengartikulasikan kembali segala hal yang telah mereka miliki dengan menjalani hidup tanpa mengikuti narasi Romantisisme Barat.

Jalan keluar yang dibawakan Taylor tertuang dalam magnum opus-nya, “Sources of the Self: The Making of the Modern Identity” . Taylor menekankan bahwa pada saat ini manusia tidak dapat bertumpu terhadap kebudayaan yang hanya semata-mata mengorientasikan kultur persaingan dan perolehan kepentingan individu demi kepuasan pribadi. Pergeseran orientasi ini dirasa penting demi mencegah dampak buruk yang dihasilkan oleh masyarakat konsumerisme (contoh: kerusakan alam, pandemi, dsb.). Menurut Taylor, perubahan ini hanya dapat dilaksanakan secara langsung dengan melalui―dan tentunya dimulai dari―diri kita sendiri selaku pemilik akal budi yang yang dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk dengan konsisten.

Taylor menekankan bahwa pada saat ini manusia tidak dapat bertumpu terhadap kebudayaan yang hanya semata-mata mengorientasikan kultur persaingan dan perolehan kepentingan individu demi kepuasan pribadi. ~ LSF Cogito Share on X

Berbeda dengan Taylor, Heath melancarkan serangannya terhadap masalah konsumerisme melalui spektrum internal ekonomi arus utama. Dalam “Rational Choice as Critical Theory”, Heath menekankan bahwa kejanggalan dalam ekonomi arus utama, dalam kaitannya dengan peliknya problem konsumerisme, berasal dari masalah persaingan konsumen dalam memperoleh barang-barang pribadi dengan status nilai yang tinggi, seperti mobil, properti mewah, dan perangkat elektronik―atau biasa disebut juga barang posisional (positional goods). Persaingan atas kenaikan nilai barang posisional diakibatkan oleh tidak adanya barang tandingan lain yang dapat dengan mudah diinvestasikan masyarakat konsumerisme.

Masalah ini juga bersatu dengan mekanisme pasar kontemporer yang condong mengaburkan permintaan konsumen. Secara struktural, pasar diarahkan kepada produk dalam kategori “barang kering berukuran sedang” (medium-sized dried goods), seperti pakaian dan mobil. Kategori barang ini tidak dapat memenuhi permintaan jenis barang lain yang berpotensi untuk mewujudkan kepentingan bersama, seperti barang besar (big goods) (seperti jembatan dan taman kota), barang tak berwujud (intangible goods) (seperti pengetahuan), atau barang alami (natural goods) (seperti udara bersih). 

Bagi Heath, konsumen yang terlibat dalam aktivitas konsumsi berlebih hanya bertindak berdasarkan kepentingan rasional mereka sebagaimana akibat dari ketersituasiannya dalam institusi pasar yang terlembaga dalam masyarakat. ~ LSF Cogito Share on X

Dalam menanggapi solusi atas terjadinya fenomena konsumerisme pada era kontemporer, Heath mengambil jalan yang secara ketat berseberangan dengan Taylor. Alih-alih berkutat dalam dimensi idealistik, Heath langsung menyasar ke ranah praktis. Bagi Heath, konsumen yang terlibat dalam aktivitas konsumsi berlebih hanya bertindak berdasarkan kepentingan rasional mereka sebagaimana akibat dari ketersituasiannya dalam institusi pasar yang terlembaga dalam masyarakat.

Oleh sebab itu, Heath menganjurkan pendekatan yang lebih pragmatis. Hal ini berfungsi untuk menyelesaikan masalah konsumerisme dengan cara mengklarifikasi aktivitas ragam lembaga di dalam domain pasar. Solusi yang ditawarkan Heath dapat dilacak dengan lugas melalui konsepnya mengenai “signifikansi atas eksternalitas”. Dalam alam pikiran Heath, “eksternalitas” (externality) dipahami sebagai implikasi-implikasi atas terjualnya suatu barang di kalangan masyarakat luas. 

Pada titik ini, Heath membagi eksternalitas menjadi dua bentuk, yakni eksternalitas positif (positive externality) dan eksternalitas negatif (negative externality). Eksternalitas positif dinarasikan sebagai manfaat komunal yang akan diterima masyarakat dari terjualnya suatu barang dalam sirkulasi pasar (contoh: manfaat sosial dari pembangunan sarana pendidikan). Sebaliknya, eksternalitas negatif merujuk pada kerugian komunal yang akan diterima masyarakat sebagai akibat terjual dan terpakainya suatu barang di kalangan masyarakat (contoh: kerugian dari barang berpolusi tinggi).

Secara strategis, Heath menyarankan bahwa kontribusi pemerintah dalam memasukkan pertimbangan atas variabel eksternalitas positif dan eksternalitas negatif ke dalam sistem harga pasar akan memicu warga untuk berinvestasi pada aneka barang publik (public goods). Bagi Heath, aktualisasi atas regulasi ini dalam mekanisme pasar perlu dibarengi dengan pemberian insentif yang lebih bagi warga negara yang berinvestasi dalam barang publik, seperti sarana pendidikan, perawatan kesehatan, dan pemberdayaan air bersih. Dengan demikian, insentif yang lebih sedikit akan dialokasikan bagi warga negara yang berinvestasi pada barang-barang domestik swasta, seperti mobil mewah, penginapan pribadi, ataupun apartemen di kawasan elite.


Lingkar Studi Filsafat (LSF) Cogito merupakan komunitas yang bergerak di bidang akademik-kefilsafatan, dengan tujuan memberi wadah bagi teman-teman mahasiswa/i filsafat maupun khalayak umum untuk mengembangkan wacana kefilsafatannya di luar batas ruang-ruang kelas formal.


This site is registered on portal.liquid-themes.com as a development site. Switch to production mode to remove this warning.