Pembangunan dan Ekonomi

Pembangunan seringkali diukur dari ekonomi suatu negara, tapi itu saja tak cukup. Penulis mengajak kita mempertimbangkan indikator yang lebih luas.

Ide Utama

Susunan balok dengan tulisan pembangunan

Konsep Mini

Mengacu pada peningkatan pendapatan per kapita suatu negara, yang berarti peningkatan total output ekonomi yang dihasilkan. Fokus utamanya adalah pada angka-angka, seperti Produk Nasional Bruto (PNB) dan Produk Domestik Bruto (PDB), yang mengukur kinerja ekonomi secara kuantitatif.

Mengacu pada cakupan yang lebih luas. Konsep ini tidak hanya meliputi pertumbuhan pendapatan per kapita, tetapi juga mencakup indikator-indikator lain seperti pengentasan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran. Konsep ini lebih berfokus pada peningkatan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan perubahan struktural dalam masyarakat.

Sebuah ukuran yang diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 untuk mengkuantifikasi faktor-faktor yang menentukan pembangunan manusia (kesehatan, pendidikan, ekonomi)

Kita sering dengar tentang GDP atau PDB yang katanya menunjukan angka kesejahteraan masyarakat suatu negara. Kenapa sih PDB jadi penting? Apa ada indikator lain untuk memahami pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi?

Pada Juli 2020, Bank Dunia (World Bank) menaikkan status Indonesia menjadi kelompok negara berpendapatan menengah atas, setara dengan negara-negara seperti Rusia, Brazil, dan Meksiko. Tapi, setahun kemudian, lembaga yang sama menurunkan status Indonesia kembali ke kelompok negara berpendapatan menengah bawah. Apakah pengkategorian ini termasuk indikator pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi? Apa bedanya kedua konsep tersebut? Bagaimana dengan indikator-indikator lain seperti tingkat kemiskinan dan indeks pembangunan manusia (IPM)?

Perbedaan Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi

Dalam pengertian ekonomi tradisional, pembangunan dipahami sebagai upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang berkelanjutan semata. Hal ini memungkinkan suatu negara memperbanyak output ekonominya lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya. Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita ini kemudian digunakan untuk mengukur kesejahteraan ekonomi seluruh populasi, yang dikenal dengan istilah pendapatan nasional bruto (PNB). PNB merupakan sebuah indikator untuk mengukur total output dalam dan luar negeri yang diakui oleh penduduk suatu negara. Perhitungan PNB terdiri dari produk domestik bruto (PDB) yang ditambah faktor pendapatan yang diperoleh penduduk suatu negara di luar negeri dan dikurangi pendapatan yang diperoleh penduduk asing di dalam negeri.

Namun, konsep pembangunan ekonomi tradisional kemudian banyak dipertanyakan, karena indikator yang digunakan dianggap lebih menjelaskan pertumbuhan ekonomi ketimbang pembangunan ekonomi. Pada tahun 1960-an, mulai bermunculan kritik dari Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization) dan beberapa peneliti independen terhadap penggunaan pendapatan per kapita dan tingkat pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran eksklusif konsep pembangunan. Konsep pembangunan ekonomi selanjutnya didefinisikan ke lingkup yang lebih luas, yaitu mencakup indikator-indikator lain, seperti pengentasan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran. Sementara pertumbuhan ekonomi hanya mengacu pada peningkatan pendapatan per kapita, pembangunan ekonomi lebih menitikberatkan pada peningkatan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, dan juga ditandai dengan adanya perubahan struktural, seperti industrialisasi dan urbanisasi. Jika pertumbuhan ekonomi hanya fokus pada pengelompokkan negara-negara berdasarkan PNB per kapitanya, maka pembangunan ekonomi menganalisa lebih dalam bagaimana PNB ini terdistribusi ke berbagai kelompok masyarakat.

Ketika publik menyamakan konsep pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan ekonomi, maka kelompok rentanlah yang paling terkena dampaknya. Contohnya, ketika Bank Dunia menaikkan status Indonesia menjadi negara dengan pendapatan menengah atas, ada potensi lembaga donor internasional mengeluarkan Indonesia dari daftar prioritas penerima donor pembangunan. Hal ini dapat menurunkan atau bahkan menghentikan kemajuan proses pembangunan di sektor yang berhubungan langsung dengan perekonomian, seperti pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sektor yang tidak secara langsung berhubungan dengan ekonomi tapi masih berkaitan erat, seperti misalnya kekerasan ekonomi pada kasus kekerasan dalam rumah tangga, juga dapat terpengaruh.

Ketika publik menyamakan konsep pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan ekonomi, maka kelompok rentanlah yang paling terkena dampaknya. ~ Firmansyah Sarbini Share on X

Konsep Pembangunan dan Kemiskinan di Indonesia

Di tahun 2019, kita mungkin sempat mendengar banyak berita yang melansir bahwa Indonesia sempat sentuh titik terendah angka kemiskinan sebesar 9,41%. Apa maksud dari angka ini? Apakah dari 270 juta penduduk Indonesia, lebih dari 90% warganya sudah hidup sejahtera dan terbebas dari kemiskinan? Lalu, bagaimana pemerintah bisa mengklaim bahwa 2019 merupakan tahun dengan tingkat kemiskinan terendah sepanjang sejarah? Bagaimana cara mengukurnya?

Dikutip dari situs Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan. Ukuran garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu komponen makanan yang diproyeksikan dengan pengeluaran yang diperlukan untuk membeli makanan setara dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari dan komponen non-makanan yang berupa sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan yang diwakili oleh 51 komoditas di perkotaan dan 47 item di pedesaan.

Pendekatan yang dilakukan untuk mengukur tingkat kemiskinan ini dikritik beberapa pihak. Perdebatan tentang apakah standar 2.100 kilokalori sehari cukup memadai dan seragam untuk semua orang sudah lama dipertanyakan oleh banyak akademisi. Penetapan ukuran 2.100 kilokalori dinilai tidak mempertimbangkan berbagai jenis usia dan pekerjaan. Penetapan ini juga tidak memperhitungkan mereka yang membutuhkan lebih banyak kalori, seperti ibu hamil atau individu yang bekerja keras dengan tenaga kerja manual yang didominasi oleh masyarakat menengah bawah. Akibatnya, standar yang ditetapkan bisa menyebabkan angka kemiskinan yang diakui jauh di bawah angka yang sebenarnya.

Pembangunan dan Ekonomi
Kenapa sih PDB jadi penting? Apa ada indikator lain untuk memahami pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi?

Selain pendekatan kebutuhan dasar, Indonesia juga menerapkan pendekatan lainnya dengan melakukan uji kemampuan proxy (proxy means tests) untuk program pengentasan kemiskinan. Uji kemampuan proxy digunakan sebagai metode untuk memperkirakan pendapatan rumah tangga dan tingkat kesejahteraan berdasarkan kondisi pribadi dan rumah. Penerapan dari metode ini dapat dimisalkan dengan kedatangan seseorang surveyor ke rumah penduduk yang  alih-alih menanyakan langsung mengenai pendapatan suatu keluarga, surveyor melakukan pemantauan keadaan rumah, seperti kepemilikan barang elektronik atau kendaraan, seberapa luas rumah keluarga tersebut, hingga melihat apakah anak-anak usia sekolah dalam keluarga tersebut bersekolah.

Tapi, sama seperti metode pendekatan kebutuhan dasar, uji kemampuan proxy juga memiliki beberapa kelemahan. Misalnya, seorang surveyor mungkin mengalami kesulitan dalam menilai pendapatan atau daya beli rumah tangga miskin jika keluarga yang dikunjungi hanya menempati hunian mewah yang ditinggalkan majikannya. Selain itu, beberapa harta benda non-produktif yang menjadi warisan keluarga miskin juga berpotensi mengeluarkan keluarga tersebut dari kategori miskin, sehingga angka kemiskinan yang tercatat menjadi lebih rendah dari yang seharusnya.

Indeks Pembangunan Manusia sebagai Indikator Pembangunan

Pada tahun 1990, United Nations Development Programme (UNDP) memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index). Indeks ini dibuat sebagai upaya untuk mengkuantifikasi faktor-faktor penentu pembangunan manusia, seperti umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup yang layak. Angka harapan hidup dijadikan perantara dalam mengukur dimensi umur panjang dan hidup sehat. Dimensi pengetahuan diukur dari rata-rata lama sekolah yang diraih oleh orang dewasa dan angka harapan lama sekolah dari anak-anak dengan umur sekolah. Selain itu, nilai PNB per kapita masih menjadi acuan dalam pengukuran dimensi standar hidup layak.

Namun, seperti pengukuran tingkat kemiskinan, IPM juga memiliki beberapa kritik atasnya. Salah satu kritik yang paling sering muncul adalah anggapan kalau IPM belum cukup menggambarkan proses pembangunan secara menyeluruh, karena hanya mencakup tiga dimensi, yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Padahal, banyak dimensi-dimensi lain yang layak diperhitungkan ke dalam faktor penentu angka pembangunan. Salah satunya adalah melihat pembangunan dari sudut pandang gender. Walaupun pada tahun 2010 UNDP mulai memperkenalkan angka penyesuaian IPM dengan memperhitungkan ketimpangan gender, pada penerapannya, peringkat IPM tidak dipengaruhi oleh faktor ketimpangan gender ini. 

Sebagai contoh di tahun 2019, Arab Saudi berada pada kelompok negara dengan angka IPM sangat tinggi, yaitu 0,896 dan berada di peringkat 40 dari 189 negara, di atas Kroasia, Argentina, dan Rusia. Tapi, jika melihat lebih jauh ke angka IPM perempuan saja, Arab Saudi turun ke kelompok negara dengan angka IPM tinggi (bukan lagi sangat tinggi), yaitu 0,791, di bawah ketiga negara yang disebutkan di atas. Angka ketimpangan gender di Arab Saudi sangat besar, dibuktikan dengan PNB per kapita laki-laki sebesar USD 70,181, sedangkan PNB per kapita perempuan hanya sebesar USD 16,512. Bayangkan, dengan konsep IPM saat ini, sebuah negara dapat dikategorikan sebagai negara dengan angka pembangunan yang sangat tinggi. Sementara itu, pendapatan per kapita perempuan di negara tersebut hanya seperempat dari laki-lakinya.

Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Manusia

Pada praktiknya, pembangunan manusia sangat erat kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Perkins, dalam bukunya mengenai ekonomi pembangunan, mengklaim bahwa pendapatan saja bisa menjelaskan 90% dari variasi di IPM pada tahun 2010. Semakin tinggi PNB per kapita suatu negara, semakin tinggi juga angka IPM-nya dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan dengan peningkatan tingkat pendapatan menyebabkan asupan gizi yang diterima dan kepedulian akan sanitasi menjadi lebih baik, sehingga meningkatkan angka harapan hidup keluarga tersebut. Begitu juga ketika pendapatan dalam keluarga sudah baik, maka tingkat partisipasi sekolah akan ikut meningkat karena anak tidak perlu putus sekolah untuk membantu keluarga dalam mendapatkan penghasilan. Maka dari itu, pada akhirnya, pembangunan manusia tidak akan terlepas dari pembangunan ekonomi.

Pada akhirnya, pembangunan manusia tidak akan terlepas dari pembangunan ekonomi. ~ Firmansyah Sarbini Share on X

Tapi, ketika pertanyaannya diubah: Apakah pembangunan ekonomi cukup menjadi indikator tunggal pembangunan? Tentu jawabannya tidak. Ada banyak standar dan sudut pandang dalam menentukan apakah suatu wilayah berhasil dalam proses pembangunan. Salah satu contohnya adalah Bhutan. Ketika hampir semua negara di dunia berlomba-lomba untuk meningkatkan PNB-nya, Bhutan justru memperkenalkan indeks Kebahagiaan Nasional Bruto (Gross National Happiness) yang menjadikan kebahagian sebagai indikator penting kesuksesan suatu pembangunan.

Penggunaan indikator ekonomi saja memiliki banyak keterbatasan. Sering kali, indikator ekonomi menggunakan metode rata-rata untuk menyederhanakan suatu figur. Dampaknya, indikator ini berpotensi menyamaratakan akumulasi pendapatan orang-orang ‘ultra-kaya’ dengan kelompok miskin, menghilangkan ketimpangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan, atau bahkan menutup mata akan adanya pemiskinan sistemik pada kelompok minoritas identitas tertentu. Untuk itu, UNDP sebagai jaringan pembangunan global yang menerbitkan IPM, harus melakukan perbaikan berkelanjutan atas pengukuran mengenai pembangunan. Pengukuran tidak berhenti hanya dengan memasukkan faktor ketimpangan dan gender saja, diharapkan kedepannya pengukuran pembangunan manusia dapat mencakup masalah-masalah sosial lainnya yang tidak dapat diukur oleh hanya indikator pendapatan. Selain itu, perlu diingat untuk negara dan publik tidak serta merta melihat kenaikan angka IPM sebagai sebuah keberhasilan pembangunan. Karena, kembali lagi, angka IPM terbatas hanya mengukur tiga dimensi yang disebut di atas.

Perlu diingat untuk negara dan publik tidak serta merta melihat kenaikan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai sebuah keberhasilan pembangunan. ~ Firmansyah Sarbini Share on X

Bacaan Lebih Lanjut

Cypher, J. M. and Dietz, J. L. (2009) The process of economic development. 3rd edn. London: Routledge.

Perkins, D. H., Radelet, S. C., & Lindauer, D. L. (2006). Economics of development. New York: W.W. Norton & Co.

Todaro, M. P. and Smith, S. C. (2015) Economic development. Twelfth edn. Harlow, England: Pearson Education Limited (Pearson series in economics).


Firmansyah-Sarbini-for-Anotasi.jpg

Firmansyah Sarbini menyelesaikan studi terakhirnya di program magister di International Institute of Social Studies, Erasmus University Rotterdam. Lulus dari jurusan Social Policy for Development dengan spesialisasi Human Rights, penelitian Firman fokus pada akses kelompok rentan terhadap program perlindungan sosial pada masa krisis, seperti pandemi COVID-19. Sebelumnya, Firman menyelesaikan program sarjananya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan juga pernah menerima fellowship untuk program Visiting Human Rights Defender pada tahun 2018 dari Australian Human Rights Institute di University of New South Wales, Australia.

This site is registered on portal.liquid-themes.com as a development site. Switch to production mode to remove this warning.