Aloysius Bram
October 18, 2019Seksualitas: Pencarian makna tiada henti
December 16, 2019
Merawat diri sendiri (self-care) belakangan menjadi jargon untuk menangani keresahan dan stres yang dialami seseorang akibat pekerjaan. Self-care adalah langkah penting, namun tidak cukup. Kenapa? Karena kita perlu ingat pentingnya dukungan yang perlu dilakukan oleh orang sekitar (collective care), serta perubahan besar dan terstruktur seperti kebijakan dan budaya kantor yang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan pekerja. Hal ini dapat dimulai dengan mencari tahu dan mengukur seberapa besar kerja emosional (emotional labour) yang diperlukan seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Selain itu, kita juga perlu menggunakan cara pandang yang mempertimbangkan titik temu berbagai isu (atau cara pandang interseksional) untuk memahami bahwa berbagai individu minoritas melakukan kerja emosional sekaligus mengemban beban emosional lebih besar dari pekerja lainnya.
Seorang sosiolog bernama Arlie Hochschild, dalam bukunya The Managed Heart (1983), secara sederhana mendefinisikan kerja emosional (emotional labour) sebagai upaya mengatur emosi pekerja yang boleh diperlihatkan di publik (biasanya melalui ekspresi wajah dan tubuh) ketika melakukan pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor jasa. Emosi dan perasaan ini kemudian dapat diperjualbelikan sebagai bagian dari jasa yang ditawarkan perusahaan kepada pelanggannya. Dengan kata lain, emosi dijadikan produk yang dapat menghasilkan keuntungan dan kemudian ditawarkan dalam interaksi antara pekerja dengan klien. Horschild memberi contoh, misalnya, para awak kabin pesawat yang dikondisikanbersikap ramah dan menginformasikan segala hal dengan tenang bahkan dalam situasi yang sulit, meski mungkin secara personal mereka merasakan tekanan emosi tertentu.
Meski terkesan sederhana, dalam praktiknya, kelompok sosial tertentu mengemban kerja emosional lebih besar daripada kelompok lainnya. Dalam sistem kapitalisme, kerja emosional seringkali tidak diakui dan dikompensasi layaknya pekerjaan fisik dan pekerja ilmu pengetahuan, seperti peneliti atau pengajar. Sebagai contoh, berbagai bentuk pekerjaan yang dianggap feminin–seperti pramugari atau pelayan restoran–menuntut perempuan untuk bersikap ramah, sopan, dan lebih mengakomodasi perasaan klien. Tak jarang, sebuah perusahaan atau organisasi meminta kerja emosional lebih dari sekadar kepatuhan pekerja dalam berperilaku, tetapi juga meminta pekerja untuk melakukan ‘surface acting’. Hal ini dilakukan sebagai standardisasi agar pekerja senantiasa menunjukkan sikap yang sama dalam berhubungan dengan klien. Dampaknya, pekerja dapat merasa terasingkan dari perasaan asli mereka, karena mereka selalu harus menaati standar perusahaan dan tidak diperbolehkan jujur terhadap perasaan diri sendiri (Hochschild, 1983: 198). Berbagai penelitian terkini juga menunjukkan bahwa keterasingan ini berdampak pada perasaan jenuh, resah, hingga depresi yang dialami oleh pekerja.
Ekspansi Konsep Emotional Labour
Belakangan ini, konsep kerja emosional dipahami dalam pengertian yang lebih luas, misalnya perubahan lingkup pemahaman kerja emosional dari sektor pekerjaan ke sektor pribadi (hubungan interpersonal). Contohnya adalah peran perempuan dalam mengemban tugas rumah tangga dan hal-hal lain yang tidak diakui masyarakat, namun penting untuk keteraturan sosial (social order). Contoh lain adalah pengakuan bahwa perempuan selama ini mengemban beban emosional tertentu dalam menjalin hubungan dengan pasangan laki-lakinya, bahwa perempuan seakan memiliki ‘tanggung jawab’ untuk memperbaiki sikap atau mengarahkan pasangannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Meski terkesan sederhana, dalam praktiknya, kelompok sosial tertentu mengemban kerja emosional lebih besar daripada kelompok lainnya. ~ Ryan Febrianto Share on XSelain itu, konsep ini juga melihat bagaimana individu minoritas memegang beban yang lebih berat dalam melakukan kerja emosional, misalnya ketika seseorang merupakan bagian dari kelompok LGBTIQ+ atau hidup dengan disabilitas. Sistem opresi berlipat dapat dialami berbagai individu minoritas dan dialami melalui hubungan pribadi di kehidupan sehari-hari yang membuat mereka tidak nyaman. Tak jarang, bagi individu minoritas yang memilih untuk bersuara dan bertindak, beban emosional yang diterima dapat lebih besar ketika mereka berupaya mengedukasi, mengingatkan orang lain terhadap berbagai bentuk kekerasan mikro (mikroagresi) yang mereka alami.
Bahkan, sebagai pekerja profesional muda yang bekerja untuk mempromosikan keadilan sosial, tidak jarang saya mengalami mikroagresi berupa pandangan dan sentimen diskriminatif berbasis usia (ageist). Pekerja muda seperti saya sering dianggap tidak memiliki pendapat yang penting, tidak diberi ruang dalam pengambilan keputusan karena dipandang masih belajar, dan dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan secara baik dan profesional. Perasaan tidak nyaman hingga kekerasan juga dialami oleh teman-teman perempuan dan kelompok LGBTIQ+ yang harus menanggapi candaan atau pernyataan seksis, homofobik, dan transfobik ditengah pergulatan mereka berhadapan dengan budaya senioritas di tempat kerja. Kerja emosional menjadi beban mental di tengah pekerjaan yang secara praktik sudah cukup berat dilakukan.
Dengan demikian, penting bagi individu, organisasi, atau perusahaan, serta masyarakat mengakui bahwa kerja emosional merupakan bagian penting yang perlu dianalisis ketika membicarakan mengenai kesehatan mental pekerja. Bahwa berbagai individu tertentu mengalami kekerasan interseksional yang saling terkait (dan kompleks) baik berdasarkan gender dan seksualitas, disabilitas, kelas sosial, etnis, serta latar belakang sosial budaya lainnya. Bahwa membicarakan mengenai kerja emosional adalah langkah awal untuk memahami ketidakadilan yang dialami kelompok individu tertentu baik di ranah pribadi maupun publik. Bahwa perasaan jenuh dan resah bukan hanya masalah di tingkat pribadi, namun juga terstruktur dan mengakar di budaya, yang membutuhkan penanganan lebih dari perawatan diri sendiri (self-care). Bahwa perspektif keadilan dan transformasi sosial (social and transformational justice) perlu menjadi landasan dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan dalam rangka meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan pekerja.
Bacaan lebih lanjut:
Hochschild, Arlie Russell (1983) The Managed Heart. California: University of California Press. Brook, Paul (2009) ‘In Critical Defence of ‘Emotional Labour’: refuting Bolton’s critique of Hochschild’s concept’, Work Employment and Society, 23(3): 531-548. The Atlantic, https://www.theatlantic.com/family/archive/2018/11/arlie-hochschild-housework-isnt-emotional-labor/576637/ Guts Magazine, http://gutsmagazine.ca/emotional-labour/ The New York Times, https://www.nytimes.com/2018/11/14/smarter-living/stress-gap-women-men.html |
Ryan Febrianto merupakan lulusan International Institute of Social Studies (ISS), Erasmus University Rotterdam, dengan konsentrasi Children and Youth Studies. Ryan memiliki ketertarikan dalam aktivisme dan penelitian terkait perlindungan, pengembangan, dan partisipasi pemuda, feminisme interseksional, serta hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi. Biografi lebih lanjut: http://www.youthcoalition.org/person/ryan-febrianto/
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini