Konsep Mini
1. Pemberian Perawatan (Caregiving)
Pekerjaan yang tidak dibayar atau dibayar rendah yang melibatkan perawatan kebutuhan fisik, emosional, dan perkembangan orang lain, seperti anak-anak, individu lanjut usia, anggota keluarga, atau masyarakat.
2. Nilai Tukar (Exchange Value)
Nilai komoditas ketika diperdagangkan atau dijual, mewakili jumlah barang atau uang lain yang dapat ditukarkan dengan komoditas tertentu, dan biasanya dinyatakan sebagai harga di pasar.
3. Ibuisme
Sebuah konstruksi ideologis di Indonesia yang mengidealkan dan mengatur peran perempuan terutama sebagai ibu yang berbakti pada keluarga, taat pada suami, dan setia pada negara. Konsep ini muncul sebagai bagian penting dari rezim Orde Baru Suharto (1966-1998), yakni alat kontrol negara, yang dirancang untuk mengintegrasikan perempuan ke dalam program-program pembangunan nasional.
Dalam konteks keluarga batih (nuclear family) di Indonesia, walaupun kita menganggap pemberian perawatan adalah tanggung jawab kedua orang tua, masih ada kecenderungan untuk berpikir bahwa ibu atau saudara perempuan-lah yang lebih bertanggung jawab untuk memberikan perawatan, termasuk tugas-tugas seperti mengasuh, mendidik, memasak, dan membersihkan rumah.
Beranjak lebih jauh ke ranah publik, kita juga sering mengasosiasikan profesi-profesi seperti suster di rumah sakit, guru sekolah, asisten rumah tangga atau pengasuh anak (nanny atau babysitter) sebagai profesi yang secara alamiah atau seharusnya dimiliki perempuan ketimbang laki-laki. Tapi apakah benar kondisi biologis seseorang sejatinya menentukan profesi mereka saat dewasa? Apakah benar laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang berbeda sehingga pembagian kerja mereka baik di ranah privat maupun publik harus dipisahkan? Jika benar memasak atau mendidik adalah pekerjaan perempuan, mengapa profesi koki (chef) di sektor kuliner dan profesor di sektor pendidikan tinggi didominasi oleh laki-laki?
Pembicaraan tentang konsep pemberian perawatan dalam kehidupan sehari-hari dan profesi-profesi terkait tidak dapat dipisahkan dari definisi kerja (work) dan tenaga kerja (labour) dalam kapitalisme.
Sebelum membahas persoalan profesi, mari kita gali lebih lanjut mengenai efek kapitalisme terhadap tatanan keluarga, terutama dalam kaitannya dengan peran perempuan. Kapitalisme berkontribusi besar dalam polarisasi gender dan pekerjaan pada konteks masyarakat modern. Dalam karya klasik Capital, Karl Marx memperlihatkan bahwa roda penggerak masyarakat kapitalis adalah pembagian kerja yang ajeg, angkatan kerja yang disiplin dan pasokan tenaga kerja yang stabil. Aspek-aspek ini mencakup individu–baik laki-laki maupun perempuan—sehingga kedua gender diposisikan sebagai sumber daya manusia bagi industri kapitalis.
Pembicaraan tentang konsep pemberian perawatan dalam kehidupan sehari-hari dan profesi-profesi terkait tidak dapat dipisahkan dari definisi kerja (work) dan tenaga kerja (labour) dalam kapitalisme. ~ Najwa Abdullah Share on XBerbeda dengan Marx yang fokus pada mekanisme kapitalisme di sektor publik, para pemikir feminis menelaah lebih jauh masalah sumber daya manusia ini ke ruang privat: yaitu unit keluarga yang dalam skema besar kapitalisme didedikasikan untuk reproduksi sosial tenaga kerja. Artinya perempuan dikendalikan sedemikian rupa untuk memastikan bahwa pasokan tenaga kerja manusia–yang hanya bisa direproduksi dalam tubuh perempuan—tumbuh secara stabil untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di sektor publik/industri serta mendukung pembangunan suatu negara.
Dalam kinerja kapitalisme, pekerjaan membesarkan anak dan mengurus keluarga digambarkan sebagai pekerjaan emosional. Tapi, nilai tukar (exchange value) pekerjaan emosional ini sangat rendah atau justru tidak bernilai sama sekali ketika dikaitkan dengan definisi kerja kapitalis yang menitikberatkan pada aspek fisik (contoh kerja kasar seperti buruh konstruksi dan pabrik) dan intelektual (contoh kerja kantoran). Padahal, peran perempuan dalam keluarga memiliki nilai guna (use value) yang tinggi dan istimewa, yaitu melancarkan dan memastikan kualitas hidup pasokan tenaga kerja sekaligus konsumen baru. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa keberlangsungan pembangunan masyarakat kapitalis bergantung pada peran perempuan dalam unit keluarga. Kenapa? Karena kerja keras perempuanmerawat keluarga dan mengurus rumah tangga –termasuk mengurus suami atau Ayah yang dikonstruksikan sebagai breadwinner atau pencari nafkah— tidak memakan biaya produksi.
Dengan kata lain, target utama kapitalisme adalah mencari nilai-lebih atau keuntungan (surplus value) sebesar-besarnya dengan upahan (wage) yang sekecil-kecilnya. Karenanya, pengasingan pekerjaan pemberian perawatan keluarga dan urusan rumah tangga dari ranah publik merupakan strategi sempurna. Strategi ini melanggengkan pembentukan masyarakat kapitalis dan memberikan keuntungan maksimal bagi industri (tenaga kerja dan produktivitas) dan pemerintah (insentif pembangunan).
Berangkat dari konsepsi ini, pekerjaan-pekerjaan rumah tangga pun dikekalkan dalam dikotomi gender. Pekerjaan mendidik anak, merawat anggota keluarga yang sakit, mengurus segala keperluan sehari-hari (memasak, mencuci, membersihkan rumah) diasosiasikan dengan karakteristik feminin atau keibuan. Selain itu, perempuan secara umum dianggap lebih kompeten dalam melakukan pekerjaan yang memainkan emosi dari laki-laki karena asosiasinya dengani sifat ibu/istri/anak perempuan yang penyayang, lembut dan sabar. Oleh karena itu, dalam ranah publik pun beberapa pekerjaan yang terkait dengan kegiatan-kegiatan tersebut didominasi perempuan dan bergaji rendah. Di Indonesia, misalnya, gaji asisten rumah tangga atau guru sekolah masih terbilang kecil. Profesi suster pun masih sangat didominasi perempuan. Dalam dunia pelayanan pelanggan (customer service)–yang lebih banyak melibatkan emosi—mayoritas pekerjanya adalah perempuan yang dianggap dapat melayani keluhan dan instruksi konsumen dengan lebih baik. Begitu juga dengan pekerjaan administratif yang repetitif.
Dalam masyarakat kapitalis, barang yang dianggap berharga adalah komoditas yang dapat ditukar dengan uang. Jasa seorang ibu atau anggota keluarga perempuan lainnya ketika memasak untuk keluarganya di rumah bernilai abstrak dan dikonstruksikan sebagai tanggung jawab dan kontribusi emosional-biologis. Namun, jasa seorang koki di restoran adalah komoditas yang bernilai konkrit karena keterkaitannya dengan industri kuliner.
Profesi guru seringkali dianalogikan sebagai orang tua di sekolah, sehingga di samping berfungsi mewariskan ilmu pengetahuan, sekolah juga dikaitkan dengan ranah pengasuhan serta pengendalian anak dan remaja. Di sisi lain, pendidikan tinggi dan universitas merupakan institusi yang dianggap lebih nyata perannya dalam mencetak lulusan yang berkompetensi tinggi untuk memenuhi kebutuhan industri yang semakin rumit. Di Amerika dan beberapa negara di Eropa termasuk Inggris,Yunani, Jerman, Prancis dan Italia, staf akademik perguruan tinggi lebih didominasi laki-laki, sementara sekolah dasar dan menengah didominasi oleh perempuan.
Bias gender yang bermula dari keluarga dan kemudian berlanjut di sekolah primer dan sekunder pun tercermin dengan jelas di beberapa aspek dunia perkuliahan. Contohnya, ilmu eksakta seperti yang diajarkan di fakultas komputer dan keinsinyuran sampai sekarang masih didominasi laki-laki. Sementara itu, fakultas keperawatan di beberapa negara memiliki lebih dari 80% mahasiswa perempuan, atau fakultas sastra dan budaya yang dianggap ilmu abstrak atau humanis juga didominasi perempuan.
Bias gender yang bermula dari keluarga dan kemudian berlanjut di sekolah primer dan sekunder pun tercermin dengan jelas di beberapa aspek dunia perkuliahan ~ Najwa Abdullah Share on XSebagai contoh lainnya, Julia Suryakusuma dalam karya klasiknya “Ibuisme Negara” memberikan penjelasan yang gamblang mengenai relasi paradigma kapitalisme dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai keluarga. Berangkat dari konsep “housewifization” atau pengiburumahtangaan oleh Maria Mies, Suryakusuma berargumen bahwa kebijakan dan program keluarga di masa Orde Baru sarat dengan bias gender dalam pembagian kerja. Laki-laki diarahkan untuk melakukan kerja produksi (publik) dan perempuan ke kerja reproduktif atau domestik yang bersifat ‘informal’, ‘emosional’ dan ‘berkeahlian rendah’. Contohnya, Program PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) dikhususkan untuk perempuan dan bertujuan untuk mengkonstruksi pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan feminin. Organisasi Dharma Wanita berdampak pada timbulnya tren “istri-ikut-suami”, baik untuk status sosial maupun dalam penempatan lokasi kerja. Semua hal ini dilanggengkan dengan reduksionisme biologis, di mana istilah “kodrat wanita” disisipkan dalam penerapan program-program tersebut, yang kemudian menjadi nilai sosial dalam masyarakat. Dengan begini, Presiden Soeharto berhasil melakukan pembangunan yang relatif cepat, sistematis dan ‘stabil’, namun kaku dan otoriter.
Dengan mengkonstruksikan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan utama dalam keluarga, pemerintahan Orde Baru lebih mudah dalam mengekalkan ideologi gender dan kapitalisme hingga ke akar masyarakat. Langkah-langkah ini merupakan alasan mengapa ketimpangan gender dan kesenjangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan menjadi karakteristik yang dominan pada masyarakat modern-kapitalis.Hal ini juga merupakan faktor yang mengakibatkan jurang pemisah pekerjaan perempuan dan laki-laki, di mana pemberian perawatan dan profesi terkait masih dikonstruksikan sebagai pekerjaan feminin.
Terlepas dari perkembangan zaman, pembagian kerja dan pemberian perawatan yang masih eksklusif diperuntukkan bagi perempuan masih sangat kuat di ruang privat, bahkan dalam konteks negara maju. Hal ini karena ketiga gelombang feminisme dunia belum memberikan prioritas terhadap pengadvokasian kondisi ibu, istri dan anak-anak perempuan yang terjerat bias gender kapitalisme di keluarganya.
© 2024 Anotasi. Dibuat dengan hati dan puluhan gelas kopi.
Adding {{itemName}} to cart
Added {{itemName}} to cart