Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Alam Membongkar Narasi Pembangunan

Perjuangan ekofeminisme diasumsikan berakar dari kelekatan perempuan dengan alam yang melandasi perlawanan. Apa yang membuat relasi demikian?
Seorang perempuan berkebun

Ide Utama

Seorang perempuan berkebun

Konsep Mini

Merujuk pada pembagian tugas dan tanggung jawab yang berbeda dalam ruang pekerjaan, produksi, dan kehidupan sosial berdasarkan gender.

Seperangkat atribut, perilaku, peran, dan ekspektasi yang secara tradisional diasosiasikan oleh masyarakat dengan laki-laki dan identitas laki-laki. Dalam ekofeminisme, bentuk maskulinitas yang dominan dikaitkan dengan sifat-sifat seperti dominasi, kontrol, agresi, dan rasionalisme, yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam dan penindasan perempuan.

Teori moral yang menekankan pentingnya hubungan, empati, dan kepedulian dalam pengambilan keputusan etis, berbeda dengan cara kerja etika yang lebih tradisional. Pendekatan ini berakar pada keyakinan bahwa kepedulian dan tanggung jawab terhadap orang lain adalah hal yang penting dalam kehidupan manusia.

“Mengapa Ibu melakukan perlawanan terhadap pabrik semen?” “Bukankah dari pihak pabrik sudah menjanjikan lowongan pekerjaan untuk penduduk setempat?” “Apakah Ibu tidak melihat hal ini sebagai keuntungan karena pendapatan daerah setempat juga akan meningkat?” 

Begitulah kepungan pertanyaan yang diterima oleh para Ibu dari Kabupaten Rembang saat berdemonstrasi untuk melindungi Pegunungan Karst di Kendeng dari kegiatan pertambangan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mewakili glorifikasi pembangunan yang menjadi jantung dari krisis lingkungan di Indonesia. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah telah melahirkan berbagai gejala kemunduran ekologi. Di antaranya adalah musim kemarau panjang, pencemaran air oleh limbah, kesuburan tanah terhambat, polusi udara dan masih banyak lagi. Tentunya, ini bukanlah kabar baru.

Kegagalan pembangunan dalam mendefinisikan kesejahteraan di luar lingkup ekonomi berakar pada logika mekanistik yang hanya melihat alam sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi. Logika ini berperan dalam membentuk pemahaman bahwa manusia dan alam merupakan entitas yang terpisah, dan manusia lebih unggul dalam ekosistem. Melihat krisis lingkungan yang diakibatkan oleh cara berfikir tersebut, dibutuhkan pemahaman alternatif untuk mendefinisikan kembali apa itu kesejahteraan. Selain itu, perlu juga dilakukan rekonsiliasi antara manusia dengan alam. Contoh pemahaman alternatif dapat dilihat dari kelekatan perempuan dengan alam yang melandasi perlawanan perempuan lokal terhadap berbagai aktivitas pertambangan di daerahnya. Lebih lanjut, kita akan melihat bagaimana pemahaman dan pemaknaan alam sebagai bagian dari manusia tersimpan dalam tubuh perempuan. Apa yang membuat perempuan memiliki kelekatan dengan alam? Lalu mengapa perempuan turut andil dalam perjuangan untuk melestarikan lingkungan?

Ekofeminisme
Karena perempuan hidup bergantung dengan alam, perempuan terkena dampak pertama dari kerusakan ekologis.

Ruang Domestik dan Kelekatan Perempuan dengan Alam

Perbedaan peran yang masyarakat berikan kepada laki-laki dan perempuan melahirkan pengalaman hidup yang berbeda pula. Dalam dunia domestik, perempuan diberikan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pangan harian, kebersihan rumah, dan kesehatan anggota keluarga. Tanggung jawab tersebut membangun pengalaman kebertubuhan perempuan yang dekat dengan lingkungan. Misalnya, sebagai penyedia makanan dalam keluarga, setiap hari seorang perempuan harus mengambil hasil bumi dari ladang untuk diolah. Kayu bakar untuk memasak pun diperoleh dari batang-batang pohon tua di ladang tersebut. Kemampuan perempuan mengolah hasil bumi tersebut dibangun dari pengalamanya dalam ruang domestik.

Bagi perempuan, alam bukanlah sekedar penunjang kebutuhan, melainkan faktor yang cukup penting dalam terbentuknya sikap dan perilaku mereka. ~ Made Diah Negara Share on X

Saat berbicara tentang ruang, kita tidak hanya berbicara tentang struktur fisik. Ruang dibangun dari struktur pengalaman yang terjalin di dalamnya. Dalam masyarakat yang menganut kebiasaan tradisional, dapur, sumur,dan  kasur adalah ruang bekerja dan hidup perempuan. Di sini, identitas perempuan diinternalisasi, disosialisasikan, dan diungkapkan dalam perilaku. Dari ruang domestik tersebut  terkandung proses pemaknaan perempuan akan diri dan lingkungannya. Masing-masing ruang menggambarkan tanggung jawab seorang perempuan dalam rumah tangga. Dapur menggambarkan peran perempuan sebagai pengolah dan penyedia makanan. Sumur menggambarkan peran perempuan sebagai penjaga kebersihan rumah, seperti mencuci pakaian, piring, membersihkan rumah, dan kandang ternak. Terakhir, kasur menggambarkan peran perempuan untuk mengasuh anak dan juga mengurus serta melayani suami. Ruang domestik adalah teritori emosional, dimana perempuan bekerja sepenuh hati untuk mengedepankan keberlangsungan hidup di luar dirinya sendiri Setelah memahami ini, tentu lebih mudah dimengerti kenapa perempuan memiliki ikatan khusus dengan usaha melestarikan alam.  Bagi perempuan, alam bukanlah sekedar penunjang kebutuhan, melainkan faktor yang cukup penting dalam terbentuknya sikap dan perilaku mereka. Makna alam untuk perempuan terungkap dalam tuturan Mbok Nah, seorang ikon perjuangan melawan pabrik semen Rembang:

“Bumi itu aku ibaratkan seorang perempuan, batunya itu sebagai tulang, airnya itu sebagai darah. Kenapa kita tidak memikirkan seperti itu, seandainya badan kita sendiri dirusak, kan merasakan sakitnya seperti apa”. 

Logika konservasi yang didorong oleh semangat merawat dan melestarikan baru akan tumbuh apabila pemahaman tentang manunggalitas atau kesatuan manusia dengan alam sudah terbangun. ~ Made Diah Negara Share on X

Menggugat Prinsip Maskulinitas dalam Narasi Pembangunan 

Karena perempuan hidup bergantung dengan alam, perempuan terkena dampak pertama dari kerusakan ekologis. Jika hutan ditebangi, maka para perempuan harus berjalan lebih jauh untuk mencari kayu bakar untuk memasak. Ditambah lagi dengan dampak kesehatan lain dari aktivitas pertambangan, dalam kasus ini, yang berbahaya untuk tumbuh kembang janin ibu hamil. Vandana Shiva, seorang tokoh ekofeminisme, berpendapat bahwa ketidakadilan terhadap perempuan tersebut harus ditelusuri dengan membongkar ilmu pengetahuan modern yang merupakan produk paham patriarki dari Barat. Ilmu pengetahuan ini menjadi penting untuk disoroti karena perannya dalam  berbagai pembangunan yang akhir-akhir ini menghasilkan begitu banyak masalah sosial dan lingkungan. Pembangunan dilihat sebagai manifestasi dari ilmu pengetahuan modern yang mengabaikan cara-cara hidup yang diajarkan dalam pengetahuan ekologi dan holistik, yang lebih memahami dan menghargai proses-proses alam. Oleh karena itu, tidak heran apabila dunia yang terbentuk dari pembangunan ini adalah dunia yang giat mereproduksi prinsip maskulinitas yang mendukung kekerasan, dominasi, dan rasionalitas yang mengesampingkan perasaan. Gambaran maskulinitas yang bercirikan persaingan, dominasi, eksploitasi, dan penindasan telah berhasil mendorong alam menuju kehancuran. Sedangkan, prinsip femininitas yang mengandung unsur kelembutan serta kemampuan untuk memelihara justru dipandang pasif, lemah, dan tidak produktif dalam skema patriarki. 

Dampak  pemikiran Vandana Shiva jelas terlihat di dalam gagasan ekofeminisme yang menonjolkan dimensi spiritualitas dan memandang alam lewat cara pandang feminin. Perempuan dan alam dianggap memiliki irama yang serupa, dengan sifat mereka yang “pasif”, perannya untuk merawat dan mengasuh, serta potensinya untuk melakukan regenerasi. Alam yang memiliki berbagai sifat feminin pun turut mengalami penaklukan. Melalui gagasan ekofeminisme, Shiva mencoba membongkar prinsip maskulinitas yang mengesampingkan etika kepedulian (ethics of care, teori bahwa sebuah tindakan dinilai bermoral apabila memperhitungkan hubungan interpersonal dan rasa peduli untuk sesama) dan berfokus ke narasi kecil tentang hubungan antara perempuan dengan alam, yang selama ini masih dikesampingkan dalam skema pembangunan. 

Kearifan Perempuan Lokal sebagai Motor Gerakan Lingkungan

Potret perempuan lokal dalam garda depan perjuangan melawan pertambangan memberikan corak yang khas pada gerakan lingkungan. Aktivisme yang dilakukan perempuan lokal untuk melindungi dan merawat kekayaan alam meruntuhkan mitos bahwa pergerakan hanya milik perempuan yang terpelajar, kelas menengah, dan tinggal di perkotaan. Berbeda dengan gerakan perempuan sebelumnya, gerakan ekofeminisme merangkul alam sebagai mitra perjuangan perempuan dalam merawat dan melestarikan kehidupan.

Perlawanan yang dilakukan perempuan lokal memiliki kekhasan tersendiri yang sarat dengan nilai-nilai femininitas. Nilai femininitas yang dimaksud terwujud dalam berbagai aspek perlawanan, mulai dari landasan perjuangan yang menekankan pentingnya keseimbangan alam dan keberlanjutan generasi, hingga aksi protes tanpa kekerasan yang dilakukan. Pandangan tersebut bertentangan dengan visi pertambangan yang melihat alam sebagai komoditas yang boleh dikeruk demi mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini, perempuan lokal di garda depan perlawanan mewujudkan prinsip femininitas yang sebetulnya sangat penting bagi kehidupan. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah prinsip untuk mengedepankan kedamaian, keselamatan, kasih, dan kebersamaan. Logika konservasi yang didorong oleh semangat merawat dan melestarikan baru akan tumbuh apabila pemahaman tentang manunggalitas atau kesatuan manusia dengan alam sudah terbangun.

Bacaan Lebih Lanjut

Bacaan Lanjutan

Shiva, Vandana. 1997. Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
 
Shiva,Vandana. 2005. Ecofeminism. Yogyakarta: IRE Press
Arivia, Gadis. 2014. Goddess, Ketubuhan dan Alam: Kajian Spiritualitas Ekofeminisme. Jurnal Perempuan Vol.19 Nomor 80
 
Danardono, Donny. 2014. Ketegangan Ruang Privat dan Publik dalam Penyelamatan Ekologi: Negara, Perusahaan dan Perempuan Adat. Jurnal Perempuan Vol. 19 No. 80

Made diah negara

Made Diah Negara merupakan lulusan dari magister Sosiologi, Universitas Gadjah Mada yang mengangkat tesis terkait konstruksi pengetahuan perempuan dalam gerakan tolak pabrik semen, Rembang. Saat ini, Made terlibat sebagai peneliti yang berfokus pada kajian budaya, analisis kebijakan, gender dan interseksionalitas, isu kesehatan jiwa, dan isu pembangunan.