Feminisme: Mitos, Asumsi, dan Kenyataan

Feminisme sering disalahartikan sebagai perlawanan terhadap laki-laki atau “kebarat-baratan.” Namun, apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh feminisme?
Sekelompok perempuan yang beragam berdiri bersama, dalam solidaritas feminisme.

Ide Utama

Sekelompok perempuan yang beragam berdiri bersama, dalam solidaritas feminisme.

Konsep Mini

Sistem sosial yang meletakkan laki-laki sebagai pemilik kekuasaan dominan atas perempuan dan kelompok marginal lainnya, terutama dalam aspek politik, ekonomi, dan institusi sosial. Dalam masyarakat patriarkal, terdapat hierarki gender antara laki-laki dan perempuan.

Kapasitas individu atau kelompok untuk membuat pilihan dan melakukan perubahan dalam kehidupan atau lingkungan mereka.

Suatu kerangka kerja yang mengeksplorasi bagaimana berbagai aspek identitas sosial dan politik seseorang, seperti ras, gender, seksualitas, kelas, disabilitas, dan lainnya, berinteraksi dan menciptakan modus-modus diskriminasi dan privilese.

Feminisme sering disalahartikan sebagai upaya perempuan melawan laki-laki. Dalam konteks Indonesia sendiri, tak jarang pula yang menafsirkan feminisme sebagai gerakan yang tak berterima karena disebut gerakan asing atau “kebarat-baratan.”

Salah satu organisasi perempuan terbesar dalam sejarah Indonesia, yakni Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), telah menuai stigma tajam semenjak mereka diasosiasikan dengan sifat amoral, asusila, dan pemberontak oleh rezim Orde Baru.

Sekelompok perempuan yang beragam berdiri bersama, dalam solidaritas feminisme.
Pada dasarnya, feminisme berupaya membebaskan perempuan dari kungkungan, penindasan, dan ketidakadilan. Sebagai gerakan politik, feminisme mendorong perempuan untuk menyadari hak-haknya dalam berbagai aspek kehidupan yang terangkum dalam tiga gelombang gerakan.

Namun, apa sebenarnya yang diperjuangkan dalam feminisme? Apakah benar bahwa semua perempuan yang mendeklarasikan diri sebagai seorang feminis adalah pembenci laki-laki?

Pada dasarnya, feminisme berupaya membebaskan perempuan dari kungkungan, penindasan, dan ketidakadilan. Sebagai gerakan politik, feminisme mendorong perempuan untuk menyadari hak-haknya dalam berbagai aspek kehidupan yang terangkum dalam tiga gelombang gerakan.

Di awal perkembangannya, gerakan feminisme berupaya mengkampanyekan pentingnya memenuhi hak-hak perempuan yang pada saat itu belum terpenuhi, antara lain hak kepemilikan properti dan hak memilih (voting). Tuntutan-tuntutan tersebut didasari realita sosial pada konteks abad 19 yang masih menganggap perempuan sebagai properti, baik bagi ayah ataupun suami mereka. Pada konteks itu, perempuan dianggap tidak berhak memiliki atau mewarisi tanah, serta tidak diperbolehkan untuk memilih dalam pemilu.

Tidak hanya perempuan atau kelompok marjinal lain yang dapat mendeklarasikan diri sebagai feminis. ~ Ayunda Nurvitasari Share on X

Sistem sosial yang cenderung menguntungkan laki-laki dan mendiskreditkan perempuan semacam ini disebut juga dengan sistem “patriarki”. Pada praktiknya, sistem patriarki memberi hak-hak istimewa pada laki-laki secara langsung, misalnya hak tanah dan hak politik. Sementara itu, perempuan harus menuntut dan memperjuangkannya selama berabad-abad. Sistem patriarki sendiri terwujud dalam berbagai aspek, baik dalam aspek sosial, legal, politik, religius, maupun ekonomi. Dampak dari pola masyarakat patriarkal adalah terjadinya ketimpangan kuasa. Misalnya, laki-laki yang dianggap memiliki kuasa lebih tinggi berpotensi melakukan eksploitasi dan penindasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, tidak jarang kita mendengar bahwa laki-laki terlahir sebagai pemimpin, sementara perempuan tidak.

Semua manusia secara alamiah memiliki agensi, kapasitas untuk membuat dan berkomitmen terhadap perubahan. Apalagi, setiap orang dibekali dengan latar belakang sosial dan politik beragam yang membentuk kehidupannya. Demikianlah yang disebutkan Maud Eduards, pakar kajian politik dan gender dari Swedia. Oleh karena itu, semakin banyak hak istimewa yang kita miliki (bisa karena kelas sosial, ekonomi, politik, ras, agama, gender, dan lainnya), pilihannya pun semakin banyak. Kemungkinan besar, agensi bisa terus dilatih, bahkan digunakan dengan lebih mudah. Kabar baiknya, ini berarti kaum marjinal—antara lain perempuan, orang-orang yang dimiskinkan, atau masyarakat adat—juga memiliki agensi. Bahkan, Jean Baudrillard, seorang filsuf dari Prancis, juga menegaskan pentingnya kaum marjinal untuk terus melatih agensi mereka sebagai bentuk kritik terhadap apa-apa yang sudah ajek.

Permasalahan ini diuraikan lebih lanjut oleh seorang pemikir Perancis, Simone de Beauvoir, dalam buku terkenal berjudul Le Deuxième Sexe atau The Second Sex. Secara garis besar, de Beauvoir menjabarkan bagaimana kondisi sosial dalam masyarakat memandang perempuan sebagai penduduk kelas kedua dengan kapasitas lebih rendah dari laki-laki. Karenanya, perempuan dianggap tak mampu bekerja ataupun berpikir secara independen. De Beauvoir juga menjelaskan bagaimana perempuan seringkali didikte secara sosial untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Misalnya,  peran apa yang harus mereka mainkan, bagaimana mereka harus bersolek, dan bagaimana seharusnya mereka bertindak—seolah perempuan tak memiliki suara untuk membuat keputusannya sendiri. Anggapan bahwa perempuan hanya sebatas properti laki-laki juga dijelaskan de Beauvoir sebagai hasil dari konstruksi sosial agar perempuan tampil sebagai ‘hiasan’ atau objek.

Terkait dengan anggapan terbatasnya kapasitas berpikir perempuan, salah satu pendobrak asumsi tersebut di Indonesia tak lain adalah Kartini, yang mempercayai bahwa perempuan juga semestinya memperoleh hak atas edukasi, seperti halnya laki-laki.

Gerakan perempuan di Indonesia pada periode tahun 50-an sendiri terbilang sangat progresif. Selain memberikan edukasi, Gerwani sebagai organisasi perempuan terbesar dalam sejarah Indonesia juga menyuarakan hak perempuan dalam berbagai aspek. Mereka mendorong reformasi hukum agar perempuan dan laki-laki diperlakukan setara di mata hukum. Gerwani juga mengkampanyekan hak perempuan untuk mewarisi harta dan menolak poligami paksa. Posisi Gerwani dalam politik nasional pada awal tahun 60-an sangat kuat dengan anggota mencapai 1,5 juta orang.

Meski gerakan feminisme terus berubah dan mengangkat isu-isu berbeda sesuai konteks tempat dan zamannya, azas feminisme tetap menyoal ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang dialami kelompok marjinal ~ Ayunda Nurvitasari Share on X

Pada periode yang sama di Amerika Serikat, gerakan feminisme gelombang kedua diawali dengan terjadinya pergeseran peran perempuan dari ranah rumah tangga ke sektor kerja. Pergeseran tersebut disebabkan oleh konteks Perang Dunia pertama dan kedua yang mewajibkan laki-laki berpartisipasi dalam perang, sehingga sektor pekerjaan yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi laki-laki mulai diambil alih oleh perempuan. Gerakan feminisme gelombang kedua terjadi ketika laki-laki yang kembali dari perang berupaya mengambil kembali pekerjaan lama mereka. Namun, perempuan menolak untuk kembali menjadi ibu rumah tangga karena merasa menemukan ruang aktualisasi diri di sektor kerja. Gerakan feminisme gelombang ini juga dikenal sebagai gerakan pembebasan karena mencakup isu lebih luas seperti isu diskriminasi sektor kerja, tekanan-tekanan sosial dalam keluarga, maupun tuntutan hak-hak reproduksi.

Pada gelombang ketiga yang dimulai pada era 80-an, gerakan feminisme terwujud sebagai bentuk kritik terhadap dua gelombang sebelumnya yang didominasi oleh perempuan kulit putih. Oleh karena itu, feminisme gelombang ketiga menggarisbawahi titik temu berbagai isu (intersectionality), baik dari elemen keragaman ras, kelas, maupun seksualitas. Feminisme gelombang ketiga tidak mau mengontrol definisi ataupun menyamaratakan permasalahan, dan lebih menekankan pada pentingnya persimpangan identitas seorang individu. Misalnya, seorang perempuan kulit hitam dari kelas bawah tentu memiliki permasalahan dan tekanan lebih berat dibandingkan perempuan kulit putih kelas atas. Sehingga, ketika kita berbicara mengenai “perempuan”, kita juga harus membahas keragaman identitas. Oleh karena itu, feminisme gelombang ketiga juga memperjuangkan hak-hak kelompok marjinal, termasuk ras minoritas, agama minoritas, maupun kelompok LGBTIQ+. Penindasan yang dihadapi oleh kelompok waria di Indonesia, misalnya, masih perlu diperjuangkan karena masih banyak hak mereka yang belum terpenuhi hingga saat ini, termasuk hak mengenyam pendidikan, hak memperoleh pekerjaan yang layak, maupun hak tempat tinggal yang masih sering terancam.

Saat ini, tidak hanya perempuan atau kelompok marjinal lain yang dapat mendeklarasikan diri sebagai feminis. Laki-laki yang juga percaya pada gagasan-gagasan mengenai kesetaraan hak dalam berbagai aspek kehidupan juga senantiasa mendukung gerakan feminisme. Faktanya, sistem yang patriarkal juga dianggap merugikan laki-laki karena banyaknya tuntutan yang dibebankan pada laki-laki.

Dengan demikian, meski gerakan feminisme terus berubah dan mengangkat isu-isu berbeda sesuai konteks tempat dan zamannya, azas feminisme tetap menyoal ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang dialami kelompok marjinal. Perubahan yang diupayakan juga bukan untuk menindas kelompok tertentu, melainkan menciptakan kesadaran masyarakat menuju kondisi sosial yang lebih adil.

Referensi

  • De Beauvoir, S. (2014). The Second Sex. Random House. 
  • Walters, M. (2005). Feminism: a very short introduction (Vol. 141). Oxford University Press. 
  • Wieringa, S. (2002). Sexual politics in Indonesia. Springer. 

Bacaan Lanjutan

  • Butler, Judith. Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge, 2011.​
  • De Beauvoir, S. (2014). The Second Sex. Random House. ​
  • Hooks, Bell. Talking back: Thinking feminist, thinking black. South End Press, 1989.​
  • Wieringa, Saskia. Sexual politics in Indonesia. Springer, 2002.