Konsep Mini
1. Gender
Menggambarkan peran, perilaku, ekspektasi, dan identitas yang diasosiasikan oleh masyarakat sebagai laki-laki atau perempuan. Tidak seperti jenis kelamin, gender adalah konstruksi sosial dan budaya, yang dibentuk oleh norma dan ekspektasi masyarakat.
2. Jenis Kelamin
Mengacu pada atribut biologis yang terkait dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, termasuk kromosom, hormon, organ reproduksi, dan karakteristik seksual sekunder.
3. Interseks
Mengacu pada orang yang lahir dengan karakteristik jenis kelamin fisik, seperti kromosom, gonad, atau organ reproduksi, yang tidak sesuai dengan definisi umum tentang tubuh laki-laki atau perempuan.
Dalam ilmu sosial, jenis kelamin tidaklah sama dengan gender. Jenis kelamin terkait dengan hal-hal biologis dalam tubuh seseorang, terutama organ reproduksinya. Walaupun di banyak kelompok masyarakat hanya ada dua jenis kelamin, sebenarnya orang yang lahir dengan jenis kelamin yang tidak bisa dikategorikan sebagai laki-laki atau perempuan tidaklah sedikit. Orang-orang ini sering disebut kelompok interseks dan data terakhir menunjukkan bahwa dari 2000 bayi yang lahir, dapat dipastikan ada 1 bayi interseks (Intersex Society of North America 2013). Fenomena ini memperlihatkan bahwa sebenarnya kita tidak bisa hanya terpaku pada penis sebagai pertanda kelaki-lakian dan vagina untuk perempuan. Belum lagi jika kita mempertimbangkan kromosom dan hormon. Sebagai contoh, atlet lari asal Afrika Selatan Caster Semenya meskipun terlihat seperti perempuan ternyata memiliki kromosom khas ‘laki-laki’.
Jika jenis kelamin sering ditentukan berdasarkan kondisi biologis, gender ditentukan oleh masyarakat. Kecenderungannya, jenis kelamin selalu dikait-kaitkan dengan gender. Maka, untuk menjadi maskulin, seorang laki-laki tidak boleh menangis, tidak wajib bisa masak, haram memakai perhiasan ataupun dandanan, dan tidak perlu paham bagaimana cara merawat anak. Untuk menjadi feminin, seorang perempuan harus sensitif, pintar memasak, pandai berhias dan merawat diri, juga siap melahirkan dan membesarkan anak.
Pemikir feminis asal Amerika Serikat, Carole S. Vance, dalam tulisannya yang berjudul “Social Construction Theory: Problems in the History of Sexuality” mengatakan bahwa konsep dan ide seputar gender dan seksualitas seharusnya tidak dipahami sebagai sesuatu yang “alami” atau “kebenaran” yang mutlak dan tidak dapat berubah, tapi sebagai sebuah konstruksi sosial. Menurutnya, konstruksi sosial adalah ide-ide yang dihasilkan dalam masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Dengan melihat gender bukan sebagai sesuatu yang alamiah, biologis atau sebagai sebuah kodrat, Vance mengajak kita untuk memahami gender sebagai hasil dari perkembangan sejarah dan tindakan manusia. Pandangan ini juga membantu kita melihat bahwa ada motif kekuasaan yang berperan untuk menentukan bagaimana gender dibentuk. Misalnya, Julia Suryakusuma dalam bukunya Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru mengatakan bahwa pada masa Orde Baru, pemerintah memiliki kuasa dalam menentukan peranan wanita sebagai ibu dan istri yang baik tidak hanya di ruang lingkup keluarga dan rumah tapi juga di masyarakat, termasuk dalam kehidupan bernegara. Efeknya, sampai sekarang perempuan Indonesia masih sulit lepas dari ekspektasi ini.
Melalui normalisasi, misalnya seperti yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, kita menjadi begitu terbiasa dengan peraturan yang menentukan identitas gender kita. Normalisasi adalah proses sosial yang menentukan apa yang normal atau tidak normal di masyarakat. Ketika kita kecil, orang tua dan keluarga biasanya paling rajin memperkenalkan aturan-aturan gender ini. Di sekolah, kita belajar dari teman-teman berbagai kebiasaan baru yang mempertebal identitas gender ini. Apakah semua orang bisa mencapai idealisme ini? Tentu tidak. Kemudian yang terjadi biasanya adalah cemooh, olok-olok, atau pertanyaan-pertanyaan memojokkan. Laki-laki yang tidak paham olahraga sering dipertanyakan maskulinitasnya. Perempuan yang tidak segera hamil setelah menikah juga dipertanyakan kewanitaannya. Bukan hanya melalui keluarga dan teman, berbagai barang yang kita pakai sehari-hari juga memiliki karakter feminin atau maskulin. Deodoran, sampo, dan produk kecantikan dianggap hanya diperlukan oleh perempuan, makanya perlu ‘edisi khusus’ laki-laki. Di toko pakaian pun harus ada dua bagian khusus laki-laki dan perempuan.
Normalisasi tentang konsep gender tidak hanya tampak jelas di kehidupan sehari-hari yang bisa saja dianggap ‘subjektif’. Emily Martin, seorang antropolog Amerika Serikat, mengatakan bahwa dalam bidang yang sepertinya sangat ‘objektif’ dan bergantung pada fakta mutlak seperti sains dan dunia medis pun, normalisasi tentang gender sering terjadi. Dengan menganalisa tulisan-tulisan jurnal ilmiah tentang karakter sel telur dan sperma, Martin menunjukkan bagaimana gambaran tentang sel telur dan sperma dipengaruhi oleh stereotipe gender tentang laki-laki dan perempuan serta apa yang dianggap feminin dan maskulin di masyarakat. Misalnya sperma digambarkan memiliki sifat aktif sementara sel telur dianggap pasif. Ini berujung pada penggambaran proses biologis perempuan yang dianggap tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan proses biologis laki-laki.
Melihat gender dan jenis kelamin sebagai dua hal yang berbeda dapat membantu mengurangi diskriminasi. ~ Marissa Saraswati & Annisa R. Beta Share on XMenariknya, tidak semua orang mengikuti semua aturan tentang identitas gender yang dicampuradukkan dengan jenis kelamin. Masyarakat sendiri pun terus mengganti norma mengenai laki-laki atau perempuan ideal. Mungkin kita tidak ingat, tapi dalam sejarah, masyarakat Indonesia sering mengubah peraturan tentang bagaimana perempuan seharusnya. Sebelum tahun 1900an, tidak banyak perempuan yang dapat mengenyam pendidikan karena tidak dianggap perlu. Laki-lakilah yang dianggap berhak bersekolah setinggi-tingginya. Sekarang? Tidak ada yang mempertanyakan pentingnya sekolah baik untuk perempuan atau laki-laki.
Intinya, melihat gender dan jenis kelamin sebagai dua hal yang berbeda dapat membantu mengurangi diskriminasi, tidak hanya terhadap kelompok marginal seperti waria atau transgender, tapi juga mengurangi tekanan untuk diri kita sendiri. Kita tidak perlu lagi terkungkung oleh tuntutan konstruksi gender yang mengharuskan wanita bersikap feminin atau laki-laki memiliki kualitas maskulin.
© 2024 Anotasi. Dibuat dengan hati dan puluhan gelas kopi.
Adding {{itemName}} to cart
Added {{itemName}} to cart