Disclaimer: Dalam tulisan ini, penulis merefleksikan pengalamannya terkait dengan good girl syndrome dan depresi beserta gejala-gejalanya. Di antara gejala-gejala yang disebutkan adalah perbuatan melukai diri sendiri dan pikiran untuk mengakhiri hidup.
Banyak orang yang berpendapat bahwa mereka bahagia jika orang sekitarnya juga merasa bahagia. Mungkin pernyataan ini memang benar, tapi jika dilakukan terus-menerus, kebutuhan untuk menyenangkan orang lain ini dapat membentuk sebuah tekanan yang membelenggu. Perasaan tertekan dari desakan untuk memenuhi ekspektasi orang sekitar ini disebut good girl syndrome. Tragisnya, sindrom ini adalah situasi dimana kebahagiaan malah tidak dapat ditemukan.
Banyak orang yang berpendapat bahwa mereka bahagia jika orang sekitarnya juga merasa bahagia. Mungkin pernyataan ini memang benar, tapi jika dilakukan terus-menerus, kebutuhan untuk menyenangkan orang lain ini dapat membentuk sebuah tekanan yang membelenggu. Perasaan tertekan dari desakan untuk memenuhi ekspektasi orang sekitar kerap kali disebut good girl syndrome. Tragisnya, sindrom ini adalah situasi dimana kebahagiaan malah tidak dapat ditemukan.
Sejak kecil, kita pasti sering diberi nasehat untuk menjadi anak yang baik dan berbagai ekspektasi lainnya oleh orangtua. Untuk anak sulung, biasanya ekspektasi pun berlipat ganda– mereka biasanya diharapkan untuk bisa berlapang dada, mementingkan orang lain, dan juga tidak egois. Harapan-harapan yang disematkan di pundak mereka inilah yang mendorong munculnya good girl syndrome. Tidak ada yang salah dengan orangtua yang berharap anaknya dapat menjadi seseorang yang baik dan berguna. Sayangnya, harapan tersebut dapat berdampak negatif saat anak yang terbebani ekspektasi orang tua ini kemudian terus-menerus mengutamakan kepentingan orang lain dan melupakan kepentingannya sendiri.
Mementingkan dan membahagiakan orang sekitar tentulah hal yang menyenangkan jika dilakukan sesekali. Apabila dilakukan setiap saat, maka akan memunculkan perasaan ketergantungan. Akhirnya, kebahagiaan pribadimu pun bergantung pada kebahagiaan orang lain. Saya pernah mendengar seseorang mengatakan, “Kamu tidak bisa memberi seseorang uang kalau kamu sendiri tidak punya uang.” Hal ini tentu berlaku juga dengan kebahagiaan. Kita pun tidak akan bisa membahagiakan orang lain jika kita sendiri tidak merasa bahagia.
Kenyataannya, terus-menerus berusaha memenuhi keinginan orang lain dan mementingkan kebahagiaan mereka di atas kebahagiaanmu tidak akan membuatmu bahagia. ~Janice Elysia Share on XSejauh ingatan saya, orang tua selalu menaruh harapan pada diri saya, walaupun tidak dikatakan secara gamblang. Sebagai anak sulung, saya tentu harus menjadi contoh yang baik bagi adik-adik. Saya selalu berusaha menjadi anak baik yang penuh empati untuk orang lain serta terus memberikan yang terbaik untuk orang di sekitar saya. Ada tahun-tahun dalam hidup saya di mana saya terus meyakinkan diri bahwa kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan saya juga.
Namun, akhirnya saya mulai mendahulukan keinginan saya dan berhenti begitu mementingkan kepentingan orang lain. Hal ini saya lakukan karena ternyata hal tersebut merusak mental saya secara perlahan. Semuanya bermula dari pencerahan saya saat masih berumur 16 tahun. Saya sadar bahwa ada sesuatu yang salah saat saya tiba-tiba kehilangan minat untuk melakukan apapun dan mulai menangis tak kenal waktu, bahkan saya sempat melukai diri saya sendiri. Awalnya, saya mendatangi guru BK di sekolah dan meminta bantuan, namun tampaknya hal tersebut tidak berguna. Saya akhirnya mendatangi psikiater. Setelah serangkaian sesi konsultasi yang terasa begitu lama dan tes-tes yang dilakukan, saya harus berdamai dengan berita bahwa saya mengalami Gangguan Depresi Mayor (GDM).
Kenyataannya, terus-menerus berusaha memenuhi keinginan orang lain dan mementingkan kebahagiaan mereka di atas kebahagiaanmu tidak akan membuatmu bahagia. Setiap kali saya merasa gagal membahagiakan orang sekitar saya, saya akan mengalami rasa bersalah yang berkepanjangan dan menghukum diri sendiri. Saya harus menjalani hidup dengan depresi atau gangguan mental secara umum–yang sulit bukan hanya karena saya harus menghadapi kondisi saya sendiri, saya juga harus menghadapi anggapan bahwa kondisi saya ini adalah salah satu wujud kurang bersyukur. Jalan yang saya ambil, untuk bisa berdiri tanpa mengonsumsi obat-obatan psikiatri bukanlah jalan yang mudah, namun tentu ada cara-cara agar bisa berdamai dengan situasi seperti ini.
Percayalah bahwa teman terbaikmu adalah dirimu sendiri. Karena itu, pahami sakitmu. Setelah kamu memahaminya, terima bahwa kamu mungkin membutuhkan bantuan orang lain. Dalam berjuang melawan permasalahan kesehatan mental, kamu bisa mencari dukungan dari atau orang sekitar atau psikiater. Menerima keadaan dan mencari bantuan, itu langkah pertama saya.
Selanjutnya, penting sekali untuk memahami perasaanmu setiap harinya. Dalam setiap sesi konsultasi dengan psikiater, ia selalu meminta saya untuk menceritakan dan menggambarkan perasaan saya. Dari situ, saya paham bahwa ada hari-hari dimana saya harus istirahat dan berhenti memikirkan pendapat serta perasaan orang lain. Pahami perasaanmu, itu langkah kedua saya.
Beri dirimu afirmasi dan apresiasi atas apa pun yang kamu alami hari itu, seberapa pun buruknya perasaanmu hari itu. Awalnya, saya menganggap bahwa afirmasi adalah kalimat tidak berguna meski diucapkan sebanyak apa pun. Namun, setelah coba memberikan afirmasi positif pada diri sendiri, ternyata saya juga merasakan dampak-dampak positifnya. Sejak saat itu, saya berusaha memberi afirmasi pada diri saya. Afirmasi dan apresiasi diri, itu langkah ketiga saya.
Ingatlah bahwa hanya dengan bantuanmu sendiri kamu bisa menyembuhkan dirimu, dan bahwa kebahagiaanmu tidak bisa bergantung dengan kebahagiaan orang lain. ~Janice Elysia Share on XMenulis daftar keinginan saya untuk hari esok ternyata juga membantu saya untuk pelan-pelan menerima keadaan. Daftar keinginan itulah yang saya jadikan motivasi untuk terus berjalan; sesepele naik ojek di keesokan hari, misalnya. Kalau bisa membuatmu bahagia, hal sekecil melihat matahari pagi keesokan hari pun bisa memberimu dorongan untuk terus berjalan. Inilah langkah terakhir saya.
Saat kita berada di titik paling rendah, melewati satu hari rasanya sangat sulit. Setelah terlewati pun, pencapaian besar ini mungkin tidak akan dianggap sebagai suatu keberhasilan oleh orang lain. Sekalipun kamu berhasil melewati masa-masa kelam tersebut, sekalipun kamu memiliki dukungan emosional yang kuat, atau setelah kamu menyelesaikan beratus-ratus sesi konsultasi dengan psikiater pun, tetap akan ada kemungkinan untuk kamu jatuh kembali ke lubang hitam yang sama. Meski demikian, jadikan hal-hal kecil seperti mendengar deru knalpot mobil di jalan raya sebagai alasan untuk terus berusaha melewati hari-hari kedepan.
Sakit, sesak dan frustasi tentu akan kamu rasakan awalnya. Pikiran-pikiran untuk mengakhiri hidup, atau pikiran bahwa kamu tidaklah penting dan tidak dipedulikan mungkin akan tetap menghantui pikiranmu. Namun, ketahuilah bahwa kamu penting dan berharga di mata orang yang tepat. Sejujurnya, segala sakit dan penderitaan yang dialami itulah yang akan membawamu ke jalanmu sendiri–yang akan terlihat ketika kamu mulai mencari bantuan keluar.
Ingatlah bahwa hanya dengan bantuanmu sendiri kamu bisa menyembuhkan dirimu, dan bahwa kebahagiaanmu tidak bisa bergantung dengan kebahagiaan orang lain.

Janice Elysia adalah seorang mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Udayana. Membaca, menulis, dan menonton, adalah hal yang dilakukannya di waktu luang. Kesehatan mental, isu terkini, dan feminisme adalah hal-hal yang menarik minatnya sejak duduk di bangku SMA. Saat ini, Janice sedang berfokus dengan studinya sambil berusaha berkontibusi meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental melalui tulisan-tulisannya. Penulis bisa dikontak untuk bercengkrama melalui instagram @janiceelysia .