Pengantar Redaksi:
Di Catatan Pinggir ini, Faris Alaudin menceritakan pengalamannya dibesarkan oleh Mak-Bapak dalam ruang-ruang domestik yang setara. Faris mensyukuri hak istimewa yang diberikan kepadanya untuk mendobrak batasan yang ajek dalam pembagian kerja berdasarkan gender. Faris tumbuh dengan keberanian untuk meleburkan nilai feminitas dan maskulinitas di dalam dirinya dan menjadikan keduanya sebagai laku hidup sehari-hari. Faris menunjukkan bahwa sebagai laki-laki, maskulinitasnya sama sekali tidak tercederai ketika ia gemar memasak, tidak pandai bermain bola, dan bungah melihat bunga-bunga bermekaran.
Belum lama, saya menuliskan catatan singkat. Kira-kira begini:
“Ibu membesarkan saya dengan maneka bunga. Harum semerbak titian masa. Beraneka rupa, juga warna. Kenikir, gandasuli, menik, juga jambon kemboja.
Ibu mendulang saya dengan maneka bunga. Manakala, ia bertungkus lumus dengan pawon. Menanak nasi dengan cerek. Mencari garing aking untuk dimakan bersama dengan urap kelapa. Juga menjerang dedaunan untuk membikin teh nasgitel. Lengkap dengan gula aren terbaik dari padukuhan di Kaliwiro sana. Menyeduh bagi orang-orang yang ia sayang.
Ibu menimang saya dengan maneka bunga. Di kala, ia perlu berjalan kaki ribuan langkah untuk mencari opak di Padukuhan Kalibeber dengan singkong yang mempur, juga buncah daun kucai. Yang dikelantang dan dihangatkan di tengah terik matahari, beralaskan para-para. Ia bungkus dan ia jual di pasar kabupaten. Dan, ibu akan pulang dengan rakan kegemaran kami. Munthul, depok, atau jadah dengan bacem tempe atau gembus.
Ibu mengasihi saya dengan maneka bunga. Saat rewang, ia memasrahkan hitam rambutnya–yang pekat berkat urang-aring, lidah buaya, juga bakaran sekam–untuk ditatah dengan maneka bunga. Juga dihias dengan sulur daun-daun. Saya gelung rambut ibu dengan bunga-bunga tadi. Kini, pekat rambutnya tidak lagi sama. Tumbuh uban tebal yang bikin gatal kulit kepala.
Semenjak tumbuh, saya disadarkan pada rentang waktu yang kian meniti lama. Saya jadi tahu beragam nahu. Maneka bunga tidak tumbuh bagi laki-laki. Mereka bukan untuk meninabobokkan bocah lanang kecil yang rewel ditinggal ibu pergi. Namun, saya sudah kadung tresna. Juga trengginas. Saya mencintai maneka bunga. Tanpa perlu menimbang segala yang ilok dan takilok.”
Bagi saya, takarir ini tidak hanya reflektif, tetapi juga kontemplatif. Saya diajak untuk menilik kembali masa anak-anak.
Saya dibesarkan oleh ibu, yang kami panggil Mak. Mak saya laiknya ibu lain: bangun pagi benar, menjerang air, ubet di pawon ‘dapur’, dan memasak sarapan. Bapak tidak kalah sibuk. Selesai sembahyang, Bapak mempersiapkan keperluan sekolah kami: rendaman nilam semalam dan panas arang untuk menggosok seragam hingga memastikan topi dan buku-buku tidak tertinggal. “Supaya tidak disetrap,” ujar Bapak. Menjelang sandikala, bapak selalu menemani kami belajar hingga malam menjelang, sedangkan mak mempersiapkan dagangan.
Saya Kecil dan Ruang Domestik
Beranjak usia sekolah dasar, Mak–Bapak mulai memberi tanggung jawab domestik. Mak mulai mengajari kami menghidu wangi rempah hingga memasak lodeh atau berongkos. Sementara itu, Bapak mengajari kami merawat bebungaan hingga membilas kemeja putih dengan biru belau agar tidak menguning. Begitu kira-kira gambaran subtil yang dibencahkan oleh Mak-Bapak dalam ruang keseharian kami.
Kami tumbuh dalam keluarga batih yang egaliter. Oleh karena itu, pembagian kerja dalam keluarga kami tidak begitu rigid. Pada satu waktu, Mak bekerja penuh sebagai ibu rumah tangga. Di lain waktu, Mak memegang kendali atas kepulan asap dapur keluarga. Bapak pun demikian. Beberapa kali, saya menyaksikan Bapak mendukung Mak dalam memastikan kebutuhan kami sekeluarga.
Demikian Mak-Bapak merawat saya dalam ruang-ruang domestik yang setara. Dengan bekal tadi, saya tidak perlu canggung manakala membantu mencuci piring di rumah kerabat atau memasak di dapur handai tolan. Terkadang, saya mendapatkan pujian karena kelihaian saya mengiris tipis bawang putih. Lebih sering, saya menjadi asing karena anak laki-laki sebaya banyak menghabiskan waktu di tengah terik matahari untuk bermain bola sepak atau gundu. Kala itu, saya sadar bahwa saya tidak memenuhi standar tertentu yang dilekatkan kepada anak laki-laki. Sayangnya, saya tampak kepayahan untuk menavigasi emosi atas ketidakberterimaan ini yang kemudian melahirkan rasa keterkucilan.
Sebagai laki-laki, saya tidak perlu merasa dicederai maskulinitasnya tatkala saya gemar memasak, tidak pandai bermain bola, atau bungah melihat bunga-bunga berkembang. ~ Faris Alaudin Share on XIngatan saya lalu berpilin pada masa kecil lain, saat usia saya menginjak sepuluh tahun dan tengah duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Saya sedang di dapur, memasakkan nasi goreng untuk mbak, kakak perempuan saya. Beberapa saudara kemudian mempertanyakan kegemaran saya memasak, yang menurut mereka terlalu feminin dan keperempuan-perempuanan. Laki-laki bisa memasak dianggap wandu ‘banci’.
Bertahun berlalu, saya sadar, lingkungan sosial masih mempunyai tendensi untuk menempatkan kerja perawatan dan domestik, seperti mengasuh, memasak, dan mendidik, sebagai sesuatu yang bersifat feminin. Tentu saja, masyarakat patriarkis menempatkan kerja domestik yang lekat dengan arena reproduksi kepada ibu atau anak perempuan. Dalam lokus budaya Jawa yang menjadi akar saya, ibu masih dianggap sebagai konco wingking, yang berkorelasi erat dengan kerja domestik tadi. Adapun Bapak dan anak laki-laki diinternalisasikan dalam kerja-kerja publik yang akrab dengan arena produksi yang maskulin. Distorsi dualitas antara publik dan domestik ini menihilkan kehadiran ruang cair yang bisa menerima ke-di-antara-an yang feminin dan maskulin.
Berpindah dari Tubuh ke Tubuh
Pada kemudian hari, saya disadarkan juga bahwa glorifikasi atas pola pengaturan perilaku relasi antara laki-laki dan perempuan dalam peran gender tertentu menimbulkan ketidaksetaraan atau ketimpangan. Arief Budiman, dalam buku Pembagian Kerja secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat (1981), menyebutkan lima ketidaksetaraan gender, yakni stereotip, subordinasi, marginalisasi, beban ganda, dan kekerasan berbasis gender. Dengan begitu, spektrum gender yang begitu luas hanya dikerdilkan dalam nilai feminitas dan maskulinitas semata. Saya, sebagai laki-laki, harus memenuhi nilai-nilai maskulinitas patriarkis tadi.
Mick Cunningham, dalam artikel “Parental Influences on the Gendered Division of Housework” (2001), menambahkan bahwa keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat pun turut melanggengkan genderisasi atas kerja domestik. Sosialisasi gender seperti ini membentuk sikap anak-anak dalam meneroka kekakuan seksualitas yang digenderisasikan. Mereka dibesarkan untuk terus mencermati kerja-kerja domestik yang diusung oleh ibu atau anak-anak perempuan. Kemudian hari, anak-anak akan menginternalisasikan pembagian kerja secara seksual ini sebagai kewajaran.
Untuk itu, saya sungguh bersyukur atas privilese ‘hak istimewa’ yang diberikan oleh Mak-Bapak untuk meretas batasan pembagian kerja berdasarkan gender ini. Saya dibesarkan untuk berani meleburkan nilai feminitas dan maskulinitas serta memelihara nilai-nilai ini sebagai laku. Sebagai laki-laki, saya tidak perlu merasa dicederai maskulinitasnya tatkala saya gemar memasak, tidak pandai bermain bola, atau bungah melihat bunga-bunga berkembang.
Dalam hal ini, saya banyak bercermin kepada Bapak sebelum ia mangkat. Bapak mampu menegosiasikan kerja-kerja domestik ini sebagai laku diri. Meskipun, Bapak perlu mencerna lama konsekuensi atas perasaan tidak diterima oleh lingkungan sosial kami. Berangkat dari respons Bapak, saya terus melakukan perjalanan ulang-alik untuk menjadi ‘laki-laki’, berpindah dari tubuh yang maskulin ke tubuh yang feminin tanpa perlu merasa gagal menjadi laki-laki. Dengan demikian, saya secara perlahan berupaya untuk mentransformasikan maskulinitas patriarkis yang menyembunyikan kemampuan emotif laki-laki.
Sayangnya, kesadaran kolektif atas peleburan yang feminin dan maskulin ini belum banyak ditemui dalam ruang keseharian saya. Lingkungan sosial saya masih menabukan hal-hal ini. Oleh karena itu, gerakan feminisme, yang kerap dipeyorasikan sebagai lokalisir terhadap pemberdayaan perempuan, perlu diredefinisikan ulang. Dalam kompleksitas masyarakat, laki-laki perlu sadar bahwa feminisme harus diperjuangkan untuk bersama-sama menghapuskan tuntutan dunia patriarki yang tidak berdasar. Feminisme dengan cergas menuntut kelahiran dunia yang ideal bagi setiap insan, baik di rumah, institusi pendidikan, maupun ruang-ruang sosio-ekonomi-kultural.
Bayangkan, jika pembagian kerja antara yang domestik dan publik tidak lagi ajeg, serta masing-masing individu mampu menjadi agensi untuk melakukan perubahan sosial secara kolektif. Barangkali, masyarakat kita tidak perlu lagi melabeli perempuan atau laki-laki sebagai feminis. Feminisme adalah sebentuk etika kepedulian untuk menumbuhkan individu yang humanis.
Faris Alaudin, akrab disapa Faris. Mukim di Pegunungan Dieng. Tengah mengelola Yayasan Desa Akar Karsa, yang berfokus pada kerja pengarsipan dan pendokumentasian seni-budaya di kawasan kultural Dieng dengan perspektif dekolonialis melalui program kelas menulis, penerbitan zine, hingga residensi. Faris mendalami kajian tradisi lisan dari Universitas Indonesia. Juga, menjadi anggota dari Asosiasi Tradisi Lisan dan sedang melaksanakan etnografi kesintasan tradisi topeng lengger di Wonosobo. Sesekali menetap di Yogyakarta sebagai penyunting lepas di media edukasi anak, Guru Bumi. Korespondensi melalui surel farisalaudin@gmail.com.