Masa-masa kritis dalam tiga bulan terakhir akibat pandemi Covid-19 memperlihatkan kepada kita semua bahwa kepemimpinan (leadership) jadi salah satu faktor krusial yang bakal menentukan sukses atau tidaknya sebuah negara menanggulangi keberadaan wabah.
Kepemimpinan yang buruk—kita tepikan sejenak Indonesia—berbanding lurus dengan hasil yang dikeluarkan: wabah sukar ditaklukan. Amerika Serikat dan Brasil adalah dua contoh mutakhir. Baik Donald Trump maupun Jair Bolsonaro sama-sama keukeuh Covid-19 kurang lebih sama dengan flu biasa dan kepentingan ekonomi tetap di atas segalanya—sekalipun nyawa masyarakatnya sendiri yang dipertaruhkan.
Meski demikian, tak semua pemimpin punya tabiat seperti Trump atau Bolsonaro. Di beberapa negara, pemimpin menjadi aktor penting dalam keberhasilan upaya melawan virus. Dan entah kebetulan atau tidak, negara-negara ini dipimpin oleh perempuan.
Di Selandia Baru, misalnya, ada Jacinda Ardern, perdana menteri berusia 39 tahun. Sejak wabah belum menyebar seperti sekarang, Ardern sudah mengambil tindakan preventif yang serius. Dia melarang pelancong dari Cina masuk, memberlakukan lockdown, serta menempuh tes berskala besar terhadap penduduknya.
Tak cuma itu saja, Ardern juga konsisten hadir di tengah masyarakat selama masa karantina melalui bantuan Facebook Live. Sesi ini menjadi ruang interaksi antara Ardern dengan warga Selandia Baru. Topik obrolannya bermacam rupa: dari formal sampai nonformal. Satu hal yang pasti: Ardern tak henti-hentinya menyemangati warga negaranya dengan pesan yang jelas maupun gaya bahasa yang tidak tendensius.
Usaha Ardern guna memutus rantai penyebaran virus membuahkan hasil yang tidak main-main. Sejauh ini (per 4 Juni 2020), jumlah kasus positif Covid-19 hanya 1.154, dengan 1.481 di antaranya dinyatakan sembuh dan 22 lainnya meninggal dunia. Bahkan, sejak 22 Mei sampai sekarang cuma muncul satu kasus positif saja.
Pemandangan yang sama lahir pula di Taiwan yang dipimpin presiden perempuan bernama Tsai Ing-wen. Tsai bertindak dengan cepat sekaligus tegas sedari dini. Tatkala banyak negara tidak menanggapi serius peringatan dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang menyatakan bahwa ada virus berbahaya dari Cina yang menular lewat kontak manusia, Taiwan justru sebaliknya.
Di bawah arahan Taiwan Centers for Disease Control, pemerintahan Tsai langsung mengetatkan pengawasan. Mereka melakukan tes massal, tracing serta tracking menyeluruh, menutup perbatasan, menerapkan karantina, sampai menyampaikan informasi kepada masyarakat sejelas-jelasnya. Hasilnya pun tokcer. Hingga 4 Juni 2020, kasus positif Covid-19 di Taiwan cuma 443 dengan tujuh di antaranya meninggal dan 428 lainnya sembuh.
Pesan Jelas
Di luar contoh di atas, masih ada Mette Frederiksen (Denmark) dan Angela Merkel (Jerman) yang sama-sama mengambil langkah pencegahan virus sejak awal. Merkel, ambil contoh, melakukan jutaan tes untuk memetakan keberadaan virus, di samping secara bersamaan memperkuat fasilitas kesehatan demi menanggulangi orang-orang yang terpapar wabah. Kemudian, Merkel juga berusaha memberikan informasi yang transparan dan mengandalkan peran para ilmuwan.
Pemimpin perempuan punya kecakapan yang tidak banyak dimiliki pemimpin laki-laki pada umumnya. Mereka berempati, lebih mudah mendengarkan, perhatian, sampai tak berkeberatan untuk berkolaborasi. ~ Faisal Irfani Share on XSedangkan yang terjadi di Denmark, di bawah kepemimpinan Frederiksen, juga setali tiga uang. Sejak awal Maret, Frederiksen telah memerintahkan untuk karantina wilayah yang disertai dengan penutupan tempat-tempat publik hingga memberikan informasi yang tegas dan jelas.
Imbas dari kebijakan tersebut dapat dilihat manakala baik Denmark maupun Jerman jadi salah dua negara yang mampu mengendalikan wabah Covid-19 dengan baik ketimbang negara Eropa lainnya.
Studi tahunan World Economic Forum tentang kesetaraan gender di antara negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) berjudul Global Gender Gap Report 2020 memperlihatkan bahwa pengelolaan negara maupun perusahaan yang melibatkan partisipasi perempuan secara komprehensif bakal membuahkan hasil yang egaliter.
Mengapa demikian? Pasalnya, pemimpin perempuan punya kecakapan yang tidak banyak dimiliki pemimpin laki-laki atau tradisional pada umumnya. Mereka berempati, lebih mudah mendengarkan, perhatian, sampai tak berkeberatan untuk berkolaborasi.
Masalahnya, hingga sekarang, ruang untuk menampung kontribusi perempuan tidak seideal yang dibayangkan. Laporan yang disusun UNESCO bertajuk “Cracking the Code: Education of Girls and Women in Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM)” menjelaskan bahwa hanya ada 35 persen perempuan di seluruh dunia yang belajar dan terjun ke dalam bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).
Rendahnya angka partisipasi itu, tidak dapat dipungkiri, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang menempatkan para perempuan pada keadaan tidak menyenangkan. Dari anggapan bahwa mereka hanya patut bekerja di rumah, mengurus segala hal yang berkaitan dengan perkara domestik, sampai lingkungan kerja yang didominasi kelompok pria yang beracun.
Walhasil, situasi tersebut membuat para perempuan terjebak pada labirin yang sama. Padahal, mayoritas menganggap bidang STEM digadang-gadang menjadi kunci pembangunan masa depan yang wajahnya—kelak—bisa dilihat dari banyak aspek, tak terkecuali pengambilan kebijakan pemerintah.
Kembali ke pandemi. Memang, kepemimpinan perempuan bukanlah kondisi tunggal yang membuat suatu negara berhasil mengendalikan laju penyebaran dan penularan wabah. Ada faktor lain seperti sistem kesehatan yang kokoh, kondisi geografis, serta kontribusi para ilmuwan yang secara konsisten berupaya mengenali eksistensi virus dengan pendekatan ilmiah yang mampu dipertanggungjawabkan.
Akan tetapi, kiprah Ardern, Tsai, maupun Merkel juga tidak boleh dipandang sebelah mata begitu saja. Mereka membuktikan bahwa, sekali lagi, perempuan dapat memegang tanggung jawab lebih dengan memimpin organ besar bernama negara di tengah tekanan maupun serangan krisis berwujud pandemi Covid-19. Aksi mereka adalah wajah betapa kompetennya perempuan bila diberi ruang yang lebih proporsional dibandingkan hanya terus-menerus didorong untuk tetap berada di rumah dan mengurus anak atau keluarga, sebagaimana stereotip khas semesta patriarki pada umumnya.
Implementasinya, jelas, tidak akan mudah. Kultur politik masih didominasi para pria. Kendati demikian, optimisme senantiasa harus terus dijaga. Setelah pandemi selesai, sudah saatnya perempuan diberi panggung untuk mengukir ceritanya sendiri.
Faisal Irfani sehari-hari bekerja sebagai jurnalis. Sempat menimba pengalaman di Tirto.id selama dua setengah tahun dan sekarang lebih banyak menggarap laporan untuk VICE Indonesia. Tidak suka senja, kopi, atau musik indie.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini