Tentang ‘Petuah Simbah’ dan Pilihan Hidup Berkeluarga Rasa Kesalingan

Ide Utama

Pengantar Redaksi:

Pada Catatan Pinggir kali ini, Rofi bercerita mengenai kehidupan rumah tangga yang ia bangun bersama pasangannya berdasarkan prinsip kesalingan. Mereka menerapkan cara hidup yang jauh dari konstruksi soal mana ‘pekerjaan perempuan’ dan ‘pekerjaan laki-laki’. Bagi mereka, hidup berumah tangga perlu dirawat dengan saling bekerja sama, mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan berdua. Untuk sampai pada titik itu, Rofi dan pasangan menentang ‘petuah simbah’ yang menurut mereka membatasi laki-laki untuk terlibat di ruang domestik dan memperkuat segregasi (pembagian) pekerjaan berdasarkan gender.

Sudah tiga hari saya melakukan perjalanan dinas kerja ke Kota Ambon. Pada waktu yang bersamaan, saya dan pasangan juga sedang melangsungkan long distance marriage (LDM) atau pernikahan jarak jauh, karena pada Agustus 2024, keluarga kami mendapat kado dengan terwujudnya cita-cita istri melanjutkan sekolah pasca-sarjana ke Negara Kincir Angin, Belanda.

Hal tersebut adalah salah satu cita-cita pernikahan kami, mewujudkan mimpi bersama. Karena kegigihan kami itu pula, salah satu kerabat bahkan tak segan menyebut kami sebagai ‘pasangan petarung’.

Sembari memandangi indahnya Pantai Natsepa di hari terakhir berdinas, saya tiba-tiba teringat dengan tumpukan ‘petuah simbah’, yang jika dibukukan mungkin mampu menyaingi ketenaran buku Primbon Jawa. ‘Petuah simbah’ saya tersebut menyangkut segala aspek hajat hidup manusia: dari cara menjaga diri sampai membina keluarga ala patriarki. Bahkan, cara suami istri menjalani hidup berkeluarga sesuai ‘petuah simbah’ dianggap sebagai tolak ukur baik buruknya cara anak cucu mereka berumah tangga. 

Beberapa ‘petuah simbah’ datang dalam bentuk larangan, misalnya seorang suami pantang makan sisa makanan istri. Ada keyakinan bahwa jika seorang suami dengan sadar memakan sisa makanan istrinya, artinya si suami telah ‘tunduk’ kepada istrinya. Contoh lain yang lebih ekstrem adalah petuah yang melarang suami menjemur kancut istri, karena hal tersebut dianggap menurunkan harga diri suami sebagai kepala keluarga.

Melawan Tradisi, Menolak Melanggengkan Patriarki

Petuah simbah yang demikian seringkali menganggap beban kerja rumah tangga sebagai ‘kodrat’ perempuan secara serampangan: bahwa tugas-tugas domestik adalah tugas perempuan. Oleh sebab itu, sekalipun umur ‘petuah simbah’ itu tergolong telah usang, masih banyak masyarakat yang terus merawatnya dengan balutan agama dan konstruksi sosial. Padahal, menurut sosiolog Peter L. Berger, konstruksi sosial dapat dimaknai sebagai bentuk akumulasi dari tindakan dan perilaku individu maupun kelompok yang bersifat bebas. 

Seorang dosen Filsafat UGM juga menyebutkan bahwa agama muncul sebagai realitas sosial. Artinya, kehadiran agama turut melibatkan aspek-aspek sosial, termasuk di dalamnya ada institusi, praktik sosial, simbol, bahasa yang digunakan, dan doktrin. Tidak mengagetkan jika perkawinan antara agama dengan konstruksi sosial ini menjadi alasan kuat ‘petuah simbah’ terus hidup di era modern. 

Lantas, apakah wejangan ini diinternalisasi keluarga kami? 

Mengetahui ‘petuah simbah’ kental dengan unsur patriarki, kami menemukan masalah mendasar yang perlu segera diperbaiki. Hal ini karena konsep patriarki telah menjadi ajaran kuno yang hanya menguntungkan gender tertentu. Maka dari itu, dibutuhkan perlawanan atas konsep tersebut serta melawan norma patriarki lain yang telah ada sejak lama. 

Jika dahulu mereka tumbuh dengan pedoman ‘petuah simbah,’ maka biarlah generasi kami membina rumah tangga ini sebagai laboratorium kesetaraan. Dengan begitu, budaya patriarki yang telah usang itu perlahan tumbuh menjadi budaya yang… Share on X

Salah satu bentuk perlawanan kecil kami atas norma patriarki adalah menolak tradisi ngidak endhok dan kacar kucur saat resepsi pernikahan. Ngidak endhok merupakan salah satu rangkaian resepsi dengan cara pengantin laki-laki yang menginjak telur mentah, kemudian sang istri membersihkan kaki suaminya dengan cara berlutut. Sedangkan tradisi kacar kucur berupa prosesi mempelai pria mengucurkan biji-bijian beserta uang receh ke arah nampan yang dipegang oleh mempelai perempuan. Tradisi ngidak endhok dan kacar kucur tidak hanya memiliki makna tentang peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai pendamping, tetapi juga mengandung makna lain yang patut untuk dibedah dan dikuliti. Dalam pandangan kami, kedua tradisi tersebut justru sebagai bentuk ketimpangan gender dan hilangnya rasa kesalingan dalam berkeluarga. Makanya, memilih untuk tidak melangsungkan prosesi itu adalah cara penghormatan terbaik kami menghargai pasangan sebagai teman hidup.

Merawat Kesalingan dalam Rumah Tangga

Di usia pernikahan yang baru berumur 912 hari, kami melanjutkan hidup berkeluarga di tanah rantau. Keputusan ini memudahkan kami untuk menentang nilai maskulinitas toksik dengan menyelesaikan kerja-kerja domestik dengan bekerjasama. Rutinitas pagi hari yang tak pernah luput kami lakukan, termasuk saya terlibat di dalamnya, adalah menyapu, memasak, mencuci piring, mencuci pakaian, dan menjemur baju. Sesekali, kami menambahkan kegiatan berbelanja di toko kelontong atau pasar terdekat saat bahan makanan mulai menipis di pertengahan bulan. 

Kami memilih membagi tugas berdasarkan kesenangan satu sama lain. Istri menyukai aktivitas rumah yang berkaitan dengan air, sementara saya sebaliknya. Atas dasar kesenangan itu, saya berkewajiban memastikan makanan siap tersaji dan istri mencuci baju kami. Ketika cucian telah rampung dibilas, saya langsung menjemur setiap baju hasil cuciannya, mulai dari sprei, kaos kaki, sampai kancut istri. Apakah kegiatan ini bertolak belakang dengan ‘petuah simbah’? Oh, tentu. Akan tetapi, sampai detik ini, harga diri saya tak pernah merasa runtuh dan direndahkan, justru beban kerja mampu diselesaikan dengan efektif. 

Tentang ‘Petuah Simbah’ dan Pilihan Hidup Berkeluarga Rasa Kesalingan
Rumah tangga rasa kesalingan. Ilustrasi oleh Aulia S. Adilah

Jika ada petuah lain yang menyebutkan bahwa perempuan itu tugasnya ‘masak, macak, manak’, kami malah memiliki strategi pengurusan dapur yang bisa diadu dalam mengorganisir waktu. Caranya adalah dengan membuat grup yang kami buat melalui aplikasi WhatsApp dengan judul ‘Kapan-Kapan Masak’ dengan kami berdua sebagai anggota di dalamnya. Keberadaan grup ini sangat penting dan menjadi rujukan utama bagi kami setiap kali berurusan dengan rutinitas dapur.  Grup itu berisi list belanja mingguan dan menu makanan yang akan kami olah satu minggu ke depan. 

Setiap akhir pekan, kami saling memeriksa bahan makanan yang telah menipis, sekaligus merinci kebutuhan bahan mentah yang akan dimasak. Jika diperlukan, saya yang lebih sering bekerja on-site akan membeli bahan-bahan di pasar tradisional dekat kantor berdasarkan ceklis ulang istri terkait bahan makanan yang belum kami dapatkan. Sementara istri yang sering bekerja dari rumah, memiliki waktu cukup di malam hari untuk menyiapkan bahan dan bumbu masakan. 

Melihat jenis kegiatan rumah tangga yang banyak kami lakukan bersama, saya merasa ada yang perlu diluruskan dari konsep ‘petuah simbah’ soal urusan domestik. Karena jika mengikuti petuah itu, semua daftar kegiatan kami dianggap sebagai tugas istri dalam melayani dan mengurus suaminya. Jika demikian, untuk apa ‘petuah simbah’ apabila hanya membuat rumah tangga kami berjalan secara timpang, ukan mengutamakan rasa kesalingan? 

Apa yang Agama Katakan soal Hidup Kesalingan?

Islam juga telah mengajarkan tentang berkesalingan dalam rumah tangga. Misalnya, pada surah QS. Ar-Rum ayat 21, sekurang-kurangnya berarti bahwa di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. Jika dalil agama saja mengajarkan tentang rasa tenteram dan saling mengasihi, lantas mengapa kita sebagai hamba justru membangun sekat-sekat berdasarkan gender tertentu? 

Saya jadi belajar bahwa tak sepenuhnya pengalaman leluhur layak untuk diwariskan, bisa saja cukup dijadikan cerita pengalaman dan pembelajaran. Jika dahulu mereka tumbuh dengan pedoman ‘petuah simbah,’ maka biarlah generasi kami membina rumah tangga ini sebagai laboratorium kesetaraan. Dengan begitu, budaya patriarki yang telah usang itu perlahan tumbuh menjadi budaya yang penuh dengan nuansa kesalingan.


Tentang ‘Petuah Simbah’ dan Pilihan Hidup Berkeluarga Rasa Kesalingan

Rofi’ saat ini tengah sibuk melakoni pekerjaannya di Divisi Penggalangan Dukungan Publik Lembaga Indonesia Corruption Watch. Selain mengelola lini bisnis sosial di ICW, ia juga memiliki ketertarikan pada bidang kajian gender yang ia kenal semasa berkuliah di Fakultas Filsafat UGM. Ia bermimpi suatu hari akan ada kehidupan baru yang penuh dengan rasa penghormatan antar sesama makhluk hidup tanpa perlu melanggengkan diskriminasi, subordinasi dan marginalisasi.


This site is registered on portal.liquid-themes.com as a development site. Switch to production mode to remove this warning.