Bayu Maitra
April 8, 2019Mencari Secercah Harapan dalam Kegelapan
April 21, 2019OPINI
Bagaimana Feminisme Dimanfaatkan untuk Mendukung Opresi
oleh Januarsyah Sutan
Di buku We Were Feminists Once, Andi Zeisler menuturkan bahwa di tahun 1970an di Amerika, feminisme memiliki citra yang sangat buruk. Feminisme dipandang sebagai insiden politik yang datang dan pergi atau eksperimen sosial yang berdampak negatif bagi masyarakat, keluarga, dan laki-laki. Namun, hanya dalam kurun waktu 10 tahun, popularitas feminisme meroket dan mengubah wajah media dan budaya pop. Sekarang, selebritis seperti Beyonce, Emma Watson, Lena Dunham dan Katy Perry, mengklaim identitas feminis dan ikut menunjukkan citra baru feminisme di benak masyarakat.
Namun, apakah popularitas feminisme di media berarti kemajuan? Jessa Crispin dalam Why I Am Not A Feminist: A Feminist Manifesto mengatakan bahwa upaya menjadikan feminisme sebagai konsep populer dilakukan dengan dua cara. Pertama, menciptakan citra feminisme yang lebih “bersahabat”. Feminisme jenis ini mengutamakan pilihan personal dibandingkan pemahaman atas tekanan-tekanan politis dan sosiologis. Misalnya, perempuan yang mengaku feminis bisa mengatakan bahwa pilihan personal dia untuk menikah adalah tindakan feminis. Padahal klaim ini mengabaikan fakta bahwa masyarakat menekan perempuan untuk membuat pilihan tersebut. Klaim ini juga tidak memperhatikan sejarah pernikahan yang digunakan untuk mengontrol perempuan, menjadikan perempuan sebagai properti dan bahwa sampai sekarang pernikahan masih terpengaruh tujuan-tujuan tersebut.
Kedua, menurut Crispin, perempuan diyakinkan bahwa kehidupan pribadi mereka akan jadi lebih baik jika mereka menyebut diri mereka feminis. Dalam konsep ini, fokus feminisme bukan lagi kepentingan masyarakat luas, tetapi kepentingan pribadi: bagaimana memiliki bisnis yang sukses, bagaimana menjadi lebih bahagia, bagaimana mendapatkan kekuasaan. Crispin menjelaskan bahwa feminisme yang terfokus pada kepentingan pribadi sama sekali tidak memiliki kekuatan. Feminisme jenis ini mampu dengan mudah memberikan akses ke kekuasaan tanpa mengubah sistem, namun justru menjebak perempuan untuk ikut terlibat dalam sistem kekuasaan yang opresif.
Andi Zeisler menamakan feminisme yang populer di media sebagai marketplace feminism yaitu feminisme yang sudah kehilangan konteks (dekontekstualisasi), tidak politis (depolitisasi) dan bekerja mengikuti mekanisme pasar. Berbeda dengan feminisme yang mendambakan perubahan radikal secara ekonomi, sosial dan politik untuk kehidupan yang lebih setara, marketplace feminism adalah alat pencitraan yang mengeksploitasi elemen-elemen feminisme untuk memenangkan pasar.
Misalnya, sejumlah perusahaan dan biro iklan menciptakan slogan-slogan yang seolah-olah feminis seperti “embodiment of the new freedom” untuk menjual sweater (Liberated Wool Sweater), “Freedom spray” untuk menjual spray aerosol untuk vagina (Massengill), atau “Empowered by you” untuk menjual kosmetik (Em Cosmetics). Dengan menggunakan diksi-diksi tersebut, kapitalis menciptakan ilusi bahwa kebebasan atau pemberdayaan bisa didapatkan dengan membeli dan menggunakan produk, bukan dengan mengubah sistem.
Di tahun 2018, Hoodies, sebuah perusahaan fashion asal Israel membuat iklan kontroversial dengan slogan “Freedom is basic”. Di awal iklan ini, Bar Refaeli, seorang supermodel asal Israel, muncul dengan memakai abaya dan niqab dan diikuti dengan teks dalam bahasa Ibrani yang berarti: “Apakah ini Iran?” Lalu, Refaeli melepaskan niqab dan abaya yang dia gunakan untuk menampilkan pakaian dari merek yang dipromosikan tersebut.
Referensi negara Iran di iklan ini cukup problematis. Sejak Revolusi Iran di tahun 1979, perempuan di atas umur 13 tahun diwajibkan untuk menggunakan hijab oleh negara. Jika melanggar, perempuan akan didenda hingga 500.000 Riyal dan hukuman penjara paling lama dua bulan. Sejumlah aktivis perempuan Iran memprotes peraturan ini dengan melepas hijab yang mereka kenakan di jalan, dan banyak dari mereka yang ditangkap oleh kepolisian setempat. Baru-baru ini, Nasrin Sotoudeh, seorang pengacara yang membela para perempuan yang memprotes kewajiban memakai hijab di Iran, dihukum karena sejumlah tuduhan yang berkaitan dengan aktivitasnya membela HAM, dan salah satunya adalah tidak mengenakan hijab. Nasrin Sotoudeh dihukum 33 tahun penjara dan 148 hukum cambuk. Protes perempuan-perempuan di Iran untuk melawan opresi yang dilakukan pemerintah Iran tentu saja perlu didukung, tetapi apakah ini membenarkan iklan yang dibuat oleh Hoodies?
Dalam memahami permasalahan sosial di sebuah negara, kita perlu melihat relasi kuasa yang mempengaruhi kondisi sosial dan politik negara tersebut. Setiap negara memiliki dinamika yang berbeda, begitu juga Iran dan Israel. Iklan Hoodies diproduksi dan digunakan di Israel bukan di Iran dan Bar Refaeli adalah Yahudi Israel bukan seorang Muslim. Israel tidak memiliki hukum yang mewajibkan hijab sehingga bisa dikatakan para pembuat iklan ini tidak berusaha merubah sistem seperti para aktivis perempuan di Iran. Selain itu, di Israel, minoritas muslim lah yang mengalami diskriminasi institusional dan Israel masih menjajah Palestina yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Dengan melihat dinamika sosial dan politik negara Israel, iklan Hoodies bukan mempromosikan kebebasan tetapi justru mengabaikan opresi Israel terhadap Muslim dan mempertahankan stereotipe budaya Muslim yang inferior.
Iklan ini menunjukkan kesamaan dengan feminisme populer yang dikritisi oleh Crispin. Pertama, pilihan pribadi menjadi fokus di iklan tersebut dan konteks politik dan sosial di Israel sama sekali diabaikan. Dalam iklan tersebut, Bar Refaeli tampak berdansa setelah memilih abaya dan niqab, seolah-olah merayakan kebebasannya. Iklan ini merepresentasikan kebebasan melalui kacamata biner: memakai abaya dan niqab bukan lah kebebasan, dan menggunakan t-shirt dan jeans yang diproduksi oleh Hoodies adalah kebebasan.
Marketplace feminism adalah alat pencitraan yang mengeksploitasi elemen-elemen feminisme untuk memenangkan pasar. ~ Januarsyah Sutan Share on XDi sisi lain, pakaian tertutup seperti niqab dan abaya hanya digunakan oleh minoritas Muslim dan Yahudi Ultra-Ortodoks di Israel. Pertanyaan “Apakah ini Iran?” menyiratkan bahwa Muslim adalah komunitas yang disinggung oleh iklan tersebut. Dengan jumlah 16,7%, Muslim di Israel adalah minoritas dan mereka berulang kali menjadi target diskriminasi institusional. Parlemen Israel, Knesset, mendiskualifikasi RUU kesetaraan antara orang Yahudi dan Muslim Arab di tahun 2018. Mereka juga menolak RUU kesetaraan yang diajukan di tahun 2016. Mantan Ketua Mahkamah Agung Israel, Aharon Barak, mengatakan bahwa Israel berbeda dari negara lain karena Israel bukan hanya negara demokrasi, tetapi juga negara Yahudi. Dengan kata lain, kelompok Yahudi mendapatkan prioritas dibandingkan kelompok lainnya. Sikap ini kembali dikemukakan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang mengatakan, “Israel bukanlah negara bagi seluruh warga negaranya. Israel adalah negara bangsa bagi orang-orang Yahudi – dan hanya mereka.”
Selain melakukan diskriminasi terhadap minoritas Muslim di negaranya, Israel telah menjajah wilayah Palestina yang didominasi oleh Muslim selama 50 tahun dan melakukan aneksasi berbagai kawasan di negara tersebut. Investigasi PBB mengungkap bahwa di tahun 2018 tentara Israel dan pemimpin-pemimpinnya telah melakukan kejahatan perang dengan secara sengaja menggunakan senjata api saat protes Gaza untuk menyerang anak-anak, perempuan, jurnalis, pekerja kesehatan dan orang-orang dengan disabilitas. Israel juga mengusir 5 juta orang Palestina dari wilayahnya dan membuat peraturan-peraturan diskriminatif yang mempersulit kehidupan orang Palestina.
Kedua, iklan ini mengajak perempuan untuk menjadi bebas agar mereka merasa kehidupan pribadi mereka menjadi lebih baik. Iklan ini tidak menyebut feminisme secara jelas, tetapi menggunakan elemen-elemen berkaitan dengan isu perempuan dan kata “freedom” atau kebebasan untuk menarik perhatian calon pembeli yang mendukung feminisme. Taktik yang sama pun digunakan oleh Liberated Wool Sweater yang menggunakan slogan “Embodiment of the new freedom” di tahun 1970an. Kata “freedom” juga digunakan untuk menggambarkan manfaat yang didapatkan pengguna produk mereka yaitu “freedom of movement, freedom from wrinkles, and freedom to wear any hem-length you like.”
Zeisler menjelaskan bahwa para pembuat iklan ini berharap untuk “menjangkau pembeli potensial yang memiliki cukup keyakinan terhadap gerakan pembebasan perempuan sehingga mau mendukung perusahaan-perusahaan yang menyebutnya, tetapi tidak memiliki cukup keyakinan untuk menolak apa yang dilihat feminis sebagai alat-alat objektifikasi seksual.”
Dalam konteks iklan Hoodies, pembuat iklan memiliki pasar yang lain: mayoritas Yahudi di Israel. Mayoritas Yahudi tidak menggunakan abaya dan niqab sehingga “pilihan” untuk menanggalkan pakaian tersebut sama sekali tidak harus dipilih oleh konsumen mereka. Hoodies ingin menggambarkan bahwa mayoritas Yahudi sudah bebas karena apa yang sudah mereka pakai, dan sebagai perbandingannya perempuan yang memakai abaya dan niqab tidak seberuntung mereka. Narasi iklan ini jelas tidak menginginkan perubahan apapun, tetapi mengafirmasi superioritas kelompok mayoritas di Israel dan mengajak perempuan untuk merasa “bebas”, dengan merendahkan kelompok lain yang diopresi oleh masyarakat Israel.
Meskipun feminisme kini menjadi populer, menurut Zeisler kepercayaan-kepercayaan mendasar dibalik kata feminisme masih tetap dipertikaikan di arena sosial dan politik. Sementara Crispin mengatakan bahwa feminisme telah menjadi gaya hidup dan gaya hidup tidak akan membawa perubahan. Iklan Hoodies hanyalah salah satu dari begitu banyak wujud marketplace feminism di dalam media dan budaya pop. Mereka digunakan bukan untuk melawan patriarki, tetapi mendapatkan perhatian, menjual citra tertentu dan mengakumulasi profit yang menguntungkan segelintir orang. Sementara itu, ideologi feminisme yang mendambakan perubahan untuk kehidupan yang lebih baik bagi perempuan dan kelompok-kelompok marjinal lain masih terasing. Menjadi terasing mungkin bukan pilihan yang populer, tetapi keadaan tersebut sepertinya akan selalu menjadi bagian dari jalan yang berujung pada perubahan.
Januarsyah Sutan adalah penulis lepas dan pengajar bahasa Inggris di sebuah bimbingan belajar miliknya sendiri.