Berdamai Dengan Inner Child
March 31, 2021Pandemi Covid-19: Tragedi dan Anomali
April 19, 2021OPINI
Feminisme ≠ Membenci Laki-Laki
oleh Dyna Fransisca
“Lo feminis? Berarti lo anti laki-laki dong?” “Wah, lo feminis, nih? Berarti nggak butuh laki-laki, ya?” “Feminis bukannya selalu menganggap perempuan lebih superior daripada laki-laki, ya?” “Gue takut banget dekat sama cewek feminis. Biasanya mereka galak-galak.”
Kamu seorang feminis dan sering mendapatkan respon-respon menyedihkan seperti di atas? Mungkin ini sudah saatnya untuk mengedukasi orang-orang terdekatmu agar tidak salah paham lagi dengan istilah feminis.
Akhir-akhir ini, feminisme memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di jagat maya, apalagi saat salah satu media online yang berfokus pada isu perempuan mengatakan bahwa dunia podcast saat ini didominasi oleh laki-laki, sehingga muncul anggapan bahwa dunia podcast ini masih ‘boys club’ banget.
Setelah membaca ratusan pendapat yang merespon tulisan dalam laman tersebut, tidak sedikit ada komentar yang berargumen bahwa para perempuan terlalu berlebihan dalam menyikapi sesuatu, atau bahwa feminisme adalah budaya dari barat sehingga tidak sepatutnya orang Indonesia menganut pandangan tersebut. Selain itu juga ada banyak sekali komentar-komentar yang menyudutkan pihak perempuan dalam dan/atau melontarkan lelucon-lelucon garing tentang bagaimana perempuan tidak mau kalah dari laki-laki. Ketidaktahuan akan maksud dan tujuan dari munculnya gerakan feminisme ini tentu akan berakibat fatal. Hal ini membuat saya berpikir, ternyata masih banyak masyarakat yang tenggelam dalam kesalahpahaman ini, ya.
Perlu diingatkan kembali bahwa feminisme adalah sebuah konsep yang menekankan pada kesetaraan gender dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan lainnya. Jadi, kalau ada yang berpikir bahwa kekhawatiran feminis cuma sebatas kampanye free the nipple dan body hair activism doang, tentu mereka salah besar. Yuk, buka mata dan pikiran lebih lebar lagi karena dalam kenyataannya, sejak dulu hingga sekarang banyak sekali rentetan kampanye (campaign) yang diusung oleh komunitas feminis dunia dengan tujuan beragam. Tidak hanya berpusat kepada kesetaraan gender saja, kampanye-kampanye ini juga bertujuan untuk melepaskan kaum minoritas dari macam-macam penindasan dan ketidakadilan. Di antara kampanye yang lahir sebagai usaha untuk menjawab kegelisahan para perempuan ada kampanye #ItsOnUs yang pernah diusung oleh Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama beberapa tahun yang lalu demi memerangi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, atau kampanye #TheRaceIsOn yang digaungkan oleh Western Union pada Hari Perempuan Internasional yang menekankan pentingnya dukungan dalam bentuk pendidikan untuk perempuan. Kampanye ini mendorong perempuan untuk memasuki bidang-bidang yang sebelumnya didominasi laki-laki, untuk mengambil peran penting dan didengar suaranya.
Lalu kenapa feminis begitu menekankan pemberdayaan perempuan? Tentu bukan semata-mata karena feminis tidak menyukai laki-laki, tetapi agar tidak ada lagi kesalahpahaman bahwa ada hierarki sosial dimana suatu kelompok harus berada di atas kelompok lainnya–dalam kasus yang ada, laki-laki di atas perempuan. Jadi, tolonglah hentikan pemikiran kuno seperti ini! Karena yang benar-benar diinginkan oleh feminis bukanlah untuk diperlakukan lebih istimewa atau lebih tinggi dari laki-laki, melainkan untuk adanya kesamaan hak antara yang satu dengan yang lainnya.
Lalu kenapa masih banyak yang beranggapan bahwa feminis membenci laki-laki? Ada beberapa alasan kenapa feminis mendapat citra buruk, tapi persamaannya ada satu; kesalahpahaman. Feminisme garis keras (radical feminism) melihat berbagai hal kecil yang mungkin kita sering abaikan, seperti pandangan instutusi negara, agama atau pilihan untuk menjadi ibu, sebetulnya memiliki akar patriarkal (terbentuk oleh bias masyarakat yang menganakemaskan laki-laki). Penolakan atas berbagai institusi sosial dan politik ini membuat segelintir orang merasa bahwa feminis hanyalah segerombolan perempuan egois yang membenci laki-laki dan gemar memberontak. Padahal, istilah yang tepat untuk mereka yang membenci laki-laki adalah misandris―bukan feminis. Feminisme tidak sama dengan membenci laki-laki. Justru feminis mengharapkan adanya peran laki-laki untuk menyadarkan dan mengedukasi lebih banyak orang lagi terkait gerakan ini. Bagaimanapun, bias dan aturan yang dibentuk oleh sistem patriarkis merugikan tidak hanya perempuan dan gender minoritas lainnya, tapi juga para laki-laki.
Untungnya, sudah tidak sedikit jumlah laki-laki yang menyadari hal ini. Dalam kegiatan Women’s March yang dilaksanakan setiap tahunnya, cukup banyak laki-laki yang turut serta turun langsung ke lapangan seraya menyampaikan aspirasinya soal kesetaraan gender.
Setelah kita tetapkan bahwa musuh feminisme di sini adalah sistem yang patriarkis dan bukan laki-laki, masih mungkinkah ada feminis yang membenci laki-laki? Jawabannya mungkin, tapi hanya apabila laki-laki tersebut brengsek dan tidak bermoral, atau mendukung (karena merasa “dimenangkan” oleh) sistem patriarkis. Laki-laki seperti ini masih mudah ditemukan; mereka yang menganggap bahwa perempuan tidak boleh bekerja, perempuan tidak perlu menempuh pendidikan terlalu tinggi karena kodratnya hanya menjadi ibu rumah tangga, perempuan yang sudah ‘berumur’ harus segera menikah, apa lagi yang percaya bahwa perempuan yang sudah menikah dan belum memiliki anak adalah aib keluarga. Pendeknya, feminis bukan membenci laki-laki, tapi mereka yang mendukung penindasan atas kelompok minoritas.
Pendeknya, feminis bukan membenci laki-laki, tapi mereka yang mendukung penindasan atas kelompok minoritas. ~ Dyna Fransisca Share on XPasalnya, sering kali perempuan menjadi korban dari pendapat dan tindakan tidak bertanggung jawab yang mendiskriminasi dan merendahkan perempuan. Menikah atau tidak menikah, memiliki anak maupun tidak memiliki anak, apa untungnya untuk kita permasalahkan? Karena itulah feminisme menuntut agar semua orang memiliki kedudukan yang sama di rumah, institusi pendidikan, dunia kerja, maupun di institusi sosio-ekonomi lainnya. Meski begitu, feminisme bukannya hanya mendukung pemberdayaan perempuan. Seperti yang sempat dibicarakan, bias dan aturan dari sistem yang patriarkis merugikan semua pihak. Karena itu, penghapusan diskriminasi terhadap laki-laki juga termasuk dalam salah satu gol yang akan terus diusung oleh feminisme.
Kalian pernah mendengar kata toxic masculinity? Menurut pandangan yang dibentuk budaya patriarkis, laki-laki tidak boleh memiliki perasaan. Oleh karena itu, laki-laki dipaksa untuk terus kuat dan tidak boleh menyuarakan perasaannya, apalagi menangis. Laki-laki pun tidak boleh mengerjakan pekerjaan seperti memasak atau membersihkan rumah atau merawat diri karena akan dinilai ‘seperti perempuan’. Karena itu, keterampilan ini jarang diajarkan ke anak laki-laki, padahal banyak dari keterampilan tersebut sebetulnya penting untuk bertahan hidup. Penghapusan toxic masculinity ini juga tentunya akan terus diperjuangkan oleh komunitas feminis agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap sesama manusia.
Jadi, masih bisakah kita anggap feminisme hanya untuk perempuan? Ini bukanlah suatu kompetisi tentang siapa yang lebih hebat dari siapa. Ini adalah sebuah perjuangan dan perjalanan panjang yang harus dilakukan secara terus-menerus dan bersama demi menghilangkan pandangan dan aturan-aturan yang merugikan, baik untuk perempuan maupun gender lainnya.
Dyna Fransisca, 24 tahun, adalah seorang lulusan Fakultas Hukum yang saat ini tengah bekerja di salah satu perusahaan swasta di Kota Samarinda. Dyna senang menulis untuk mengisi waktu luang. Beberapa topik yang Dyna gemari adalah budaya populer, perempuan, dunia psikologi dan isu sosial lainnya. Dyna bisa dihubungi lewat twitternya, @violetdusty.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini