Berkaca pada BTS: Bagaimana Jika Tak Punya Mimpi Sama Sekali?
August 10, 2021Di Tengah Pandemi, Jangan Lupa Jaga Sesama
August 24, 2021OPINI PANDEMI
Menghidupkan Kembali Budaya Gotong Royong dalam Pandemi
oleh Muhammad Zaky
“Mari kita singsingkan baju, same-same saling membahu, kerja bakti untuk kepentingan semue. Kaga liat siape kite, orang ade ape kaga. Gotong Royong biar sampe tujuannye. Nyok rame-rame, kite jage kampung kite. Jaga bersihnye juga jaga kesehatannye.” Seperti itulah potongan lirik lagu dari salah satu kartun Indonesia yang sempat mencuri perhatian saya.
Salah satu media asing, New York Times, mengabarkan bahwa Indonesia telah menjadi pusat pandemi COVID-19 baru dunia, menggantikan India dan Brasil. Fenomena ini terjadi karena proses vaksinasi yang cenderung lambat dan persebaran virus varian Delta terus meningkat. Virus varian Delta ini terbukti lebih cepat menular dibanding varian lainnya. Akibatnya, virus varian inipun memakan lebih banyak korban.
Karena itu, banyak rumah sakit kini dipenuhi oleh pasien COVID-19. Keadaan ini juga diperburuk dengan kelangkaan oksigen medis. Padahal, oksigen medis ini diperlukan oleh mereka yang terpapar virus COVID-19. Terbatasnya kapasitas fasilitas kesehatan membuat banyak pasien harus tetap melanjutkan isolasi mandiri meski setelah kondisi memburuk. Karena itu, akhir-akhir ini semakin banyak pula orang yang meninggal tidak hanya di rumah sakit, melainkan juga saat mereka isolasi mandiri.
Untungnya, kenaikan jumlah korban ini sudah disadari oleh pemerintah. Sejak tanggal 3 Juli 2021, pemerintah Indonesia memberlakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat di pulau Jawa dan Bali. Karena kebijakan ini, banyak perusahaan yang mewajibkan karyawannya untuk bekerja dari rumah dan hanya sektor-sektor tertentu yang diperbolehkan bekerja di kantor.
Namun, karena melihat penurunan jumlah kasus COVID-19 yang belum signifikan, Presiden Joko Widodo memperpanjang PPKM darurat tersebut tiap minggunya dari 21 Juli 2021 hingga saat ini. Pembatasan kegiatan ini hanya akan dilonggarkan jika ada penurunan kasus.
Regulasi ini tentu berdampak pada banyak orang. Contohnya, masyarakat yang mempunyai usaha kuliner kesulitan mendapat pelanggan dan mulai kebingungan mencari cara untuk menggaji karyawannya. Selain itu, pengusaha mal juga meminta keringanan dari pemerintah perihal pembayaran pajak dan mengharapkan adanya subsidi untuk menggaji karyawannya.
Tentunya, beban tersebut tidak hanya dirasakan oleh pengusaha kelas atas, melainkan juga oleh masyarakat dari kelas menengah ke bawah, seperti pedagang kaki lima dan buruh yang memiliki sumber penghasilan harian. Akibat pembatasan kegiatan ini, banyak dari mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan meski pemerintah telah mengeluarkan bantuan sosial.
Bantuan tersebut diberikan karena pemerintah sadar bahwa mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit. Jika pembatasan diperpanjang dan diperketat, maka akan mengakibatkan krisis ekonomi yang bisa memantik protes dari masyarakat kelas menengah ke bawah, yang akan paling merasakan dampak dari krisis ini. Sedangkan, jika pembatasan dilonggarkan, maka akan berdampak pada peningkatan jumlah kasus COVID-19. Selain banyaknya nyawa yang dipertaruhkan, hal tersebut tentu akan mempengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara lain.
Peleburan Kelas Sosial dalam Budaya Gotong Royong
Indonesia mempunyai satu budaya yang mulai ditinggalkan oleh mayoritas orang. Padahal, budaya ini sudah diajarkan pada kita sejak sekolah dasar. Budaya yang dimaksud adalah budaya gotong royong. Menurut Melani Budianta, istilah tersebut mempunyai arti memikul beban dan bekerja sama untuk mencapai hasil yang dapat dinikmati bersama. Dengan kata lain, jarak antara kelas sosial di masyarakat harus dileburkan terlebih dahulu demi tercapainya kepentingan bersama.
Untuk menghadapi COVID-19 yang sedang mewabah, diperlukan semangat gotong royong antara pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat terlepas dari kelas sosialnya. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah sebagai pemimpin yang dipilih oleh masyarakat harus bisa lebih dekat dengan warganya. Misalnya, dengan melakukan pendekatan seperti yang mereka lakukan pada masa pemilihan presiden atau pemilihan legislatif.
Selain itu, pemerintah juga harus segera membuat peraturan yang efektif dan tegas untuk melindungi seluruh masyarakat dari paparan virus COVID-19, bukannya malah menyalahgunakan kekuasaannya untuk melindungi diri dan kelompok tertentu dari virus tersebut .
Setelah pemerintah mengeluarkan regulasi yang tegas dan efektif yang berdasarkan kesehatan bukan ekonomi, seluruh lapisan masyarakat harus patuh dan saling membantu agar jumlah kasus COVID-19 di Indonesia menurun. Misalnya, alangkah lebih bijak jika masyarakat yang berkecukupan mengurangi aktivitas yang tidak terlalu diperlukan, seperti jalan-jalan atau bahkan berburu vaksin ke luar negeri.
Selain itu, masyarakat yang memiliki kelebihan finansial pun bisa mengadakan gerakan untuk membantu mereka yang kondisi ekonominya sulit, apalagi di masa pandemi ini. Mereka yang lebih beruntung harus bisa berempati dan tinggalkan sementara kenyamanan status sosial tinggi dan turut membantu masyarakat sekitarnya.
Hal ini bisa dilakukan melalui gerakan-gerakan menyediakan makanan untuk pasien isoman (isolasi mandiri) seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang di Jogja. Atau bisa juga melalui bantuan untuk anak-anak yang kehilangan orang tuanya seperti yang diumumkan billboard ini. Selain itu, ada inisiatif masyarakat yang membuat wadah di ruang digital agar masyarakat bisa membantu sesama seperti kawalmasadepan.com, kampanye-kampanye di kitabisa.com juga gerakan @bagi.rata dan @sama2makan.
Dengan kolaborasi antar pemerintah dan masyarakat yang membantu sesama warga, maka mobilitas masyarakat tentu akan berkurang karena mereka tidak perlu keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papannya.
Dengan begitu, kasus COVID-19 di Indonesia pun akan menurun. Hal itu tentu akan berdampak juga pada kondisi rumah sakit, ketersediaan alat bantu medis, dan terciptanya lingkungan yang aman bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Untuk menghadapi COVID-19 yang sedang mewabah, diperlukan semangat gotong royong antara pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat terlepas dari kelas sosialnya. ~Muhammad Zaky Share on XDi Satu Kapal yang Memiliki Satu Bendera
Terdapat puisi yang cukup viral saat awal pandemi COVID-19 yang berjudul “We are not in the Same Boat (Kita Tidak Berada di Kapal yang Sama)”. Puisi tersebut menceritakan tentang perbedaan kondisi setiap keluarga saat pandemi.
Sebagian keluarga menganggap momen karantina ini sebagai momen refleksi dalam suasana yang damai. Berkat karantina ini, mereka dapat beristirahat dan berkumpul kembali bersama keluarga sambil menikmati makanan yang hangat dan terjamin persediaannya.
Sementara itu, bagi keluarga yang lain, momen ini menjadi momen krisis, khususnya dalam segi keuangan. Suasana ini pun membuat keluarga-keluarga yang terdampak tersebut putus asa.
Melalui puisi ini, kita bisa melihat bagaimana COVID-19 berdampak pada kelompok masyarakat yang berbeda. Mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas masih bisa menikmati kenyamanannya. Sementara, mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah harus berjuang lebih agar bisa memenuhi kebutuhannya.
Namun, perlu disadari bahwa kita tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Demi melawan pandemi, kita perlu menghidupkan kembali budaya gotong royong yang digagas oleh Soekarno. Idealnya, dengan menerapkan gagasan Soekarno ini, kita tidak lagi berlayar sendiri-sendiri dengan kapal yang berbeda-beda. Melainkan dengan satu kapal yang sama di bawah satu bendera. Untuk bisa selamat dari badai, kita harus kompak, saling bahu-membahu, terbuka, dan saling percaya.
Penerapan komunisme model baru inilah yang dimaksud oleh Slavoj Zizek, seorang filsuf asal Slovenia, dalam bukunya yang berjudul Pandemic!: Covid-19 Shakes the World. Menurutnya, ideologi tersebut dapat mencegah permasalahan sosial yang terjadi karena pandemi COVID-19.
Perlu disadari bahwa kita tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Demi melawan pandemi, kita perlu menghidupkan kembali budaya gotong royong yang digagas oleh Soekarno. ~Muhammad Zaky Share on XCaranya adalah dengan meleburkan terlebih dahulu jarak antara kelas sosial yang ada. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kecenderungan untuk terpecah dan melindungi diri sendiri. Setelah itu, masyarakat pun bisa mengaplikasikan semangat bergotong royong untuk membantu sesama.
Karena itu, masyarakat dan pemerintah harus kompak, saling bahu-membahu, terbuka, dan saling percaya untuk bisa melalui badai ini. Dengan begitu, suatu hari nanti masyarakat Indonesia pun bisa keluar dari masa krisis ini.
Muhammad Zaky, pernah menempuh studi di Universitas Indonesia, peminatan Cultural Studies (Kajian Budaya).
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini