Kekuasaan dan Intrik Politik ‘Raja Jawa’ dalam Arus Demokrasi Indonesia
August 31, 2024Jalan Keluar Perempuan dan Orang Hamil dari Norma Aborsi Berkelit
September 24, 2024Photo by Dominik Vanyi on Unsplash
OPINI
Di Balik Gempita Hilirisasi Nikel
oleh Adriansyah Dhani Darmawan
Hawa panas menyelimuti ruangan pabrik. Tepat di tengah ruangan, dua tungku berukuran besar dengan semburan api sedang sibuk melebur dan mengolah bijih nikel. Lelehan bijih nikel lalu masuk pada proses selanjutnya, bolak-balik dari satu mesin ke mesin yang lain, hingga kemudian terbentuklah gulungan baja hitam sebagai produk akhir.
Di luar pabrik, truk pengangkut hilir mudik membawa gulungan baja hitam menuju pelabuhan. Pada saat yang hampir bersamaan, kapal tongkang bersiap merapat ke dermaga untuk bongkar muat gundukan tanah yang mengandung materi nikel di dalamnya. Semua aktivitas itu terjadi di satu tempat yang sama, di jantung kebijakan hilirisasi nikel di wilayah timur Indonesia, tepatnya di Kawasan Industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Kawasan Industri IMIP adalah salah satu dari beberapa sentral pengolahan nikel yang mulai tumbuh dan tersebar di Pulau Sulawesi.
Tumbuhnya kawasan industri tersebut tak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, faktor kekayaan sumber daya alam Indonesia yang menyimpan cadangan nikel terbesar di dunia dengan total simpanan 42,3% dari keseluruhan cadangan nikel secara global. Dari sisi produksi, Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) mencatat besaran produksi nikel di Indonesia mencapai 1,8 juta metrik ton pada tahun 2023. Angka itu mengindikasikan bahwa Indonesia berkontribusi sebesar 50% dari total produksi nikel dunia. Peran nikel dalam perekonomian internasional di berbagai sektor memang cukup penting, mulai dari industri manufaktur, transportasi, ketahanan militer, hingga farmasi dan kesehatan. Faktor kedua didorong oleh keputusan politis pemerintah Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel mentah dan menggiatkan agenda hilirisasi nikel – sebuah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi nikel dari bahan mentah (raw material) menjadi bahan setengah jadi dan produk jadi.
Dari hitungan makro, kebijakan tersebut menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan bahwa nilai ekspor produk nikel hasil hilirisasi mampu mencapai USD33,81 miliar atau setara Rp504,2 triliun pada tahun 2022. Nilai itu memperlihatkan lonjakan tajam yang jauh lebih besar sejumlah 745% dibandingkan ekspor bahan mentah bijih nikel di tahun 2017. Selain itu, nilai investasi yang menggerakkan sektor ini juga mengalami peningkatan tajam, yaitu mencapai Rp171,2 triliun atau tiga kali lipat dibandingkan tahun 2019 yang hanya sebesar Rp61,9 triliun. Apabila melihat angka-angka itu, kita tak bisa menutup mata terhadap klaim pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari kebijakan hilirisasi nikel.
Meredupkan Sektor Lain
Sayangnya, angka-angka pertumbuhan tersebut tak dirasakan oleh masyarakat sekitar. Persentase kemiskinan di Kabupaten Morowali masih berada di angka 12,31% per tahun 2023. Memang ada penurunan sebesar 0,27% apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, hal itu tetap menunjukkan bahwa kontribusi hilirisasi nikel belum berdampak signifikan pada tingkat kesejahteraan penduduknya. Salah satu persoalannya terletak pada sumber investasi yang berasal dari asing, sehingga hampir 95% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Morowali melesat ke luar daerah tanpa bisa dimanfaatkan secara optimal untuk pembangunan daerah.
Di samping isu lingkungan yang sudah santer disuarakan, hilirisasi nikel juga membawa dampak berupa perubahan kondisi sosial-ekonomi yang cukup drastis di Morowali. Sebelum industri itu mendominasi di hampir semua sudut, Morowali digerakkan oleh sektor agrikultur dan perikanan. Sayangnya, sektor itu mulai meredup karena berkurangnya lahan produktif pertanian akibat alih fungsi lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan industri dan galian pertambangan. Hal serupa juga terjadi pada sektor perikanan yang terdampak akibat pencemaran air laut dari aktivitas pertambangan logam serta lalu-lalang kapal tongkang. Kondisi itu berbanding terbalik dengan sektor industri pengolahan yang terus menggurita.
Tabel di bawah ini memperlihatkan kontribusi masing-masing sektor usaha terhadap PDRB Kabupaten Morowali dari tahun ke tahun. Terlihat jelas bahwa industri pengolahan berkontribusi paling signifikan terhadap PDRB dibandingkan sektor pertanian maupun pertambangan dan penggalian.
Persentase Kontribusi Usaha terhadap PDRB
Lapangan Usaha | 2019 | 2020 | 2021 | 2022 | 2023 |
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan | 4,55 | 3,26 | 2,17 | 1,60 | 1,55 |
Pertambangan dan Penggalian | 18,29 | 18,28 | 18,61 | 17,25 | 17,79 |
Industri Pengolahan | 64,86 | 69,80 | 71,13 | 73,25 | 72,72 |
Sumber: BPS Kabupaten Morowali (2024)
Jika skema bisnis itu terus dipertahankan, berdasarkan studi yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (Celios), akan ada potensi kerugian ekonomi yang menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan hingga Rp3,64 triliun dalam 15 tahun mendatang. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk menyusun peta jalan pembangunan industri yang komprehensif. Ketergantungan ekonomi di sektor industri nikel tanpa disertai dengan upaya mendiversifikasi lapangan usaha lain akan berdampak buruk pada pembangunan daerah dalam jangka panjang.
Keberlanjutan Hilirisasi
Sangat disayangkan jika lonjakan keuntungan ekonomi dari praktik hilirisasi tidak bisa menjadi daya ungkit kesejahteraan bagi masyarakat daerah. Maka, praktik bisnis ini perlu dikelola secara tepat untuk benar-benar menghadirkan efek berganda yang bisa dirasakan oleh semua lapis pemangku kepentingan.
Setidaknya, ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan. Pertama, pemerintah perlu memberikan dukungan kebijakan untuk memajukan sektor usaha agrikultur dan perikanan dengan cara memastikan ketersediaan lahan produktif yang berpedoman pada rencana tata ruang dan wilayah. Selain itu, pemerintah harus mendorong tata kelola hilirisasi yang bisa memaksa perusahaan memperhatikan aspek lingkungan untuk tidak mencemari dan mengganggu aktivitas sektor usaha lain.
Kedua, perlu ada rumusan kebijakan terkait peningkatan dana bagi hasil dan skema kontribusi dari kegiatan hilirisasi nikel – baik dari aktivitas pertambangan maupun pengolahan di smelter – kepada daerah. Sumber daya ini penting agar pemerintah daerah memiliki keleluasaan anggaran untuk melaksanakan agenda pembangunan yang berkontribusi pada kehidupan masyarakat.
Sangat disayangkan jika lonjakan keuntungan ekonomi dari praktik hilirisasi nikel tidak bisa menjadi daya ungkit kesejahteraan bagi masyarakat daerah. ~ Adriansyah Dhani Darmawan Share on XKetiga, keterlibatan industri kecil dan menengah (IKM) juga perlu didorong. Sejauh ini, hilirisasi nikel belum melibatkan IKM sebagai bagian dari rantai nilai ataupun industri pendukung. Langkah ini bisa dimulai karena beberapa IKM di Morowali juga bergerak di bidang usaha pembuatan logam dasar. Selain itu, IKM lain yang fokus usahanya sedikit berbeda juga dapat berperan sebagai industri pendukung, misalnya adalah IKM industri kapal dan perahu.
Dengan tiga pertimbangan itu, perputaran ekonomi melalui hilirisasi nikel diharapkan dapat dirasakan oleh masyarakat setempat secara lebih bermakna. Hal-hal tersebut adalah sedikit upaya untuk memastikan agar gempita hilirisasi bisa dinikmati secara inklusif dan tidak hanya menguntungkan elit serta industri besar lainnya.
Adriansyah Dhani Darmawan adalah peneliti di Centre for Innovation, Policy and Governance (CIPG)
Artikel Terkait
Memahami Krisis Lingkungan dari Lensa Feminist Political Ecology
Lensa FPE bisa menjadi jendela dan jembatan yang dapat kita gunakan untuk melihat persoalan lingkungan secara lebih kompleks dan tidak sederhana dengan menempatkan gender sebagai sumbu kritis dan variable politis.Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
Widya Setiabudi sudah lama bekerja di bidang humanitarian dan kebencanaan. Di Catatan Pinggir ini, Widya menuliskan pentingnya pembangunan yang layak dan pengelolaan risiko bencana atas dampak dari pembangunan itu sendiri.Kapitalisme dan Kerusakan Lingkungan: Ironi Pembangunan yang Berkelanjutan
Kapitalisme disebut sebagai alasan besar rusaknya lingkungan. Artikel ini membahas apa yang sebetulnya terjadi dalam sistem yang dianggap mendorong produktivitas dan pertumbuhan tersebut. Bisakah kita punya ekonomi yang maju tanpa mengorbankan bumi?