Bagaikan Lagu “Rocker Juga Manusia”, Narapidana Juga Manusia
December 21, 2021Degrowth sebagai Pra-syarat Alternatif Pembangunan
January 12, 2022OPINI
Tren Ikoy-ikoyan sebagai Produk Budaya
oleh Endah Yusma Pratiwi
Produk budaya yang dihasilkan oleh figur publik ditawarkan kepada warganet, kemudian warganet menyerap budaya tersebut atas kendali media. Hal ini berarti institusi media telah mengungkapkan kekuasaan mereka menjadi produsen dan pembentuk budaya.
Perkembangan teknologi saat ini terbukti memperluas ruang gerak masyarakat. Masyarakat bisa memproduksi budaya menggunakan media sosial yang nantinya dinikmati banyak orang dan bahkan bersaing dengan industri kepemilikan modal. Siapapun yang mempunyai modal, baik modal sosial, modal ekonomi, modal budaya, maupun modal lainnya, bisa mengendalikan media.
Siapapun yang mempunyai modal, baik modal sosial, modal ekonomi, modal budaya, maupun modal lainnya, bisa mengendalikan media. ~Endah Yusma Pratiwi Share on XMedia yang saat ini banyak diminati oleh masyarakat salah satunya adalah Instagram. Dikutip dari statista.com, jumlah pengguna Instagram di Indonesia hingga Juli 2021 sebesar 91,77 juta. Pengguna terbesar terdapat di kelompok usia 18 – 24 tahun yaitu 36,4%. Instagram berada di urutan ketiga sebagai platform media sosial yang paling sering digunakan, setelah YouTube dan WhatsApp.
Instagram masuk ke dalam kategori media baru (new media). Ron Rice, dikutip dari tulisan Setiawan yang berjudul ‘Kekuatan New Media dalam Membentuk Budaya Populer di Indonesia: Studi Tentang Menjadi Artis Dadakan dalam Mengunggah Video Musik di Youtube,’ mendefinisikan media baru sebagai teknologi komunikasi yang melibatkan komputer di dalamnya yang memfasilitasi penggunanya untuk berinteraksi antar sesama pengguna ataupun dengan informasi yang diinginkannya. Setelah zaman lebih canggih, saat ini warganet tidak hanya bisa memainkan media baru dengan komputer tetapi juga dengan telepon seluler. Instagram sebagai media baru memberikan keleluasaan bagi pengguna untuk menampilkan nilai kebudayaan.
Instagram sebagai media baru memberikan keleluasaan bagi pengguna untuk menampilkan nilai kebudayaan. ~Endah Yusma Pratiwi Share on XBeberapa waktu lalu, hal yang santer terdengar adalah tren berbagi yang terkenal dengan istilah ikoy-ikoyan. Tren ikoy-ikoyan merupakan tren berbagi melalui Instagram yang dipelopori oleh Arief Muhammad, seorang influencer ternama di Indonesia. Tren ini ramai diperbincangkan sekitar bulan Agustus 2021, namun demikian Arief Muhammad mengaku bahwa sebelumnya ia sudah sering berbagi makanan kepada pengikut Instagram. Berdasarkan keterangannya di media sosial, ia tidak dengan sengaja membuat tren. Ia hanya ingin berbagi dengan pengikut Instagram yang beruntung sebagai bentuk keseruan yang mulanya tanpa persyaratan apapun. Barang-barang yang diberikan berupa uang, telepon seluler, dan ada barang lain sesuai kebutuhan pengikut Instagram yang beruntung.
Arief Muhammad bisa dikatakan sebagai pelopor tren ikoy-ikoyan. Ada beberapa figur publik yang terinspirasi cara berbagi ini. Sebagai contoh, figur publik yang mengikuti tren ikoy-ikoyan adalah Putra Siregar dan Atta Halilintar. Sementara itu, ada sejumlah figur publik yang terang-terangan tidak akan mengikuti tren tersebut, seperti Nana Mirdad dan Chelsea Olivia. Mereka berpendapat bahwa tren ikoy-ikoyan dapat membentuk mental peminta-minta bagi warganet karena ada yang memaksa idolanya untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Arief Muhammad.
Ikoy-ikoyan adalah istilah yang cukup unik. Ikoy adalah panggilan nama asisten Arief Muhammad yang bernama asli M. Rizqi Fadhillah. Karenanya, setiap kali ada komentar Instagram yang dipilih untuk dibelikan barang, ia meminta Ikoy untuk menyalurkan sejumlah barang tersebut. Putra Siregar dan Atta Halilintar sebagai orang yang terinspirasi tren ini tidak seperti Arief Muhammad yang menggunakan nama asisten untuk menamai tren berbagi, melainkan menggunakan nama lain. Putra Siregar menggunakan istilah hoki-hoki, sedangkan Atta Halilintar menggunakan istilah amal-amal.
Dalam perspektif industri budaya, menurut Sunarti dikutip dalam sebuah eJournal Ilmu Komunikasi yang ditulis oleh Setiawan, “budaya populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media.” Produk budaya yang dihasilkan oleh figur publik ditawarkan kepada warganet, kemudian warganet menyerap budaya tersebut atas kendali media. Hal ini berarti institusi media telah mengungkapkan kekuasaan mereka menjadi produsen dan pembentuk budaya.
Tren ikoy-ikoyan pada awalnya memberikan barang secara cuma-cuma, tetapi semakin lama mulai berkembang dengan mensyaratkan beberapa hal. Persyaratan tersebut berupa mengikuti atau follow sejumlah akun instagram tertentu, yang biasanya masih dalam satu manajemen usaha. Contohnya, Putra Siregar mensyaratkan pengikut Instagram untuk mengikuti akun Pstore yang merupakan akun untuk penjualan telepon seluler, supaya bisa mengikuti permainan hoki-hoki. Selain itu, berkembang pula kerja sama dengan brand tertentu yang tentu akan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Jika melihat aturan main yang seperti ini, sepertinya tidak jauh berbeda dengan tren giveaway yang marak beberapa tahun terakhir atau semacam adaptasi dari tren giveaway. Jika giveaway biasanya meminta pengikut untuk berkomentar dan menandai temannya, ikoy-ikoyan ini lebih kepada komodifikasi keadaan ekonomi warganet. Warganet diberikan ruang untuk menuliskan kebutuhannya sehingga mereka tidak segan meminta uang untuk membeli telepon seluler, susu, bahkan ada pula yang meminta uang untuk disumbangkan lagi ke tetangga yang membutuhkan.
Baik giveaway maupun ikoy-ikoyan memiliki esensi yang sama, yaitu sama-sama berbagi dengan syarat tertentu, dan cara ini sudah dilakukan baik oleh Putra Siregar maupun Atta Halilintar sebelumnya sebagai salah satu trik pemasaran. Dari sini sebenarnya ada relasi take dan give antara figur publik dan pengikut Instagram. Figur publik membutuhkan pengikut Instagram dan pengikut membutuhkan give berupa barang yang diinginkan misalnya uang atau telepon seluler.
Memberikan sejumlah barang dengan syarat tertentu dan berbagi tanpa syarat sebenarnya memiliki sedikit persamaan. Keduanya sama-sama mentransfer barang. Namun demikian, jika dilihat dari sisi bisnis tentu berbeda. Tren Ikoy-ikoyan yang berkembang, yang mensyaratkan follow sejumlah akun tertentu milik figur publik atau bahkan kerjasama brand akan berpengaruh terhadap meningkatnya pengikut Instagram akun tersebut. Banyaknya jumlah pengikut Instagram pada akun figur publik bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan endorsement. Berbeda lagi jika yang naik pengikut Instagramnya adalah brand, maka akan memunculkan citra positif dari produk yang dihasilkan, dengan anggapan bahwa semakin banyak pengikut Instagram maka produk tersebut semakin diminati dan akan menarik minat warganet lain. Artinya, dalam hal ini, media berkesempatan memproduksi citra yang ditampilkan ke publik dan kemudian dinikmati publik dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Hal ini sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Setiawan, bahwa apapun yang diproduksi oleh suatu media akan diterima oleh publik sebagai suatu nilai. Dalam hal ini nilai kebudayaan. Kekuatan media dalam mengkonstruksi realitas media, yaitu sebuah realitas yang dikonstruksi berdasarkan sistem yang direkayasa oleh media tersebut dengan tujuan salah satunya adalah meraih keuntungan finansial dari publik yang mengkonsumsi semua jenis komoditi yang ditawarkan.
Dalam konteks ikoy-ikoyan yang mensyaratkan follow akun tertentu, keuntungan finansial tidak datang secara langsung, melainkan secara tidak langsung melalui kenaikan pengikut Instagram yang dapat menarik minat publik untuk membeli produk atau memberi proyek endorsement. Berbeda dengan media televisi, menampilkan musik dangdut di media, dinikmati publik, dan keuntungan finansial diperoleh dari semakin banyaknya penonton.
Di lihat dari kaca mata berbeda, tren ikoy-ikoyan banyak menginspirasi pembuat budaya yang berkuasa sekaligus terselip nilai sosial karena membantu warganet, terlepas yang dibantu memang benar-benar membutuhkan atau tidak. Di sisi lain, ada kekhawatiran jika tren Ikoy-ikoyan dapat menumbuhkan mental peminta-minta seperti yang disampaikan oleh Nana Mirdad dan Chelsea Olivia.
Tidak mengapa warganet meninggalkan komentar pada konten yang menawarkan ikoy-ikoyan, karena memang itu aturan main. Kekhawatirannya adalah bahwa warganet membawa kebiasaan tersebut bukan pada tempatnya, misalnya meminta-minta barang tertentu dengan menjual ekonomi yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya kepada figur publik yang tidak menawarkan ikoy-ikoyan. Hal-hal semacam inilah yang perlu disikapi dengan cara menegaskan melalui story Instagram atau caption feed Instagram bahwa figur publik tersebut tidak mengikuti tren ikoy-ikoyan. Dengan demikian akan diketahui siapa figur publik yang tidak membuka peluang warganet untuk berkomentar menyampaikan kebutuhannya, bahkan terganggu dengan komentar-komentar tersebut.
Endah Yusma Pratiwi bekerja sebagai asisten peneliti lapangan lepas baik penelitian kualitatif maupun kuantitatif. Ada beberapa lembaga penelitian yang pernah diikuti di antaranya adalah PSKK UGM, The Smeru Institute, Dian Interfidei, dan Regional Economic Development Institute.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @endahyusmap.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini