‘Kabinet Besar’ Prabowo, Akankah Ulangi Kegagalan ‘Kabinet 100 Menteri’ Sukarno?
October 21, 2024Vasektomi, Otonomi Tubuh Laki-laki, dan Pemberontakan Maskulinitas
November 1, 2024Photo by Gramedia
RESENSI BUKU
Merenungkan Jejak Leluhur melalui Dunia Hewan
oleh Kukuh Basuki Rahmat
Manusia seringkali dinarasikan sebagai makhluk paling sempurna dan dianggap sebagai satu-satunya penguasa di bumi. Kecerdasan yang tinggi dan keagungan moral menjadi legitimasi klaim antroposentris (anggapan kalau manusia adalah ciptaan paling sempurna) tersebut. Tokoh agama, filsafat, dan para saintis beramai-ramai menjustifikasi klaim keunggulan manusia dengan argumen-argumen yang tampak masuk akal dan meyakinkan.
Ironisnya, manusia juga terjebak dalam berbagai peristiwa kejam yang tidak ada tandingannya di dunia hewan manapun. Pengeboman, peperangan, perbudakan dan terorisme terus mewarnai kehidupan, setidaknya dalam satu milenium terakhir. Manusia juga terus mengubah wajah dunia dengan melakukan perusakan alam, pencemaran lingkungan, dan pemusnahan berbagai jenis hewan yang berujung pada kepunahan spesies. Tragedi kemanusiaan itu membuat klaim keunggulan manusia menjadi ambigu dan dipertanyakan.
Dalam buku Shadows of Forgotten Ancestors, astronom Carl Sagan bersama istrinya, Ann Druyan, mengajak kita untuk kembali mempertanyakan ulang statemen-statemen antroposentris yang sudah terlalu lama menjadi standar kepongahan manusia. Dalam buku ini, kita diajak menelusuri dunia hewan untuk mencari jejak-jejak sifat leluhur. Penelusuran itu diharapkan dapat meredam keangkuhan kita sebagai manusia, selanjutnya membuat kita dapat mengakui semua kekurangan kita, lalu berusaha untuk memperbaikinya.
Biologi Evolusi
Sifat-sifat manusia warisan leluhur juga dimiliki oleh beberapa hewan. Penelusuran akan hal itu dimulai ketika ilmuwan Charles Darwin mengajukan teori evolusinya dalam buku On the Origin of the Species pada 1800-an. Pengumpulan dan klasifikasi bukti diawali ketika Darwin ikut melancong bersama kapal Beagle ke Kepulauan Galapagos di Samudera Pasifik. Di sanalah, titik awal rumusan teori yang membuat biologi benar-benar memisahkan diri dari mitologi, filsafat dan agama mulai dipertanyakan. Manusia bukan lagi menjadi satu-satunya ciptaan istimewa yang berdiri sendiri, melainkan masuk kingdom (kerajaan) hewan, filum vertebrata, kelas mamalia, ordo primata, famili Hominidae, genus Homo, dan spesies Homo Sapiens.
Hewan juga mempunyai kesadaran, bahasa, dan budaya. Ini menantang kepongahan manusia yang selama ini digambarkan sebagai satu-satunya makhluk paling agung dan berkuasa di muka bumi. ~ Kukuh Basuki Rahmat Share on XPenelitian Darwin yang sangat kontroversial dan memancing berbagai polemik pada masanya itu baru bisa dijustifikasi secara meyakinkan seiring lahirnya ilmu mikrobiologi pada satu abad kemudian, yaitu ketika ilmuwan James Watson dan Francis Crick menemukan gen di tahun 1950. Temuan keduanya menunjukkan bahwa struktur gen manusia hanya memiliki perbedaan sebesar 1,7% dengan simpanse, 1,8% dengan gorila, 3,3% dengan orang utan, 4,3% dengan owa, dan 7% dengan monyet resus. Artinya, 98,3 gen manusia dan simpanse sangat mirip. Bahkan, jika mengesampingkan gen-gen yang tidak berfungsi, tingkat kemiripannya naik menjadi 99,6%. Oleh sebab itu, sangat masuk akal jika banyak kesamaan fisiologis, sifat, bahkan potensi kognitif antara manusia dengan simpanse.
Perilaku Hewan
Dalam buku Shadows of Forgotten Ancestors ini, Sagan memberikan bukti yang melimpah mengenai perilaku-perilaku di dunia hewan yang jika direnungkan kembali akan sangat familiar dengan sifat manusia. Dengan mengutip berbagai penelitian ilmiah yang pernah dikemukakan oleh ahli biologi, fisiologi, psikologi hewan, ornitologi, dan ekologi perilaku, Sagan dan Druyan mengajak kita untuk menyadari bahwa dorongan-dorongan hewani yang bersemayam di dalam diri kita mungkin dapat bangkit sewaktu-waktu. Namun, menurut mereka, sifat-sifat itu bisa jadi juga telah terhapus, seiring manusia mengalami proses pendidikan, pelatihan, dan terpapar pengaruh budaya yang beragam.
Salah satu sifat paling sederhana dimiliki oleh semua makhluk hidup adalah altruisme, yaitu naluri untuk mengutamakan kepentingan orang lain ketimbang diri sendiri. Perilaku altruisme sangatlah kontradiktif dengan sifat dasar gen organisme hidup yang menurut ahli bilogi evolusioner, Richard Dawkins, dikenal sangat egois, buta akan tujuan, dan kompetitif. Artinya, Dawkins ingin mengatakan bahwa untuk bisa bertahan hidup, gen harus berkompetisi dengan gen lainnya yang berbeda, entah itu dengan saling memakan atau saling mendominasi.
Namun, dalam tingkatan tertentu, perilaku egois itu ternyata tidak selalu efektif. Beberapa organisme rupanya menemukan ‘cara baru’ untuk hidup, yaitu dengan mengorbankan dirinya demi menyelamatkan kelompoknya. Cara itu dinilai lebih bisa membuat mereka bertahan dari seleksi alam dan melanjutkan replikasi genetiknya dalam perjalanan panjang proses evolusi. Itulah sebabnya, sifat altruisme menyebar ke berbagai spesies, bahkan menjangkiti antar-spesies yang kemudian menciptakan hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan).
Selain itu, konsep hierarki yang sangat khas dengan kehidupan manusia ternyata juga dapat kita temui di dunia hewan. Mungkin, kita akan langsung mengingat contoh kehidupan semut dan lebah yang memang secara genetik mempunyai strata secara alami, ditunjukkan melalui adanya ratu dan pekerja. Namun, di spesies lain, seperti kera dan monyet, hierarki justru dibentuk dalam kehidupan dengan cara menggertak dan bertarung. Pemenangnya akan menjadi pejantan alfa yang bisa menguasai daerah tertentu dan mendapatkan bagian terbesar dalam hal makanan, akses seksual, serta penghormatan dari kera dan monyet lainnya. Hierarki itu dibentuk untuk memuluskan kehidupan sehari-hari dengan lebih teratur.
Akan tetapi, kehidupan hewan tidak selalu ‘seindah’ itu. Banyak perilaku yang menurut standar kita sebagai manusia adalah amoral, sadis, dan kejam, justru muncul di dunia binatang. Ada banyak hal yang memengaruhi hal itu, baik karena sifat dasar binatang di suatu habitat alami atau ketika habitat binatang diubah, misalnya ketika binatang dijadikan bahan eksperimen di laboratorium dan kebun binatang.
Contohnya, tikus akan berubah menjadi brutal dan saling membunuh ketika populasi besar mereka dijejal-jejalkan dalam tempat yang sempit, sekalipun makanan yang tersedia melimpah ruah. Hal yang sama juga akan terjadi pada simpanse yang tidak saling mengenal dan belum membentuk hierarki yang jelas. Apabila mereka dipaksa disatukan dalam sebuah kandang, mereka akan saling menyerang, berebut betina, dan saling membunuh.
Primata dan manusia
Dari berbagai penelitian tentang hewan, Sagan memberi banyak porsi pada kera, monyet, owa, orangutan, gorila, bonobo, dan simpanse. Hal itu dikarenakan dekatnya silsilah kekerabatan manusia dengan ordo primata, sehingga diharapkan akan banyak pengetahuan berharga yang bisa kita himpun.
Contohnya, simpanse mengenal beberapa tanaman obat-obatan. Mereka juga bisa menggunakan alat berupa batu untuk memecah kulit buah yang keras. Beberapa kera juga bisa mencuci ubi yang ditaruh di pasir sebelum dimakan. Simpanse yang diteliti oleh psikolog Wolfgang Kohler bahkan bisa menggunakan tongkat dan kotak pijakan untuk meraih pisang dalam waktu belajar yang relatif singkat. Selain itu, di alam liar, simpanse juga bisa menciptakan alat dari dahan pohon untuk memancing rayap. Mereka juga punya wawasan soal bagaimana cara menggunakan alat itu secara efektif. Beberapa simpanse yang diajari bahasa isyarat bahkan bisa merangkai kata dengan baik dan konsisten.
Hal-hal di atas membuktikan bahwa hewan juga mempunyai kesadaran, bahasa, dan budaya, setidaknya dalam tingkat mendasar. Aspek-aspek yang banyak para filsuf dan ilmuwan terdahulu anggap hanya dimiliki secara eksklusif oleh manusia, rupanya bersemayam pula pada kehidupan hewan. Sekali lagi, hal itu seolah menantang kepongahan manusia yang selama ini digambarkan sebagai satu-satunya makhluk paling agung dan berkuasa di muka bumi.
Kukuh Basuki Rahmat adalah alumnus Magister Psikologi UGM dengan fokus penelitian psikologi perkembangan dan seksualitas. Sekarang bekerja sebagai editor di omong-omong.com dan aktif di komunitas Radio Buku.
Artikel Terkait
Bagaimana konservasi satwa langka sebaiknya dipahami
Konservasi keanekaragaman hayati merupakan bagian penting dalam hidup Sabhrina Gita Aninta, pendiri Tambora Muda Indonesia, jaringan konservasionis muda Indonesia. Di Catatan Pinggir ini, Sabhrina berbagi tentang pentingnya kepedulian dan pemahaman kita tentang konservasi. Yuk, baca!Nenek moyangku adalah masyarakat tangguh: Kearifan Lokal dalam adaptasi perubahan iklim
Sebagai orang Indonesia yang berasal dari kantong budaya, suku, ras, dan agama yang campur aduk – tidak asing kita mendengar istilah kearifan lokal. Entah saat membicarakan ritual yang sering kita lakukan dalam keseharian, atau saat mendengar hikayat nenek moyang kita yang masih di elu-elukan dalam setiap acara adat. Apa sebenarnya kita sudah paham arti kearifan lokal?Mengarusutamakan konservasi multispesies di Indonesia
Artikel blog ini kami terbitkan tidak hanya untuk menyambut edisi Lingkungan Anotasi yang akan segera terbit di akhir bulan Maret 2021, tapi juga sebagai penanda komitmen Anotasi terhadap krisis alam dan emergensi iklim (climate emergency). Semoga kita semakin sadar pentingnya menjaga lingkungan dan melindungi semua mahluk hidup.