Matinya Cendekiawan Kampus
July 18, 2020Dinding Pembatas itu Bernama ‘Warna Kulit’
September 2, 2020
OPINI
Kata Siapa Kerja di Luar Negeri itu Gampang?
oleh Di Saf
Dulu aku sempat bercita-cita untuk bekerja di luar negeri, paling nggak di Singapura, deh. Dalam pikiranku dulu, kalau kerja di negara maju pasti gajiku lebih besar dan hidup akan lebih nyaman. Aku tidak menyangka kalau yang dulu sekedar mimpi ternyata sekarang jadi kenyataan. Rencanaku yang awalnya hanya untuk menuntut ilmu sekolah S2 di Inggris ternyata berlanjut sampai sekarang.
Tahun ini adalah tahun kedua aku tinggal di Inggris. Di tahun pertama, aku di sini dengan visa pelajar. Tahun ini, aku resmi transfer ke visa pekerja. Sudah enam bulan aku bekerja sebagai koordinator komunikasi digital untuk salah satu non-governmental organization internasional (INGO) yang berkantor pusat di London. Sebelum pindah ke Inggris aku juga sempat bekerja selama lebih dari dua tahun di salah satu start-up unicorn di Jakarta.
Pekerjaanku di Jakarta dan London sebenarnya lumayan mirip, sama-sama banyak menulisnya. Tapi, juga ada beberapa perbedaan mencolok yang aku rasakan saat bekerja di sini. Hal-hal ini juga yang menurutku penting untuk dipertimbangkan bagi kalian yang bercita-cita kerja di luar negeri.
Perbedaan yang pertama adalah bahasa.
Kalau di Jakarta, sehari-hari kerja pakai Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris campur seperti anak Jaksel pada umumnya (meskipun kantornya di Jakbar, sih) tapi di sini harus full Bahasa Inggris, British-English pula.
Aku merasa nyaris mustahil bahasa Inggrisku untuk jadi sesempurna para native speaker karena semahir-mahirnya aku berbahasa Inggris, bahasa ibuku tetap bahasa Indonesia.
Karena itu, mau tak mau aku jadi sering was-was, “grammar-ku udah perfect belum ya?” “Ini salah nggak ya ejaannya?” “Duh ini tuh past tense atau past perfect tense ya enaknya?” “Ini tuh istilah American-English atau British-English ya?”.
Meskipun sejauh ini kejadian paling fatal cuma typo di satu tweet (semoga jangan sampai kejadian lebih parah lagi) tapi karena perbedaan bahasa ini rasanya setiap hari otakku harus bekerja dua kali lipat.
Yang kedua adalah gaji.
Banyak banget orang yang berpikir karena gajiku sekarang poundsterling berarti aku otomatis langsung jadi kaya raya. Salah besar! London itu salah satu kota termahal di dunia, sepiring nasi uduk saja harganya bisa 200 ribuan rupiah.
Standar gaji di Inggris juga lebih rendah jika dibandingkan dengan negara maju lainnya seperti Amerika Serikat. Belum lagi harga sewa apartemen yang mahal dan aku juga harus kirim uang bulanan ke orang tua sebagai token anak berbakti.
Jadi gajiku memang besar kalau ditukar ke rupiah tapi untuk standar biaya hidup di sini ya biasa saja lah. Cukup untuk makan dan hidup sehari-hari plus nabung. Maunya sih di masa depan aku bisa dapat gaji poundsterling tapi hidup di Jakarta, supaya cepat kaya raya.
Yang ketiga, jauh dari rumah pasti membuat rindu akan Indonesia menumpuk.
Berbeda dengan mahasiswa yang punya liburan panjang, pekerja kantoran 9 to 5 sepertiku harus hemat-hemat cuti supaya bisa pulang ke Indonesia. Rugi kan terbang 14 jam lebih dari London ke Jakarta cuma untuk liburan seminggu?
Sebelum pindah, aku juga jarang sekali masak masakan Indonesia. Kenapa harus masak kalau aku bisa beli dengan harga murah dan rasanya terjamin enak? Tapi semenjak tinggal di London, mau tak mau aku harus belajar masak menu Indonesia karena ini satu-satunya cara untuk melampiaskan rasa rindu atas kampung halaman sebelum bisa pulang ke rumah.
Yang terakhir dan yang agak susah diceritakan ke banyak orang: mengalami rasisme.
Menurut kamus Oxford, rasisme adalah “prasangka, diskriminasi, atau antagonisme yang ditujukan kepada seseorang atau orang-orang dari ras atau kelompok etnis tertentu, biasanya yang minoritas atau terpinggirkan”. Di Inggris, rasisme ini terjadi karena ada sebagian mayoritas atau orang kulit putih yang menganggap imigran dan ras lain lebih inferior dari mereka.
Sebagai perempuan Asia muda dan imigran, aku di sini adalah bagian dari minoritas dan karena itu hidupku di sini berbeda banget sama waktu aku jadi bagian dari mayoritas di Jakarta. Saat aku di Jakarta, nggak ada yang menilai kompetensiku berdasarkan warna kulit atau aksenku, tapi di sini banyak orang yang menjadikan dua hal itu acuan atas seberapa mumpuni aku di pekerjaanku.
Karena ini juga rasisme dan berbagai bentuk agresi kecil (microaggression) sudah jadi makananku sehari-hari. Dari yang terkesan biasa saja, kayak diteriakin “ni hao” dari seberang jalan sama orang yang nggak aku kenal, sampai yang lumayan bikin kesal seperti saat aku diremehkan oleh salah satu staf di kantor karena aku imigran perempuan muda.
Ini yang sempat buat aku sedih dan ragu atas kompetensi diriku sendiri. Untungnya aku punya banyak teman yang juga imigran non-kulit putih jadi kita sama-sama mendukung dan empower satu sama lain.
Dari semua pengalaman ini, sekarang aku justru bangga jadi imigran, apalagi kalau ingat kata Alexander Hamilton, salah satu karakter di musikal Hamilton: “Immigrants, we get the job done!” ~ Di Saf Share on XDari pengalaman rasisme ini juga, aku merasa mentalku semakin kuat. Kalau dulu aku jadi sedih dan takut, sekarang aku sudah lumayan cuek dan berani bicara kalau ada yang berani rasis di depanku.
Kerja di luar negeri memang nggak semuanya bahagia-bahagia saja, tapi ini cuma sebagian kecil dari total pengalaman kok. Sebagian besar pengalamanku kerja di Inggris itu menyenangkan dan bermanfaat untuk karirku di masa depan seperti saat aku mengoordinasi proyek digital di 12 negara, punya rekan kerja dari berbagai belahan dunia, dan juga akses untuk belajar dari banyak ahli marketing digital di London.
Dari semua pengalaman ini, sekarang aku justru bangga jadi imigran, apalagi kalau ingat kata Alexander Hamilton, salah satu karakter di musikal Hamilton: “Immigrants, we get the job done!”
Di Saf adalah lulusan Media, Communications and Development dari The London School of Economics. Sebagai pegiat komunikasi digital, kegiatannya sehari-hari tidak jauh dari Sprout Social dan Google Analytics. Di luar waktu kerja, hobinya meliputi merangkai bunga, membuat roti sourdough dan chocolate chips cookies. Meskipun pernah mengenyam pendidikan dan tinggal di berbagai negara, dia percaya bahwa Indonesia akan selalu menjadi rumah baginya.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini