Kedudukan Ateisme dalam Wacana Kebebasan Beragama
January 26, 2024Indonesia Butuh Pemimpin Muda: Kaum Muda sebagai Objek atau Subjek?
February 1, 2024Photo by Attack on Titan Fandom
OPINI
Rumbling sebagai Bentuk Kebebasan?
oleh Zalifa Nuri
Pernah terbayangkan nggak hidup di kota yang isinya monster pemakan manusia?
Ya, itulah yang terjadi di anime Attack on Titan. Anime ini bercerita tentang Eren yang tinggal di sebuah kota bernama Shiganshina, sebuah kota yang dikelilingi oleh tembok tinggi yang berfungsi untuk melindungi masyarakat dari Titan pemakan manusia.
Konflik dimulai dengan hadirnya Titan kolosal dan zirah yang sangat besar menghancurkan tembok, sehingga Titan dapat masuk dan membunuh orang-orang di sana. Saat kejadian tersebut, ibu Eren meninggal dimakan Titan. Nahasnya, Eren melihat kejadian tersebut dengan mata kepalanya sendiri. Kejadian tersebut terpatri jelas di ingatannya dan, sejak saat itu, ia bertekad menghancurkan seluruh Titan di luar tembok. Untuk memenuhi keinginannya, ia bergabung dengan sebuah divisi penyelidik. Teman kecilnya, yakni Mikasa dan Armin, juga ikut serta.
Armin memiliki peran dalam membangun pola pikir (mindset) Eren mengenai kebebasan. Ia diberi tahu bahwa terdapat laut yang terhampar di luar tembok dan Armin meyakini bahwa melihat laut dan hamparan luas adalah sebagai kebebasan. Eren yang memercayai hal tersebut menjadikan dalih melihat laut sebagai alasan tambahan untuk keluar dari tembok, selain membunuh semua Titan di luar sana.
“Kelak kita harus menjelajahi dunia luar. Ingat? Jauh di balik tembok ini, ada sungai, daratan es, dan padang pasir bersalju“ – Armin Arlert
(DISCLAIMER: MENGANDUNG SPOILER “ATTACK ON TITAN”)
Kebebasan adalah kata yang sering diucapkan oleh Eren. Baginya, semua orang bebas memiliki kehendak atau free will. Ia paling membenci orang yang hanya diam dan tidak berjuang. Dalam hal ini, diam yang dimaksud Eren adalah diam di balik tembok, hanya makan dan tidur seperti ternak dan menunggu mati dimakan oleh Titan. Oleh karena itu, keputusannya untuk bergabung dengan divisi penyelidik sejalan dengan visinya untuk keluar dari tembok dan menjadi garda depan melawan Titan.
Di season 4, Eren menyadari bahwa musuhnya bukan hanya Titan, tetapi juga manusia. Catatan peninggalan ayahnya menjelaskan bahwa terdapat peradaban di luar tembok, yakni sebuah kota bernama Liberio. Dari catatan tersebut, disebutkan juga terdapat dua ras, yakni Marley dan Eldia yang hidup di sana. Daerah antara Marley dan Eldia dihalangi oleh gerbang zona yang diawasi ketat oleh militer, karena Eldia dianggap sebagai bangsa iblis atau subjek Ymir sehingga Eldia diisolasi dan mendapat diskriminasi.
Sebagian lagi adalah ras Eldia yang hidup di Pulau Paradis atau tempat Eren tinggal. Marley kerap kali menggunakan pulau tersebut untuk menghukum para Eldia yang melawan pemerintah, yakni dengan menyuntik lalu mengubah mereka menjadi Titan murni.
Eren menyadari bahwa bangsa Marley sudah berlaku semena-mena kepada Eldia dan ia ingin balas dendam kepada Marley. Ditambah dengan kekuatan Titan yang ia punya, ia memiliki memori tentang pemilik kekuatan tersebut. Kekuatan yang ia punya mengakibatkan memori dari masa depan dengan memori pemilik kekuatan tercampur dan, secara tidak langsung, juga memengaruhi Eren untuk membalas dendam kepada Marley.
Eren sebagai Subjek Terbelah
Filsuf asal Eropa, Slavoj Zizek, mengemukakan sebuah teori tentang “Yang Riil, Yang Imajiner dan Yang Simbolik.” Teori ini dipinjam dari Jacques Lacan, seorang figur penting dalam bidang psikonalisis. Inti dari teorinya adalah hasrat menjadi sesuatu yang menggerakan kehidupan manusia. Dalam hal ini, Zizek menambahkan bahwa manusia selalu bergerak untuk memenuhi hasratnya, dan selalu ada hubungannya dalam trinitas mengenai Yang Riil, Yang Imajiner dan Yang Simbolik.
Yang Riil adalah tatanan yang belum dibahasakan, yaitu ketika ego dapat terpenuhi oleh ‘Sang Ibu’ yang imajiner. Hal itu dapat dianalogikan sebagai manusia yang saat lahir dan masih bayi, keingininan manusia hanya dapat dipenuhi oleh ibu. Ketika ego menyadari bahwa Sang Ibu bukanlah Sang Ibu, sehingga ia perlu mencari jati dirinya sendiri, keterpisahan ini yang kemudian disebut sebagai Yang Imajiner. Dari proses ego mencari jati dirinya sendiri, ia bertemu dengan agama dan budaya yang mengatur dia. Ini kemudian dikenal sebagai tatanan Yang Simbolik, yaitu realita yang sudah dibahasakan.
Dalam kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu memiliki keinginan terhadap sesuatu. Hasrat yang diinginkan seseorang, menurut pandangan Zizek, dapat memenjarakan subjek karena bahasa yang dilekatkan padanya membuat manusia rela melakukan apa pun. Contohnya, bahasa termanifestasikan dalam sebuah konsep bahwa bahagia itu memiliki keluarga, meskipun konsep bahagia itu terkadang bersifat abstrak. Selama mencari konsep kebahagiaan, terdapat fantasi yang membayangkan bahwa bahagia adalah membeli barang bermerek. Ketika sudah membeli barang tersebut, manusia tetap merasa tidak puas dan terus menginginkan kepuasan (pleassure) untuk memamerkannya kepada orang lain bahwa ia telah membeli merek barang.
Pada konteks Attack on Titan, hasrat yang ditunjukkan oleh Eren adalah kebebasan. Selanjutnya, Yang Simbolik merupakan kerajaan negara Eren hidup atau Pulau Paradis. Berdasarkan catatan peninggalan ayah Eren, Raja Fritz menggunakan kekuatan Titan pendiri untuk menghapus ingatan masyarakat mengenai dunia luar dan menggantinya dengan pemahaman bahwa kehidupan dalam tembok sudah cukup aman. Raja Fritz juga menggunakan kekuatan tersebut untuk mengendalikan mereka supaya selalu takut melampaui tembok dan dengan nyaman mengikuti aturan masyarakat hierarkis dan militer kerajaan.
Sejak awal, Eren sudah melawan “Yang Simbolik” dengan bertekad untuk keluar dari tembok untuk melihat hamparan laut yang luas. Ketika ia akhirnya berhasil keluar dan merasakan laut untuk pertama kalinya, seharusnya keinginannya untuk bebas sudah terbalaskan. Namun, sesaat ia keluar dan melihat dataran yang luas, ia bertanya “Apakah musuh kita berada jauh di sana?“.
Dalam hal ini, Eren merasa bebas ketika berjuang menghadapi musuh dan membalas dendam, sehingga dapat dipahami bahwa Eren merupakan subjek terbelah yang meski sudah memenuhi tuntutannya mengenai kebebasan merasakan laut, ia selalu tidak merasa penuh. Fantasinya mengenai kebebasan tetap membuatnya merasa tidak puas. Karena Eren merupakan subyek terbelah, ia akan selalu bergerak demi mencapai keutuhan dirinya.
Rumbling sebagai Tindakan Radikal
Setelah menemukan bahwa musuh Eren adalah Marley yang hidup jauh dari tembok, ia kemudian berdiskusi dengan pemerintah untuk menemukan cara yang lebih baik agar perang tidak terjadi. Namun, dari pihak Liberio, mereka sudah mendeklarasikan perang ke Pulau Paradis.
Saat diskusi dengan militer, ada pembicaraan mengenai pencegahan genosida atau rumbling, yakni kekuatan Titan Eren yang harus diwariskan kepada darah bangsawan. Jadi, Historia Fritz, Ratu Pulau Paradis, harus berkeluarga dan melahirkan anak agar kekuatan Titan tetap berada di kalangan bangsawan. Sayangnya, Eren tidak menyukai keputusan tersebut karena merasa manusia dituntut untuk berkembang biak hanya demi kekuatan Titan. Dengan kata lain, manusia jadi seperti diperbudak oleh kekuatan Titan, sedangkan Eren paling tidak mau diperbudak.
Pada akhirnya, Eren memilih jalan ekstrem, yakni menjalankan rumbling atau genosida di Kota Liberio. Ia memilih pilihan tersebut agar tempat kelahirannya tidak dijajah oleh negara lain dan membalas dendam dengan cara mengubur sejarah dan peradaban. Pada konteks ini, maksudnya adalah menghapus sejarah, yaitu Titan. Ia ingin menghancurkan kekuatan Titan selamanya.
Kiamat pun terjadi. Segerombolan Titan Kolosal yang bersembunyi di tembok Pulau Paradis bangun dan berjalan menginjak Liberio. Dampak dari genosida tersebut menghancurkan 80% umat manusia di dunia.
Kenapa sih Eren sampai tega melakukan rumbling? Menurut Hajime Isayama, pembuat anime Attack on Titan, ia menulis tentang rumbling bertujuan sebagai bentuk balas dendam Eren ke bangsa Marley yang telah berbuat semena-mena pada bangsa Eldia. Tetapi, jika dilihat dari sudut pandang Zizek, bisa disimpulkan juga sebagai tindakan radikal untuk kebebasan yang mutlak.
Membunuh demi Kebebasan?
Tindakan yang murni, etis, dan ada ketika momen kekosongan adalah tindakan radikal. Tindakan yang melawan struktur sosial tidaklah selalu negatif dan merupakan tindakan melepaskan obyek-obyek yang dicintai dan melekat dalam dirinya. Melalui pendekatan teori Zizek, tindakan ini digunakan untuk menyatakan adanya subjek otentik yang dapat melawan Yang Simbolik dan untuk melepaskan hasrat yang selalu menundukkan subjek.
Membunuh hingga 80% umat manusia sudah sangat radikal, karena sangat melawan norma dan nilai. Eren rela mengambil keputusan tersebut meski ia harus melawan teman-temannya dan bahkan dibenci oleh teman serekannya. Begitu Eren dibenci oleh rekannya itu, bukan hanya karena dampak pilihan ekstremnya, tetapi juga bermakna keluar dari “Yang Simbolik”.
Perlakuan Eren melakukan genosida tidak menjadikannya sebagai seseorang yang bebas, melainkan menjadi budak dari hasrat kebebasan semu. ~ Zalifa Nuri Share on XEren bahkan rela berubah menjadi Titan Kiamat (Doomsday Titan) dan tetap terus maju mengguncang bumi meski teman-temannya sudah sangat membencinya. Cara satu-satunya untuk menghentikan guncangan bumi adalah dengan membunuh Eren. Di akhir cerita, ia sengaja membuat teman-temannya membunuh ia karena demi tujuan yang lebih besar, yakni menghancurkan kekuatan Titan agar teman-temannya dapat berumur panjang dan memberhentikan perang pada Pulau Paradis.
Pada akhirnya, Eren meninggal dibunuh oleh teman dekatnya sendiri, Mikasa. Di bagian akhir Eren mengakui pada Armin bahwa ia adalah budak kebebasan dan menyesali perbuatannya melakukan rumbling.
Meskipun pada awalnya Eren berhasil mendapatkan kebebasannya untuk keluar dari kebebasan dan melawan “Yang Simbolik”, tetapi justru “kebebasan” memenjarakannya. Ia menjadi bergantung kepada fantasi dan hasrat kebebasan yang ia percayai, sehingga ia selalu merasa tidak cukup. Perlakuan Eren melakukan rumbling tidak menjadikannya sebagai seseorang yang bebas dan tetapi justru ia menjadi budak dari hasrat tersebut hingga rela melakukan apapun dan membunuh banyak orang untuk memenuhi keinginannya.
Zalifa Nuri, biasa dipanggil Nuri, adalah seorang mahasiswi Magister Sastra di Universitas Gadjah Mada.
Artikel Terkait
Murakami-esque dan Hikikomori: Refleksi Krisis Eksistensial Masyarakat Jepang Pada Sastra Kontemporernya
Karya Haruki Murakami kerap kali memberikan nuansa depresif sehingga dapat membius setiap pembaca ke kekosongan yang dihadapi oleh para tokoh. Kita akan tenggelam dalam suramnya kesepian, diajak merasakan pergumulan diri, kehilangan, kehampaan, kesedihan, kesendirian, hingga kematian. Ciri khas yang sangat kental dari setiap karya Haruki Murakami tersebut memunculkan istilah “Murakami-esque”. Sebagaimana pengertiannya, karya sastra adalah sebuah karya yang mencerminkan realitas kehidupan sosial. Fenomena loneliness bukanlah fenomena baru, tetapi sejak dahulu masyarakat Jepang memang terkenal suka menyendiri, dibuktikan melalui "fenomena Hikikomori".Yang Berpijar dari Revolusi Oktober
Satu perubahan menginspirasi datangnya perubahan lain. Buku dari Vijay Prashad ini membahas bagaimana Revolusi Oktober di Rusia membawa harapan untuk masyarakat, khususnya kaum pekerja, di berbagai negara yang masih hidup di bawah penjajahan.Kesadaran Diri
Akhir-akhir ini kita banyak dihadapkan dengan pertanyaan sulit mengenai makna identitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari fenomena-fenomena sosial politik yang terjadi di sekitar kita. Situasi ini telah mendorong berbagai pihak untuk berpikir keras apa sebenarnya yang menyebabkan kuatnya sentimen berbasis identitas? Dan bagaimana cara kita menjelaskan fenomena ini?