Meneroka Perjalanan Ulang-Alik dalam Menjadi ‘Laki-Laki’
December 2, 2024Photo by Partystock on Freepik
OPINI
(Kerja) Kerelawanan dan Kerentanan Belenggu Kapital
oleh Himas Nur
Indonesia kembali didaulat sebagai negara paling dermawan sedunia versi World Giving Index 2024. Tak hanya itu, posisi ini rupanya juga telah kita kukuhkan selama tujuh tahun berturut-turut!
World Giving Index (WGI) merupakan laporan tahunan yang diterbitkan oleh organisasi Charity Aid Foundation (CAF). Mereka melakukan survei menggunakan data Gallup’s World Poll dengan menyertakan total 142 negara partisipan. Laporan WGI 2024 menyebutkan bahwa lebih dari enam per sepuluh orang Indonesia menyumbangkan waktu mereka untuk kegiatan kerelawanan. Ini sekaligus membuat Indonesia menduduki peringkat puncak dengan perolehan angka sebesar 65 persen.
Data bahwa kita memiliki relawan (volunteer) terbanyak lintas global dan tak terkalahkan selama tujuh tahun lamanya menarik dan memantik pertanyaan: kok bisa ya?
Rupa-Rupa Motivasi, Pintu Masuk Eksploitasi
Ada pelbagai macam motivasi di balik keputusan setiap orang untuk mendaftarkan diri menjadi relawan. Ruang belajar, tempat mencari pengalaman, peluang memperluas jejaring, dan upaya untuk berkontribusi mengurai pelbagai gejolak dan tantangan dunia barangkali merupakan beberapa dorongan kuat yang membuat seseorang tertarik untuk menjadi relawan. Akademisi asal Amerika Serikat, E. Gil Clary, dan kawan-kawan, mengategorisasikan enam kecenderungan motivasi relawan ke dalam ‘Volunteer Functions Inventory (VFI)’ yang mencakup aspek nilai (values), pemahaman (understanding), sosial (social), karir (career), pelindung (protective), dan peningkatan (enhancement).
Nilai (values) adalah aspek pertama yang disinggung oleh Clary dan rekan untuk mengeksplorasi motivasi menjadi relawan. Aspek itu merupakan ekspresi nilai yang berkaitan dengan kepedulian altruistik (tindakan sukarela tanpa mengharapkan imbalan) dan kemanusiaan terhadap sesama. Motivasi lainnya berkenaan dengan fungsi pemahaman (understanding). Poin ini memungkinkan seorang relawan memperoleh pengalaman belajar baru, pengembangan diri, dan kesempatan untuk melatih keterampilan. Selanjutnya, ada fungsi sosial (social) yang menawarkan keterlibatan pada aktivitas kemasyarakatan yang dipandang secara umum sebagai sesuatu yang baik.
Karir (career) adalah salah satu amunisi seseorang menjadi relawan. Clary dan rekan menuturkan bahwa kerelawanan dapat memperkaya pengalaman dan menjadi sarana untuk mempersiapkan karir baru atau mempertahankan keterampilan yang relevan dengan karir. Selain itu, ada pula fungsi pelindung (protective) yang memungkinkan relawan mampu meminimalisasi rasa bersalah karena merasa lebih beruntung daripada orang lain. Hal itu bahkan bisa menjadi sarana untuk mengatasi masalah sosial yang tengah dialami, misalnya ketika seseorang terkena peretasan data pribadi, kemudian ia juga tergabung sebagai relawan di organisasi yang fokus pada wacana keamanan digital. Dengan begitu, ia memiliki kelompok dukungan dan dapat mengakses bantuan pelindungan untuk mengadvokasi kasusnya. Terakhir, ada peningkatan (enhancement) sebagai fungsi untuk memperoleh kepuasan dan harga diri atas pertumbuhan maupun pengembangan diri yang telah dilakukan melalui kegiatan kerelawanan.
Pelbagai motivasi lahir dari ragam latar pengalaman, kebutuhan, dan identitas yang melekat pada tiap individu relawan. Motivasi tak lahir dari ruang hampa. Menjadi relawan, barangkali, bukanlah kehendak bebas. Seorang mahasiswa seni bisa jadi terdorong menjadi relawan festival kebudayaan bergengsi, karena tuntutan portofolio di bursa kerja selepas sarjana. Bagi seorang anak yang merawat (caregiver) ibunya yang merupakan penyintas KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), bisa jadi ia akan lebih tertarik menjadi relawan pendamping di gerakan sosial ternama yang mendaku memberikan pelayanan pada korban kekerasan seksual. Seseorang juga bisa tergugah menjadi relawan kebencanaan yang digagas oleh organisasi profit di kotanya. Kegeraman atas lambatnya bantuan dari negara membuat ia bersemangat ketika ada alternatif penyalur bantuan bagi korban kebencanaan.
Rupa-rupa kesamaan minat, kedekatan dan kemelekatan dengan tema aktivitas yang sama, serta ingatan dan trauma yang tak asing bisa membuat kita jadi se-sukarela itu untuk menjadi relawan. Begitu pula dengan tekanan sosial maupun pasar kerja yang mendesak manusia sebagai mesin pencetak angka. Hustle culture (budaya yang mendorong orang bekerja terlalu keras, bahkan melampaui batas kemampuannya) serupa racun yang kudu ditenggak, sebab nilai diri dibatasi oleh usia dan produktivitas. Kalau begitu, mungkinkah hadirnya kerelawanan berbanding lurus dengan situasi sosial yang tak ideal?
Celakanya, fenomena kerelawanan tak bisa dilepaskan dari bagaimana dunia bekerja di tengah poros kapital. Tuntutan untuk memiliki curriculum vitae (CV) yang cemerlang dan keharusan mempunyai deretan pengalaman menjadi pemantik kecemasan yang menjanjikan. Kapitalisme memanfaatkan motivasi untuk mengeksploitasi. Mereka menjajah rasa kepedulian, kegemaran, dan amarah kita. Mereka menyetir ragam emosi relawan untuk mendulang pundi bagi pemilik modal. Pola ini serupa korporasi yang melihat resistensi sebagai sebuah peluang untuk jualan. Misalnya, spirit ekologi dan perlindungan terhadap bumi yang dikemas menjadi green consumerism (produk ramah lingkungan). Produk dengan label serba ‘hijau’ itu bebas mematok harga lebih tinggi, sementara buruh tani sebagai pemasok rantai makanan utama tetap saja terpinggirkan.
Kuasa kapital membeli motivasi relawan dengan nilai tukar tenaga kerja tak terbatas waktu, murah, bahkan gratis. Tak sedikit relawan yang hanya diupah dengan selembar sertifikat atau justru turut diminta membayar iuran oleh penyelenggara kesukarelawanan. Akademisi Kenneth Maes, dalam penelitiannya, mengkritisi organisasi-organisasi yang membuka pendaftaran relawan tanpa memberi upah layak atas kerja yang telah mereka lakukan. Kapitalisme memanfaatkan dan mempertahankan ‘semangat kerelawanan’ untuk menghindari pengembalian materi atau finansial. Sebaliknya, mereka mengglorifikasi manfaat mental dan spiritual yang didapatkan dengan bekerja melalui sistem relawan. Mereka berlindung di balik jargon ‘non-profit’, ‘pro-bono’, dan ‘solidaritas’. Sayangnya, mereka lalai membayar ide, tenaga, waktu, dan mental yang telah dicurahkan oleh para pekerja relawan.
Rupa-rupa motivasi yang memenuhi diri seorang relawan adalah valid. Namun, ketajaman dalam menginterogasi sistem yang culas juga perlu diasah. Kelembutan dalam menghargai diri sendiri bahwa kita tak layak untuk dieksploitasi juga perlu dirawat.
Melantangkan Kerelawanan sebagai KERJA
Penggunaan kata ‘relawan’ atau ‘volunteer’ menjadi celah bagi penguasa untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal serendah-rendahnya. Dalih pemakaian ‘relawan’ digunakan untuk melakukan tindak eksploitasi, bahkan meski perekrut relawan mendulang keuntungan material, kapital sosial, dan lain-lain. Label ‘relawan’ juga kerap digunakan sebagai tindak kekerasan. Ketika relawan mengkritisi beban kerja yang tak disepakati, mereka akan balik disalahkan karena pandangan bahwa kerelawanan adalah kehendak bebas seseorang, sehingga diskriminasi yang menimpa relawan kemudian dianggap sebagai permasalahan personal, alih-alih sebagai persoalan struktural. Kesadaran relawan dipertanyakan ulang melalui gaslighting (manipulasi psikologis untuk membuat orang ragu dengan dirinya sendiri) dan guilt-tripping (membuat orang merasa bersalah atau menyesal).
Pendaftaran diri sendiri secara sadar sebagai ‘relawan’ diasumsikan sepaket dengan persetujuan (consent) untuk menyerahkan diri (pemikiran, tenaga, waktu, dan mental) tanpa jaminan keamanan, kenyamanan, dan upah sepadan. “Bantu orang kok minta imbalan?” adalah pembungkaman yang dialamatkan pada relawan yang speak up (berani berbicara) atas pola-pola kerelawanan yang ganjil dan eksploitatif.
Bila pengadaan kerelawanan hanyalah kedok untuk memperoleh tenaga kerja murah atau bahkan gratis, ia hanya mencederai gerakan sosial yang benar-benar berjalan dengan prinsip kemanusiaan dan kesetaraan. ~ Himas Nur Share on XKita perlu membongkar kata ‘relawan’ yang erat kaitannya dengan romantisasi pengabdian. Pada banyak ruang-ruang eksploitatif buruh yang lain, ‘pengabdian’ segaris lurus dengan upah murah dan penghinaan terhadap profesi. Kerja-kerja yang dimasukkan dalam kerangka ‘pengabdian’ dikonstruksikan sebagai sesuatu yang mulia, bernilai suci, tinggi, dan dituntut seharusnya ‘tanpa tanda jasa’. Konsekuensi tersebut membuat kerja-kerja semacam ini kian berjarak dari realitas kemasyarakatan dan bahkan tak dianggap sebagai ‘kerja’.
Kesadaran kelas pekerja penting ditumbuhkan sebagai bekal memerangi ketidakadilan. Tiap kegiatan yang dilakukan perlu didasari atas kesepakatan bersama. Hubungan relawan dengan perekrut relawan tak henti di riwayat percakapan lisan, melainkan juga kontrak kerja atau perjanjian bersama yang bernilai hukum. Bila pengadaan kerelawanan hanyalah kedok untuk memperoleh tenaga kerja murah atau bahkan gratis, ia hanya mencederai gerakan sosial yang benar-benar berjalan dengan prinsip kemanusiaan dan kesetaraan. Kerelawanan perlu dimaknai sebagai sebuah KERJA—dengan lantang dan tanpa tanda kurung.
Himas Nur (she/her) merupakan alumni Kelas Sekolah Pemikiran Perempuan 2023. Buku tunggalnya yang telah terbit adalah “Bianglala, Komidi Putar, dan Negeri Dongeng” (2013), serta “Menjelajahi Diri, Memeluk Intimasi: Kajian Panseksualitas di Indonesia” (2023). Sehari-hari ia mengajar di Program Studi Film dan Televisi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Artikel Terkait
Bukit Algoritma dan Ilusi Techno-Solutionism
Klaim-klaim yang dibuat untuk mendukung proyek Bukit Algoritma umumnya berangkat dari pemahaman bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan teknologi. Dalam artikel ini, penulis mendiskusikan bahaya ilusi techno-solutionism dan pentingnya terlebih dahulu mengatasi kesenjangan yang ada.Kapitalisme di Persimpangan Jalan
Kapitalisme memiliki andil yang besar atas tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan serta pemanasan global. Namun apakah kapitalisme itu merupakan sesuatu yang jahat yang harus dimusuhi dan dihapuskan?Perkembangan Sistem Perekonomian Modern: Kapitalis, Komunis, Sosialis, dan Campuran
Artikel ini membahas perkembangan sistem perekonomian hingga akhirnya menjadi seperti sekarang, dimana ada negara yang condong menerapkan sistem kapitalis, sosialis, dan juga campuran.