Mengapa Kita Tak Bisa Jadi Pemilih yang Rasional
May 25, 2019Korban, Memori, dan Jalan Panjang Menuju Keadilan
July 20, 2019OPINI
Kerusuhan bagi siapa?
oleh Annisa R. Beta & Marissa Saraswati
Tanggal 21 Mei pagi, linimasa Twitter memperlihatkan kalau KPU baru mengumumkan hasil pemilu subuh tadi. Kesimpulan akhir dari pemilihan presiden tidak jauh berbeda dari perkiraan sebelumnya. Di Jakarta, peringatan di berbagai grup Whatsapp mulai berdengung. Akan ada kerusuhan, hati-hati, katanya.
Keluhan mulai bermunculan. ‘Macet deh.’ ‘Banyak polisi’. ‘Duh, repot amat, sih’. Di media sosial, pendukung calon presiden tertentu tampak semakin panas, sedangkan yang lain mencemooh kekalahan.
Dari kacamata anggota masyarakat mayoritas di Indonesia dan Jakarta, kerusuhan 22 Mei lalu adalah tentang kerepotan yang ditimbulkan keramaian massal ini. Siapa masyarakat mayoritas? Mudahnya, mereka yang Muslim dan kelas menengah. Repot ini muncul karena pusingnya mencari akal untuk jalan pergi ke dan pulang dari kantor, berisik, repot, disertai pertengkaran di media sosial.
Ketika berbagai kejadian di tanggal 22 Mei semakin intens diliput media, selain mata kita yang melekat ke layar kaca dan juga telepon genggam, kebanyakan orang asyik menjadi komentator politik dadakan. Salah satu pertanyaan yang muncul: Apakah kejadian ini dapat disamakan dengan kerusuhan di bulan Mei 1998?
Jawaban paling mudah adalah tidak. Kerusuhan Mei 1998 menyala karena penyebab yang jauh beda dalam situasi yang jauh lebih gelap. Mei 1998 hadir karena bertemunya berbagai masalah prinsipil seperti krisis ekonomi, kehidupan sosial dan politik yang dikekang rezim otoriter, dan juga tidak habisnya masa kekuasaan Presiden Suharto, keluarganya, dan teman-temannya. Isu-isu dasar tersebut tidak muncul di kerusuhan 22 Mei 2019. Selain itu, kerusuhan bulan Mei tahun ini juga terkonsentrasi di pusat Jakarta, terutama di sekitar kantor Badan Pengawas Pemilu.
Kalau kita benar-benar mencoba memahami setiap elemen kerusuhan dan efeknya, kita sebaiknya tidak melihat dari kacamata orang-orang kelompok mayoritas ~ Annisa R. Beta & Marissa Saraswati Share on XPerbedaan yang jelas ini juga yang membuat kebanyakan orang yang hidup dan kerja di sekitar area demonstrasi bereaksi lebih santai. Bahkan ada yang bilang kalau semua kejadian di tanggal 21-22 Mei tersebut hanyalah hoax, dibuat-buat oleh polisi atau kubu 01. Entah bagaimana penjelasannya, intinya kerusuhan ini sepertinya tidak mengganggu kehidupan sehari-hari. Pun jika ada efek buruk, tujuannya adalah menjelek-jelekan salah satu kubu calon presiden.
Tapi, kalau kita benar-benar mencoba memahami setiap elemen kerusuhan dan efeknya, kita sebaiknya tidak melihat dari kacamata orang-orang kelompok mayoritas. Sekitar 87% orang Indonesia beragama Islam dan ada sekitar 40% dari orang Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai suku Jawa. Jangan bertanya apa efek kerusuhan kepada mereka.
Bertanyalah ke orang-orang dari kelompok minoritas. Mereka yang sering diserang dan dipinggirkan tanpa alasan jelas. Mereka yang 21 tahun lalu, di bulan Mei ‘98, diperlakukan dengan amat menyakitkan. Mungkin, kita harus bertanya kepada mereka yang di bulan pilu tersebut disingkirkan dari Jakarta hanya karena identitas kesukuannya.
Iya, tidak banyak yang sama antara kerusuhan Mei 2019 dan Mei 1998. Tapi, coba kita pikirkan sejenak efek dari Tragedi Mei 1998 yang sampai sekarang masih belum diungkap jelas. Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan keturunan Tionghoa sudah didokumentasi dan dibuktikan sejak tahun 1999, tetapi sampai sekarang belum ada pengadilan atau keadilan dalam bentuk apapun. Seniman Rani Pramesti menjelaskan kalau tradegi pilu tersebut masih menjadi ‘bisikan’.
Apa efeknya? Rasa ketakutan dan trauma yang tersimpan dan bisa muncul kapan saja, apalagi di momen-momen seperti kerusuhan bulan lalu.
Kalau yang mayoritas mengeluh tentang kemacetan dan ribetnya mencari jalan pulang dari kantor, yang pernah mengalami luka, bangun tidur di pagi hari tanggal 22 Mei dengan pertanyaan: Apa saya dan keluarga perlu mengungsi? Ke mana?Apa perlu pesan tiket pesawat atau menginap di dekat bandara? Apa perlu saya selalu membawa passport? Tentu rasa was-was ini tidak dirasakan oleh yang berkuasa. Kurangnya empati di masyarakat tentang situasi di dua bulan Mei ini merupakan buah dari tidak adanya pembahasan formal tentang trauma kolektif. Pembunuhan massal 1965, tragedi Mei 1998, dan kini kerusuhan 21-22 Mei 2019. Jangan bertanya ‘ini kerusuhan bukan ya?’ Pikirkan: Ini kerusuhan bagi siapa? Siapa yang akan merugi?
Annisa R. Beta adalah salah satu editor Anotasi. Sekarang ia bekerja sebagai postdoctoral fellow di National University of Singapore.
Marissa Saraswati merupakan salah satu editor Anotasi. Marissa baru saja menyelesaikan studi magister di bidang Women and Gender Studies di San Francisco State University.