Habitus dan Agensi Ketaatan dalam Kelompok Muslimah Bercadar
June 26, 2023Urbanisme Gay di Kota Besar: Jakarta sebagai Gay Community Zone
July 11, 2023OPINI
Ketika Nakes Melawan dan Alasan Perlunya Menunda RUU Kesehatan
oleh Sari Damar Ratri
Pada Mei 2023, Partai Buruh, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan ribuan anggota organisasi profesi di bidang kesehatan, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Kesehatan. Mereka menuntut penghentian pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan).
Ada dua hal penting yang disorot dalam aksi demonstrasi tersebut. Isu pertama adalah dampak RUU Kesehatan terhadap kriminalisasi dan pelemahan profesi tenaga kesehatan. Hal tersebut berasal dari poin tentang kemudahan pasien untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap petugas kesehatan karena alasan malpraktik yang tertuang di Pasal 282 Ayat 1 dan Pasal 462 Ayat 1 dan 2. Isu kedua adalah implementasi RUU Kesehatan dinilai menempatkan nakes di Indonesia dalam persaingan bebas pasar kerja tenaga asing. Sebabnya, RUU Kesehatan dianggap mengizinkan negara merekrut tenaga kesehatan asing untuk mengatasi kekurangan nakes di dalam negeri.
Kiprah Politik Dokter dalam Mendorong Perubahan Sosial
Dalam bukunya Nurturing Indonesia, sejarawan Hans Pols menulis, “Di zaman penjajahan, dorongan emansipasi dan perbaikan sosial mendorong dokter-dokter di wilayah jajahan untuk melakukan aksi politik; setelah kemerdekaan, dorongan tersebut seakan memudar—atau setidaknya tercerai dari agitasi nasionalis.” Penggalan kalimat itu sepertinya relevan untuk menjelaskan situasi yang terjadi hari ini.
Tulisan Pols merupakan karya sejarah yang menarik, sebab studi sejarah pada masa kolonial lebih banyak berbicara mengenai perkembangan teknologi medis dan kesehatan sebagai senjata imperialisme. Pols, dengan sangat cermat, menunjukkan peran kepemimpinan dokter dalam sejarah perlawanan perang melawan kolonial dan agenda politik kemerdekaan. Ia juga menunjukkan betapa dokter dan ilmu medis berperan sangat penting dalam proyek pembangunan nasional.
Pendidikan kesehatan juga perlu dilengkapi dengan pengetahuan ilmu sosial dan humaniora. Hal tersebut berguna dalam memberikan pemahaman para nakes tentang tata cara memperlakukan pasien sebagai subjek yang kompleks ~Sari Ratri Share on XSayangnya, geliat politik tenaga kesehatan mulai surut setelah masa kemerdekaan. Saat menghadiri simposium yang bertepatan dengan peringatan seratus tahun hari Kebangkitan Nasional pada 2008, Pols menangkap kegelisahan para dokter yang hadir di acara tersebut. Kebanyakan dari mereka, yang menamatkan pendidikan kedokteran di akhir 1950an atau awal 1960an, khawatir bahwa keuntungan finansial menjadi lebih penting bagi para dokter masa kini ketimbang motif idealistis yang mendominasi gerakan dokter di masa lalu. Para pembicara juga memaparkan keterlibatan dokter dalam dunia sosial dan politik di masa kolonial yang diharapkan bisa menjadi contoh oleh dokter Indonesia saat ini.
Membandingkan situasi nakes pada masa kini dengan masa kemerdekaan mungkin tidak sepenuhnya relevan, mengingat mereka hidup di zaman berbeda dan menghadapi tantangan sosial-politik yang berlainan. Namun, melihat aksi demonstrasi para nakes dalam menolak RUU Kesehatan, kita bisa menyaksikan bahwa kekhawatiran para dokter senior tentang orientasi dokter masa kini yang hanya fokus pada keuntungan finansial tidak sepenuhnya benar.
Aksi di bulan Mei lalu menggambarkan persoalan sosial dalam konteks Indonesia kontemporer dan membuktikan bahwa kobaran api perlawanan tenaga kesehatan belum sepenuhnya padam. Bersama dengan ratusan ribu tenaga kesehatan lain, dokter-dokter masa kini tengah memperjuangkan otoritas profesi dan kesejahteraan kelompok mereka di antara tuntutan negara terkait perencanaan kesehatan dalam paradigma neoliberal, dimana urusan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat diserahkan pada persaingan pasar.
Segudang Masalah Sistem Kesehatan Kita
Persoalan kesehatan, contohnya dalam program prioritas stunting saat ini, seringkali dilihat sebagai ancaman kerugian ekonomi negara yang dibingkai dalam narasi hilangnya sumber daya produktif bangsa. Asumsi ini perlu dipandang secara kritis. RUU Kesehatan sejatinya perlu menelaah ulang asumsi ekonomi yang menjadi kerangka layanan kesehatan di negara ini.
Meskipun saya melihat perlunya membangun sistem akuntabilitas kerja bagi tenaga kesehatan, hal tersebut harus dibarengi dengan menyediakan perlindungan hukum bagi nakes dan pasien sebagai upaya pencegahan konflik hukum antara keduanya. Seringkali, konflik antara nakes dan pasien terjadi karena kerumitan birokrasi yang juga dibebankan sebagai tanggung jawab nakes maupun kurangnya fasilitas kesehatan (faskes) di daerah.
Salah satu penelitian saya di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, tentang tanggung jawab bidan dalam menanggulangi persoalan kematian ibu dan anak melihat bahwa bidan desa, sebagai nakes terdepan yang berhadapan dengan pasien di desa, perlu memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti air dan listrik, tanpa adanya dukungan yang berarti dari pemerintah. Mereka, di saat bersamaan, harus berhadapan dengan tuntutan untuk memenuhi capaian pembangunan kesehatan. Alhasil, seringkali kebijakan kesehatan yang ada cenderung menempatkan pasien dan nakes selalu dalam situasi oposisi karena tekanan bagi nakes untuk mencapai target capaian program. Tanpa capaian yang dianggap berarti, renumerasi nakes seringkali ditahan sampai mereka dapat melaporkan bukti kerja mereka melalui dokumen laporan.
Selain persoalan infrastruktur yang cenderung diabaikan pemerintah, baik akses menuju layanan kesehatan maupun layanan kesehatan itu sendiri, nakes di daerah juga sering menghadapi kelangkaan pasokan alat dan perlengkapan kesehatan. Mereka sering menerima ancaman dari masyarakat karena mereka harus bekerja dalam tekanan kelangkaan sumber daya. Sistem dan alur rujukan dari layanan primer ke fasilitas sekunder juga seringkali menyudutkan tenaga kesehatan di daerah. Sebagai contoh, ketika seorang ibu terpaksa melahirkan di puskesmas pembantu (pustu) atau pos kesehatan desa (poskesdes), bidan desa seringkali berhadapan dengan jumlah sarung tangan medis yang terbatas.
Dalam konteks pelayanan kesehatan di lingkungan perkotaan, waktu tunggu pasien di rumah sakit cenderung tidak manusiawi. RUU Kesehatan tidak membahas dan menyiapkan perubahan terkait beban birokratis yang banyak diemban oleh nakes. Padahal, kerumitan birokrasi inilah yang membuat mereka terasing dari kerja dan pelayanan mereka. Birokrasi dan administrasi menempatkan nakes dalam relasi kuasa yang tidak seimbang dengan pemerintah. Nakes pun tercerabut dari relasi sosial dengan pasien yang merupakan dasar dari pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Sebagai contoh, banyak pasien lanjut usia dan anak yang perlu menunggu berjam-jam di rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan dan obat. Para pasien dengan jaminan BPJS dan asuransi perlu mengantar berkas untuk disahkan dan memakan waktu yang sangat lama. Terkadang, pasien datang dalam keadaan terlambat dan tak dapat ditolong dengan maksimal karena mereka paham bahwa rumah sakit bukanlah tempat yang ramah bagi mereka. Dalam keadaan gawat darurat seperti itu, waktu tunggu yang terlalu lama tentu saja berakibat pada meningkatnya risiko persebaran penyakit kepada pasien atau pengantar pasien yang datang ke rumah sakit. RUU Kesehatan tidak mengatasi persoalan mendasar tersebut.
Reformasi Sistem Kesehatan: Bagaimana Memulainya?
Selain masalah perlindungan hukum, infrastruktur, dan pasokan alat kesehatan, peningkatan jumlah nakes melalui pendidikan tinggi juga perlu diperhatikan. Hal itu harus mempertimbangkan asas dan etika profesionalisme yang menjunjung tinggi perawatan berbasis pasien (patient centered care). Bila hanya sekadar mengejar jumlah lulusan tanpa kemampuan bersimpati pada pasien, wajar kalau masyarakat Indonesia tetap enggan mengunjungi dan mempercayakan kesehatannya pada nakes kita.
Penundaan pengesahan RUU Kesehatan bisa menjadi ruang temu bagi pemerintah, masyarakat, dan nakes untuk menelaah kembali masalah mendasar yang terjadi dalam sistem kesehatan di Indonesia ~Sari Ratri Share on XPendidikan kesehatan juga perlu dilengkapi dengan pengetahuan ilmu sosial dan humaniora. Hal tersebut berguna dalam memberikan pemahaman para nakes tentang tata cara memperlakukan pasien sebagai subjek yang kompleks. Arogansi profesi dokter dan nakes lain, menurut Allan Berger, menentukan kualitas layanan kesehatan. Berger mengatakan bahwa arogansi profesi nakes bisa jadi disebabkan oleh privilese karena pengakuan dan penghormatan sosial terhadap profesi nakes, terutama dokter. Dalam konteks Indonesia, nakes juga ditempatkan sebagai profesi yang dimuliakan. Salah satu nya bisa dilihat dalam Pasal 1 RUU Kesehatan yang mendefinisikan profesi tenaga kesehatan sebagai sebuah pengabdian. Mendefinisikan pekerjaan nakes dalam kerangka pengabdian tidak sama dengan mengakui bahwa bentuk kerja nakes sejatinya adalah pelayanan dan jasa yang memiliki status setara antara pasien dengan nakes. Menggunakan wacana pengabdian dalam kerja nakes sama saja dengan menempatkan nakes dalam posisi yang rentan dieksploitasi oleh negara.
Saya setuju dengan tuntutan para demonstran untuk menunda pembahasan RUU Kesehatan. Penundaan pengesahan RUU Kesehatan bisa menjadi ruang temu bagi pemerintah, masyarakat, dan nakes untuk menelaah kembali masalah mendasar yang terjadi dalam sistem kesehatan di Indonesia. Pemerintah perlu mempertimbangkan masukan terhadap RUU Kesehatan yang saat ini masih timpang agar terjadi perbaikan yang adil baik bagi nakes maupun masyarakat secara umum. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menelaah kembali asumsi ekonomi yang mendasari kebijakan dan sistem kesehatan di Indonesia kini.
Sari Damar Ratri adalah kandidat doktor Antropologi, di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat. Sari tertarik hubungan yang saling terkait antara kesehatan dan pembangunan ekonomi. Penelitiannya saat ini menyelidiki tentang penekanan kebijakan kesehatan nasional Indonesia pada program mitigasi stunting yang menganggap pertumbuhan anak sebagai indeks kemajuan kesehatan dan juga indeks pembangunan nasional. Untuk menjawab pertanyaan penelitiannya, Sari merancang studi etnografis digital terhadap tenaga kesehatan Indonesia khususnya dokter anak, bidan, dan juga bersama kelompok ibu-ibu. Sebelum melanjutkan pendidikannya di Northwestern University, Sari juga menamatkan S1 di Jurusan Antropologi di Universitas Indonesia, dan studi S2 di University of Amsterdam pada jurusan Master Medical Anthropology and Sociology.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini