Menyoal Perundungan: Sebab, Akibat, dan Pencegahannya
October 8, 2024Sembilu Bermata Ganda: Dilema Sertipikat Tanah
October 10, 2024Photo by Volodymyr Hryshchenko on Unsplash
OPINI
Komunikasi Risiko: Membantu atau Membebani?
oleh Citra Lestari
Di ranah akademik, ada banyak kajian yang mengungkapkan bahwa perempuan mengalami beban berlipat pada saat terjadi bencana.
Pandemi COVID-19, misalnya, menyajikan banyak bukti dari pengalaman perempuan yang harus bekerja dari rumah namun tetap menyiapkan makanan bagi seluruh anggota keluarga yang juga bekerja dan bersekolah dari rumah. Mereka juga harus mengajari dan membantu anaknya mengerjakan tugas sekolah dari rumah, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik, serta mengurus anggota keluarga yang sakit. Ini belum termasuk stres mereka yang meningkat akibat beban dan tanggung jawab yang berlipat tersebut.
Bagi perempuan dari kelompok marjinal, misalnya perempuan miskin atau perempuan dengan disabilitas, beban berlipat tersebut semakin diperparah dengan keterbatasan kemampuan dan ruang gerak mereka untuk menjadi dan merasa aman di tengah bencana. Pada masa bencana, kelompok marjinal adalah kelompok paling rentan, karena dalam kondisi wajar tanpa bencana saja, mereka telah mengalami banyak keterbatasan. Kondisi tersebut semakin diperparah dalam kondisi bencana.
Hal itu masih ditambah dengan stigma yang harus mereka terima. Sebuah penelitian di Jakarta menemukan bahwa di masa pandemi, masyarakat yang kebanyakan kelas menengah menuding kelompok miskin sebagai “ignorant others” (mereka yang tidak tahu dan tidak peduli). Kelas menengah ini menuding kelompok miskin sebagai penyebab penyebaran virus yang berkepanjangan, karena kelompok miskin dianggap tidak mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Mereka dianggap tidak dapat memahami data-data saintifik yang mendasari pemberlakukan protokol tersebut. Kelompok miskin juga dianggap irasional, sehingga mudah termakan hoaks (berita bohong) yang bertolak belakang dengan protokol kesehatan dan upaya pencegahan risiko COVID-19.
Menyoal Komunikasi Risiko
Sensitivitas kelompok rentan terhadap risiko bencana yang dianggap kurang itu kemudian banyak dikaitkan dengan komunikasi risiko. Dalam konteks COVID-19, Pemerintah dianggap tidak mampu mengomunikasikan risiko-risiko COVID-19 dengan baik kepada masyarakat, sehingga masyarakat kurang memiliki pemahaman dan mudah termakan hoaks. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO) bahkan secara serius mendeklarasikan perang terhadap infodemic (penyebaran informasi tentang pandemi yang tidak akurat secara cepat), karena melihat besarnya peran komunikasi risiko pada pencegahan penyebaran virus COVID-19.
Komunikasi risiko adalah upaya pertukaran informasi tentang risiko, misalnya risiko kesehatan atau lingkungan, antara para ahli atau pemerintah dan masyarakat terdampak, untuk membantu membuat keputusan berbasis pengetahuan (informed decision) guna mengurangi risiko. Definisi ini menekankan bahwa para ahli atau pemerintah memberikan informasi dan data-data mengenai risiko, misalnya risiko COVID-19, kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa secara mandiri mengambil tindakan untuk mengubah perilaku guna mencegah penyebaran COVID-19. Sayangnya, informasi yang diberikan pemerintah cenderung bersifat umum dan menyamaratakan kondisi masyarakat.
Padahal, masyarakat bukanlah kelompok yang homogen. Kelompok tertentu, misalnya kelompok masyarakat dengan beban berlipat, seperti perempuan miskin, memiliki pengalaman dan prioritas yang berbeda dalam menciptakan kondisi yang aman saat bencana. Seorang feminis, Hilary Rose, mengadaptasi ungkapan Virgina Woolf dalam Three Guineas dan menyatakan bahwa sains di bidang kesehatan cenderung mengabaikan dimensi jenis kelamin, kelas, dan penyakit yang menular (sexless, classless, and also infected).
Persepsi Risiko yang Berbeda
Salah satu permasalahan utama dalam komunikasi risiko adalah perbedaan persepsi terhadap risiko antara masyarakat dengan para ahli dan pemerintah. Masyarakat seringkali merasa bahwa pemerintah tidak memberi informasi yang mereka butuhkan, sementara pemerintah dan para ahli beranggapan bahwa masyarakat tidak dapat memahami atau bahkan menolak data-data saintifik (ilmiah) terkait bencana. Tentu saja, pemerintah dan para ahli juga seringkali memiliki perbedaan persepsi yang dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, termasuk kepentingan bisnis dan politik yang membuat komunikasi risiko menjadi semakin rumit.
Kesadaran individu terhadap risiko bencana bergantung pada persepsi risiko, yaitu sebuah penilaian/asesmen individu terhadap suatu risiko yang melibatkan penilaian kognitif (berdasarkan pengetahuan faktual) dan afektif (perasaan atau emosi). Artinya, menilai apakah sebuah risiko berbahaya atau tidak, bergantung pada tingkat pengetahuan, pengalaman sebelumnya dalam menghadapi kondisi berbahaya, perasan yang ditimbulkan ketika menerima informasi, serta kepercayaan terhadap sebuah nilai agama dan adat atau budaya. Karena itulah, orang-orang yang memiliki persepsi risiko yang tidak sama dengan para ahli kemudian dianggap secara kognitif tidak paham. Secara afektif, mereka juga dianggap dikuasai oleh emosi, seperti rasa takut atau rasa marah yang irasional, sehingga tidak bisa mengambil keputusan secara rasional dan logis. Pandangan itu dikenal sebagai pendekatan kognitif terhadap risiko.
Namun demikian, pandangan itu mendapat kritik yang menyatakan bahwa persepsi risiko tidak sepenuhnya merupakan penilaian individu. Persepsi risiko juga ditentukan secara kolektif sebagai kesepakatan bersama (shared convention) untuk menjalani kehidupan sosial. Dalam hal ini, budaya dan nilai sosial bukan hanya dilihat sebagai faktor yang memengaruhi penilaian individu, tetapi juga suatu hal yang membentuk kesepakatan bersama berdasarkan kewajiban dan tuntutan sosial. Kesepakatan bersama ini tidak hanya didorong oleh norma sosial dan budaya yang telah melembaga, namun juga struktur dan sistem sosial dan politik yang sulit diubah. Akibatnya, penilaian masyarakat terhadap kerugian apa yang paling merugikan, dan mana yang masih dapat diterima akibat suatu risiko yang timbul karena bencana, bukan lagi ditentukan oleh kemampuan kognitif mereka saja. Pandangan itu dikenal sebagai pendekatan sosio-kultural terhadap risiko.
Kelompok Marjinal Makin Terbebani
Kita akan menemukan lebih banyak hal di luar tudingan ‘bodoh’, ‘tidak peduli’, atau ‘ignorant others’ yang disematkan pada kelompok marjinal di kala bencana, apabila kita memandangnya tidak hanya dari sudut pandang kognitif, melainkan juga sosio-kultural.
Dalam komunikasi risiko yang berisi anjuran-anjuran pencegahan bencana yang sifatnya sangat umum, setiap individu dari berbagai kelas ekonomi, kelas sosial, dan gender, bertanggung jawab untuk menafsirkan dan mengimplementasikan secara mandiri isi informasi yang disampaikan. Bukannya membantu, hal itu malah dapat menjadi tambahan beban tersendiri bagi mereka.
Hal itu menjadi persoalan, terlebih pada sebuah situasi di mana kemampuan negara untuk melindungi warga negaranya terbatas. Misalnya, dalam konteks COVID-19, terdapat larangan untuk beraktivitas di tempat umum, termasuk berjualan yang tidak dibarengi dengan bantuan yang terstruktur untuk pekerja informal. Padahal, kesentosaan pekerja informal yang sangat bergantung pada aktivitasnya di ruang publik itu membuat mereka dan pedagang kaki lima lainnya kehilangan mata pencaharian. Selain itu, kewajiban melakukan tes COVID-19 dan karantina tanpa dukungan lain terkait, misalnya pengasuhan anak, tidak hanya berarti terputusnya pendapatan ketika karantina, namun juga berarti meninggalkan anak sendirian tanpa pengasuhan.
Telah banyak upaya komunikasi risiko yang dilakukan untuk menjangkau kelompok-kelompok marjinal. Sayangnya, itu masih disertai dengan pandangan bahwa mereka irasional dan kurang cakap menangkap data-data ilmiah ~ Citra Lestari Share on XBagi perempuan, itu belum termasuk berbagai anjuran lain yang meski tidak bersifat wajib, namun merefleksikan tuntutan peran gender yang menambah beban dan tanggung jawab mereka sebagai ibu dan istri. Sebabnya, peran merawat anak dan anggota keluarga lain, mengatur pendidikan anak, dan mengatur uang belanja agar makanan bisa terus tersaji di meja makan biasanya dijatuhkan pada perempuan. Tekanan tersebut berarti memutuskan apakah mereka mampu menyediakan makanan sehat setiap hari dan menyediakan air bersih meski aksesnya tidak mudah. Dalam konteks lain, perempuan juga harus rela menyembunyikan gejala sakit supaya tidak dan kehilangan pekerjaan jika kedapatan terinfeksi virus COVID-19. Terkadang, mereka juga dituding mengonsumsi ‘barang haram’ karena divaksin atau diancam tidak mendapatkan bantuan sosial jika menolak divaksin.
Ketidakmampuan kelompok marjinal dalam mengikuti protokol dan anjuran yang disampaikan otoritas kemudian menimbulkan rasa pasrah, yang mendorong keputusan untuk mengabaikan protokol kesehatan dan anjuran lain. Dalam bukunya, The Consequences of Modernity, Anthony Giddens (1990) menyampaikan bahwa ketika individu merasa tidak memiliki kendali atau ketika saran-saran yang diberikan saat terjadi bahaya berada di luar kapasitasnya, individu itu akan cenderung pasrah dan menyerahkan kendali pada takdir. Konsep itu ia sebut sebagai “pragmatic acceptance”. Lebih parah lagi, hal itu memungkinkan dorongan untuk memilih dan mempercayai informasi yang dirasa lebih ‘bersahabat’ dengan kondisi mereka atau menjustifikasi keputusan-keputusan yang lebih mudah untuk mereka ambil, termasuk informasi-informasi yang salah, yang dikategorikan sebagai hoaks oleh para ahli.
Tentu saja, telah banyak upaya komunikasi risiko yang dilakukan untuk menjangkau kelompok-kelompok marjinal ini. Sayangnya, itu masih disertai dengan pandangan bahwa mereka irasional dan kurang cakap menangkap data-data ilmiah (jika tidak mau menggunakan kata ‘bodoh’). Akibatnya, upaya komunikasi yang disesuaikan cenderung lebih banyak terkait dengan penyederhanaan bahasa, penggunaan bahasa daerah, dan pendekatan emosi, supaya masyarakat lebih mudah digerakkan. Upaya-upaya itu berkeras mengubah perilaku mereka agar sesuai dengan anjuran para ahli, meski anjuran itu tidak mungkin dilakukan dalam kondisi mereka.
Jadi, mereka tidaklah irasional. Mereka justru sangat rasional mempertimbangkan apa yang bisa mereka lakukan, apa yang menjadi prioritas utama dalam keseharian mereka di saat krisis, dan kemudian memilah informasi yang paling masuk akal bagi mereka. Dengan rasionalitasnya sendiri, mereka kemudian mengambil keputusan terbaik berdasarkan pengetahuan yang paling sesuai dengan kondisi mereka agar mereka merasa aman dan dapat bertahan di masa krisis.
Pengambilan Keputusan Berdasarkan Informasi yang Mana?
Jika komunikasi risiko bertujuan untuk menyediakan informasi yang dapat membantu masyarakat mengambil keputusan terbaik bagi mereka di kala bencana, maka kita perlu mempertanyakan kembali, informasi yang seperti apa yang dapat membantu? Apakah menerjemahkan informasi saintifik ke dalam bahasa sederhana sudah cukup? Apakah menyesuaikan informasi saintifik agar selaras dengan kondisi emosi dan kepercayaan terhadap nilai agama dan budaya adalah upaya komunikasi risiko terbaik?
Untuk dapat membantu kelompok masyarakat marjinal yang kehidupan sehari-harinya terpojokkan oleh struktur dan norma sosial, politik, dan budaya yang tidak berpihak pada mereka, maka sudah seharusnya komunikasi risiko yang dilakukan juga menggunakan perspektif sosio-kultural. Alih-alih merongrong dan memaksa mereka mengikuti anjuran-anjuran saintifik yang tidak masuk akal bagi mereka dan malah menimbulkan risiko-risiko baru seperti kehilangan mata pencahariannya atau anak tanpa pengasuhan, mungkin, pertama kita perlu memikirkan protokol kesehatan yang ‘ramah’ bagi keseharian mereka, dan mengomunikasikan pilihan-pilihan yang tidak hanya masuk akal bagi kesehatan, tapi juga kondisi ekonomi dan sosial mereka.
Citra Lestari adalah Mahasiswa S3 di University of Melbourne yang sedang mengkaji komunikasi risiko melalui lensa interseksionalitas. Sebelum menjalani studi S3, Ia telah malang melintang di dunia komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat, menangani berbagai isu, termasuk isu lingkungan, perempuan, kesejahteraan sosial, hingga kesehatan manusia dan hewan. Citra menyelesaikan master di bidang International Development di University of Birmingham, the United Kingdom dengan beasiswa Chevening. Ia juga pengajar dan peneliti paruh waktu di Universitas Multimedia Nusantara dan seorang ibu.
Artikel Terkait
Memahami Krisis Lingkungan dari Lensa Feminist Political Ecology
Lensa FPE bisa menjadi jendela dan jembatan yang dapat kita gunakan untuk melihat persoalan lingkungan secara lebih kompleks dan tidak sederhana dengan menempatkan gender sebagai sumbu kritis dan variable politis.Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
Widya Setiabudi sudah lama bekerja di bidang humanitarian dan kebencanaan. Di Catatan Pinggir ini, Widya menuliskan pentingnya pembangunan yang layak dan pengelolaan risiko bencana atas dampak dari pembangunan itu sendiri.Kapitalisme dan Kerusakan Lingkungan: Ironi Pembangunan yang Berkelanjutan
Kapitalisme disebut sebagai alasan besar rusaknya lingkungan. Artikel ini membahas apa yang sebetulnya terjadi dalam sistem yang dianggap mendorong produktivitas dan pertumbuhan tersebut. Bisakah kita punya ekonomi yang maju tanpa mengorbankan bumi?