Hak Asasi Manusia bagi Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan
February 17, 2024Anime sebagai Media Transmisi Tradisi Lisan Masyarakat Jepang
March 1, 2024Photo by Penguin Random House
RESENSI BUKU
Koperasi Platform: Upaya Menantang Dominasi Kapitalisme Digital
oleh Adriansyah Dhani Darmawan
Perkembangan teknologi digital membawa kita masuk pada satu era di mana struktur ekonomi dijalankan dengan model-model baru, tetapi dengan tetap mempertahankan sifat kapitalismenya.
Fenomena ini gamblang terlihat ketika korporasi raksasa menggunakan teknologi digital untuk mengoptimalkan keuntungan sebesar-besarnya dengan berusaha menekan modal produksi seefisien mungkin—yang berdampak pada kesejahteraan pekerja. Kita tentu familiar dengan nama-nama seperti Grab, Gojek, Shopeefood, Lalamove, dan beberapa perusahaan platform lainnya. Perusahaan-perusahaan tersebut bersikeras mengategorisasikan jenis usahanya sebagai penyedia jasa teknologi yang dapat mempertemukan konsumen dengan pekerja yang menyediakan barang atau jasa. Skema inilah yang menjadi awal mula kerancuan tatanan ketenagakerjaan konvensional dan mengarah pada praktik eksploitasi pekerja.
Mereka yang memanfaatkan platform teknologi digital untuk mencari sumber penghasilan pada dasarnya ialah penggerak utama roda bisnis perusahaan platform supaya bisa terus melaju. Namun, pekerja tersebut justru diposisikan sebagai mitra, alih-alih karyawan, sehingga berimplikasi pada terabaikannya hak-hak dasar pekerja dalam ekosistem ekonomi platform.
Di tengah cengkeraman perusahaan platform yang semakin predatoris, ilmuwan asal Amerika Serikat, R. Trebor Scholz, menawarkan gagasan menarik tentang koperasi platform sebagai jalan alternatif yang dituliskannya dalam sebuah buku berjudul Own This!: How Platform Cooperatives Help Workers Build a Democratic Internet.
“Bagaimana jika platform digital dimiliki secara kooperatif? Bagaimana jika masyarakat, termasuk pengguna dan pekerja, andil dalam kepemilikan dan tata kelola atas algoritma maupun server platform digital? Serta, bagaimana jika keseluruhan infrastruktur internet pada akhirnya dimiliki oleh publik atau gabungan koperasi publik?” – (R. Trebor Scholz).
Scholz memulai buku ini dengan pertanyaan provokatif yang mungkin terkesan utopis, namun masih dapat diwujudkan, karena model bisnis koperasi sebenarnya bukanlah barang yang benar-benar baru. Dalam tujuh bab yang menggugah pikiran, Scholz membangun kekuatan argumennya melalui kekayaan data dan contoh empiris keberhasilan koperasi platform di beberapa negara di Global North (negara belahan utara) maupun Global South (negara belahan selatan). Cerita sukses koperasi platform, dengan segala tantangan dan perjuangannya, sepatutnya bisa memercik suluh optimisme untuk mewujudkan struktur ekonomi yang lebih berkeadilan dan demokratis.
Koperasi Platform (Platform Co-op) didefinisikan sebagai “suatu proyek atau bisnis yang menggunakan situs web, aplikasi seluler, atau protokol untuk menjual barang atau layanan, serta bergantung pada pengambilan keputusan yang demokratis dan kepemilikan bersama komunitas atas platform oleh para pekerja dan pengguna.” Prinsip kepemilikan bersama dalam model bisnis koperasi platform ini dipercaya mampu meningkatkan partisipasi aktif setiap anggotanya untuk terlibat mengambil keputusan dalam pengelolaan koperasi. Hasilnya, koperasi dapat memberikan upah yang lebih layak pada para anggotanya, menciptakan perbaikan kondisi kerja, serta membangun rasa kebersamaan dan solidaritas yang lebih kuat di antara para pekerja.
Hal itu tentu bertolak belakang dengan model korporasi besar yang digerakkan oleh suntikan dana dari venture capital (VC). Pada model tersebut, kepemilikan bisnisnya terpusat di manajemen tingkat atas dan ditujukan untuk memberikan keuntungan optimal bagi para pemodalnya.
Singkatnya, model koperasi platform berupaya untuk menyatukan aspek kenyamanan penggunaan teknologi digital dengan prinsip kepemilikan bersama dan pengambilan keputusan yang demokratis. Ini merupakan sebuah pendekatan yang menempatkan pekerja platform, yang juga anggota koperasi, sebagai pusat yang memiliki kendali lebih besar terhadap pengelolaan sistem bisnis berbasis aplikasi, algoritma, ataupun platform secara keseluruhan.
Salah satu bentuk koperasi platform yang mungkin dapat menjadi contoh keberhasilan adalah Up & Go, sebuah koperasi platform yang menawarkan jasa layanan kebersihan (cleaning service) di New York, Amerika Serikat. Melalui prinsip kepemilikan bersama, kebijakan pengupahan dan komisi platform diputuskan secara demokratis dengan hanya memotong 5% untuk biaya komisi dari setiap pekerjaan yang diselesaikan oleh pekerja. Itu artinya, 95% pendapatan adalah hak mutlak pekerja.
Melampaui profit material
Keberadaan koperasi platform sebagai alternatif model bisnis sering mendapat tantangan pertanyaan mengenai valuasi (nilai bisnis) dan skalabilitas (jangkauan perluasan). Rasanya memang cukup sulit apabila koperasi platform dituntut untuk memiliki target ambisius menyaingi skala bisnis korporasi besar. Dalam pandangan Scholz, koperasi pada dasarnya tidak diharuskan untuk menjadi raksasa bisnis (behemoth), karena esensi utamanya terletak pada model pengelolaan ekonomi yang demokratis. Peningkatan skala bisnis koperasi platform dapat ditempuh dengan jalan berbeda, yaitu melalui kolaborasi dengan koperasi lain.
Hal itu yang dilakukan koperasi platform di Catalonia, Spanyol bernama La Zona. Koperasi tersebut berjejaring dengan koperasi lain yang bergerak pada jasa pengiriman barang untuk mendukung bisnis ritel La Zona. Inisiatif itu menjadi sebuah upaya yang disinyalir membuat perusahaan teknologi multinasional Amazon merasa cukup khawatir. Meskipun belum dalam taraf kompetisi yang setara, La Zona dapat dianggap sebagai permulaan yang menawarkan persaingan bisnis dengan korporasi.
Jika koperasi platform tidak dapat bersaing dengan korporasi besar dalam hal pendapatan ataupun valuasi bisnisnya, lantas nilai apa yang bisa menjadi daya jualnya?
Di beberapa negara, koperasi dianggap tidak memberikan kontribusi signifikan pada nilai Pendapatan Domestik Bruto (Gross Domestic Product). Maka, yang perlu dilakukan, bagi Scholz, adalah mendefinisikan ulang capaian nilai yang melampaui profit material semata-mata dalam GDP. Selama ini, GDP hanya mengukur output secara nasional mengenai nilai pasar, namun tidak mampu menunjukkan kondisi atas kualitas hidup yang dinikmati masyarakat. Karenanya, mulai muncul alternatif pengukuran performa ekonomi di luar GDP yang turut menyertakan beberapa dimensi, seperti kesejahteraan (Gross National Well-Being), kebahagiaan (Gross National Happiness Index), dan aspek-aspek lain yang tersusun dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Bagi Scholz, penting mendefinisikan ulang capaian nilai yang melampaui profit material dalam GDP, karena itu hanya mengukur output secara nasional tanpa menunjukkan kondisi kualitas hidup masyarakat. ~ Adriansyah Darmawan Share on XDi titik inilah, koperasi platform mampu memperkokoh nilai-nilai demokratis bagi pekerja, masyarakat, maupun perekonomian yang tidak tercermin dalam GDP. Misalnya saja, koperasi platform bisa menjadi tempat bagi tumbuhnya beragam ide dan gagasan yang melingkupi egalitarianisme (kesetaraan), keberlanjutan lingkungan, dan distribusi keuntungan yang merata demi tujuan pengentasan kemiskinan. Selain itu, gagasan feminisme untuk diterapkan dalam pengelolaan koperasi platform juga sangat terbuka. Ini merupakan kesempatan dan medium perjuangan untuk mendorong perubahan kultural yang ramah terhadap perempuan serta menghilangkan diskriminasi pada perempuan yang selama ini terjadi pada platform digital, seperti masalah kekerasan gender berbasis online dan shadow banning yang memblokir percakapan mengenai feminisme.
Koperasi juga menjadi medium untuk memperkokoh kekuatan asosiasional antarpekerja. Dalam gerakan buruh, ada paradigma yang memisahkan antara serikat pekerja dengan koperasi. Serikat pekerja dianggap sebagai gerakan perjuangan progresif untuk menjamin hak buruh, sedangkan koperasi dipersepsikan untuk tujuan ekonomi semata. Padahal, kedua entitas ini bisa saling mendukung, khususnya di model ekonomi platform di mana cukup sulit membangun serikat pekerja karena statusnya sebagai mitra ataupun kontraktor independen.
Scholz memperkuat argumennya dengan menyajikan runtutan historis perkembangan salah satu koperasi platform yang mendapat dukungan dari serikat pekerja melalui pertukaran pengetahuan dan pelatihan tentang strategi mengorganisir diri, negosiasi, dan peningkatan daya tawar dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki koperasi. Pada akhirnya, baik koperasi platform maupun serikat pekerja, keduanya dapat secara simultan melakukan kerja-kerja advokasi sekaligus pengembangan model ekonomi yang adil.
Keberdayaan pengelolaan data
Penggunaan teknologi digital dalam model bisnis ekonomi platform menempatkan data sebagai sumber daya berharga. Nilai data tersebut akan meningkat seiring dengan pemanfaatan data untuk berbagai kepentingan. Untuk itulah, tata kelola data menjadi penting agar tidak dikapitalisasi demi kepentingan bisnis dan merugikan pemilik data. Terwujudnya kondisi ini dimungkinkan melalui upaya pengelolaan data oleh koperasi data.
Scholz memaknai koperasi data sebagai sub-tipe koperasi platform yang dibuat untuk mengelola data pemangku kepentingan koperasi platform, sekaligus menciptakan nilai tambah bagi para anggotanya. Data-data yang dihasilkan selama proses bisnis koperasi platform dikelola dan dikendalikan oleh anggota serta diputuskan secara demokratis untuk berbagai kegunaan, seperti untuk melakukan penelitian, memperbaiki layanan untuk anggota, dan meningkatkan pendapatan melalui analisa pasar yang adil atas penjualan produk dan jasanya.
Scholz menutup buku ini dengan sebuah epilog yang menyajikan prinsip dan langkah penting ketika hendak memulai koperasi platform. Ia menekankan, bagaimana pun, koperasi platform tetaplah sebuah bisnis yang perlu dikonsentrasikan untuk memperolah keuntungan dan berdampak pada keberlanjutan usahanya. Hanya saja, upaya tersebut harus dilandaskan pada nilai-nilai kooperatisme yang partisipatif, kepemimpinan demokratis, kolaborasi, dan pengembangan produksi lisensi sejawat seperti CopyLeft dan Creative Commons Plus untuk keleluasaan penggunaan aplikasi digital.
Buku ini memuat wacana penting di tengah isu eksploitasi pekerja dalam bisnis ekonomi platform di berbagai negara. Beberapa contoh koperasi platform yang ditampilkan, meskipun terasa redundan dan kadang tidak tereksplorasi mendalam pada konteks permasalahan yang sedang dibahas, setidaknya dapat menjadi pembelajaran dan harapan atas kemungkinan alternatif yang dapat diupayakan bersama.
Model bisnis koperasi di Indonesia pun bukanlah sesuatu yang asing dan lebih cocok untuk diterapkan dengan mengusung prinsip ekonomi kerakyatan. Secara praktik, operasionalisasi gagasan koperasi platform patut dicoba untuk menjawab berbagai persoalan ketenagakerjaan digital masa kini. Pemerintah perlu menyiapkan kerangka regulasi dan kelembagaan yang solid, seperti kemudahan dukungan pendanaan dan peningkatan keterampilan digital bagi berkembangnya koperasi platform di Indonesia.
Adriansyah Dhani Darmawan adalah peneliti di Centre for Innovation, Policy and Governance (CIPG).
Artikel Terkait
Bukit Algoritma dan Ilusi Techno-Solutionism
Klaim-klaim yang dibuat untuk mendukung proyek Bukit Algoritma umumnya berangkat dari pemahaman bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan teknologi. Dalam artikel ini, penulis mendiskusikan bahaya ilusi techno-solutionism dan pentingnya terlebih dahulu mengatasi kesenjangan yang ada.Kapitalisme di Persimpangan Jalan
Kapitalisme memiliki andil yang besar atas tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan serta pemanasan global. Namun apakah kapitalisme itu merupakan sesuatu yang jahat yang harus dimusuhi dan dihapuskan?Perkembangan Sistem Perekonomian Modern: Kapitalis, Komunis, Sosialis, dan Campuran
Artikel ini membahas perkembangan sistem perekonomian hingga akhirnya menjadi seperti sekarang, dimana ada negara yang condong menerapkan sistem kapitalis, sosialis, dan juga campuran.