Kerusuhan bagi siapa?
June 23, 2019Serunai dan Seni
August 11, 2019OPINI
Korban, Memori, dan Jalan Panjang Menuju Keadilan
oleh Aghniadi & Puri Kencana Putri
“Saya sering mikir, kalau dia masih hidup, kehidupan saya jauh lebih [baik] dari sekarang ini”
– Hok Kim Ngo, ibu Yap Yun Hap.
Pernyataan itu Hok Kim sampaikan kepada kedua penulis jelang peringatan 20 tahun reformasi 1998 di rumahnya. Anak tengahnya Yap Yun Hap, mahasiswa akhir Fakultas Teknik Universitas Indonesia, adalah salah satu korban dari Peristiwa Semanggi II yang terjadi pada 24 September 1999. Peristiwa penembakan di depan Kampus Atmajaya saat itu terjadi ketika para mahasiswa menuntut negara menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bahaya (RUU PKB) dan menuntut pencabutan Dwifungsi ABRI. Aksi demonstrasi damai mahasiswa ternyata dibalas dengan rentetan tembakan dan menjadi tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hingga kini masih menjadi beban bangsa untuk dituntaskan. Rezim silih berganti, namun mengapa penanganan pelanggaran HAM masih sulit ditunaikan oleh negara?
Sebuah penelitian berbasis survei yang dikeluarkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi dengan judul Kultur HAM menghasilkan catatan menarik tentang bagaimana kita, masyarakat Indonesia, memandang korban pelanggaran HAM yang berat.
Lima puluh delapan persen responden di 34 provinsi sepakat bahwa Pemerintah Indonesia harus memberikan kompensasi dan bantuan kepada para korban dan keluarganya. Agaknya temuan ini adalah kemenangan kecil, dan bahkan sebuah kesempatan, yang bisa menambah harapan penyelesaian berbagai kasus yang masih diingkari oleh negara dan tak sungguh-sungguh tangani di masa Orde Baru. Ini juga memperlihatkan kalau ingatan dan kemanusiaan masih memiliki ruang dalam nurani kita.
Kita juga perlu ingat bahwa pada tanggal 31 Mei 2018 Istana Negara menjadi saksi kehendak baik ketika korban dan keluarga yang bernaung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Bagaimanapun juga, penyelesaian pelanggaran HAM harus terus dicoba, semaksimal mungkin, tanpa kehilangan isu inti yang diperjuangkan korban: keadilan dan jaminan ketidakberulangan di masa depan.
Tidak berbeda dengan bertahun-tahun lalu, hingga hari ini pun, kehendak tersebut terurai menjadi berbagai bentuk keengganan negara untuk menjamin ruang keadilan yang dapat diakses oleh para korban.
Sepanjang tahun 2015-2019, negara membentuk dua tim adhoc dengan mandat hukum yang buram untuk menuntaskan 11 kasus yang Komnas HAM kategorikan sebagai ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dewan Kerukunan Nasional dan Tim Gabungan Terpadu untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pun dibentuk untuk menyelesaikan beberapa di antara kasus-kasus tersebut melalui jalur non-yudisial seperti rekonsiliasi dan mediasi, yang ironisnya berada di bawah kendali langsung Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
Dua tim tersebut dibentuk berdasarkan anggapan lembaga eksekutif yang menilai bahwa tak cukup bukti bagi negara untuk menggelar pengadilan HAM adhoc untuk 11 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu — mulai dari Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior dan Wamena Papua, Peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999, hingga Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis di Provinsi Aceh. Dalam pusaran perkara yang semakin kompleks, Jaksa Agung sendiri pada 27 November 2018 telah mengembalikan berkas-berkas penyelidikan tersebut kepada Komnas HAM dengan alasan yang lengkap dengan upaya penyelesaian Menkopolhukam.
Kesimpangsiuran kebenaran menjadi gawat dan tidak jelas, khususnya ketika di sisi lain negara tidak mengindahkan upaya para korban untuk mencari keadilan. Para korban dan keluarga menolak keberadaan keberadaan berbagai tim adhoc yang merampas kemungkinan mereka berupaya mencari keadilan dan kebenaran.
Bagaimanapun juga, penyelesaian pelanggaran HAM harus terus dicoba, semaksimal mungkin, tanpa kehilangan isu inti yang diperjuangkan korban: keadilan dan jaminan ketidakberulangan di masa depan. ~ Aghniadi & Puri Kencana Putri Share on XPerjalanan korban untuk menolak lupa, pun dalam tindakannya untuk tidak lupa menolak, berangkat dari argumentasi bahwa Indonesia adalah negara hukum dan melekat kewajiban untuk menunjung tinggi supremasi hukum, yang tidak hanya diatur di dalam Pasal 1 UUD 1945 namun juga Pasal 28I(4). Indonesia turut terikat pada kewajiban di bawah hukum internasional untuk menyelidiki dan menghukum (dengan bukti-bukti kuat) mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat dan kejahatan internasional lainnya, termasuk di dalamnya kejahatan terhadap kemanusiaan.
Setiap terobosan politik juga tidak boleh menggantikan kewajiban negara untuk memberikan hak kebenaran dan pemulihan efektif kepada para korban dan keluarga, terlepas dari sepelik apapun realitas politik yang dialami negara. Hal lainnya adalah komitmen negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 belum banyak terwujud hingga kini.
Posisi negara kian sulit diukur ketika pada pelaksanaan tinjauan berkala HAM Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bulan Mei 2017, Pemerintah Indonesia tidak menerima rekomendasi “penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dan memastikan agenda pemulihan kepada para korban,” – dan hanya menerima upaya hukum untuk penyelesaian dua kasus pelanggaran HAM berat Wasior (2001) dan Wamena (2003) sebagaimana yang disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di depan Dewan HAM PBB.
Keadilan adalah sebuah keutamaan dan mencari keadilan adalah upaya yang terus menerus disangga oleh para saksi hidup pencariannya. Pencarian keadilan akan relatif lebih mudah apabila proses hukum dapat dilakukan oleh yang berwenang tanpa intervensi politik apapun; meskipun intervensi politik dalam skala khusus akan memberikan dampak pada penyelesaian kasus secara berkeadilan.
Kita tentu sama-sama menginginkan harapan para korban dan keluarga untuk mendapatkan kepastian hukum dapat terwujud secara substansial. Publik Indonesia juga memiliki pandangan serupa. Harian Kompas pada tanggal 13 Mei 2019 menunjukkan dorongan kuat kepada Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Sekitar 60 persen masyarakat Indonesia menginginkan pemerintah dan parlemen terpilih memprioritaskan isu ini. Sudah menjadi keharusan bagi pemerintah dan parlemen Indonesia untuk menjaga konsistensinya, menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia – tidak terkecuali mereka yang masih meniti jalan panjang menuju keadilan.
Aghniadi dan Puri Kencana Putri adalah staf kampanye organisasi Amnesty International Indonesia.