Mengenai Buku Bajakan
July 16, 2021Di Balik Layar Ilustrasi Edisi Media
July 30, 2021RESENSI BUKU
Kritik untuk Kebijakan Negara
oleh Haviv Isya Maulana
Akhir tahun 2019 merupakan awal dari terjadinya pandemi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Virus COVID-19 yang pertama ditemukan di Wuhan, Tiongkok ini membuat banyak negara kelabakan. Untuk merefleksikan bagaimana pandemi ini ditangani di Indonesia, Muhammad Zulfikar Rakhmat dan Dikana Tarahita menulis buku yang berjudul COVID-19 di Indonesia: 19 Catatan Pemikiran Tentang COVID-19 di Indonesia dari Perspektif Politik, Ekonomi, Sosial, dan Hubungan Internasional yang akan saya bahas di sini.
Buku dengan tebal 102 halaman yang disusun sejak ditemukannya kasus Covid pertama di Indonesia ini menjadi salah satu buku yang perlu kita baca. Melalui buku ini, kita dapat turut berefleksi demi memahami cara untuk berperan aktif dalam membantu penanganan COVID-19.
Penanganan virus COVID-19 di Indonesia bisa dikatakan cukup lamban dan terkesan kurang serius apabila dibandingkan dengan penanganan oleh beberapa negara lain. Meski demikian, tetap ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari virus ini. Pemulangan WNI dari Cina menjadi salah satu contohnya. WNI yang akan dipulangkan ke tanah air diwajibkan untuk melakukan karantina terlebih dahulu di tempat yang telah ditentukan.
Sayangnya, usaha ini tampak kurang diperhitungkan dengan baik. Dalam proses pemilihan tempat karantina, pemerintah tidak melibatkan masyarakat sekitar. Kurangnya transparansi informasi dan koordinasi dengan masyarakat ini kemudian menimbulkan protes. Masyarakat setempat yang tidak diberitahu dan dipersiapkan dengan baik pun tidak setuju areanya digunakan untuk karantina. Apa lagi, pada saat itu informasi tentang COVID-19 dan protokol kesehatan pun masih begitu sulit ditemukan.
Kelalaian pemerintah dalam menangani COVID-19 tidak berhenti di sini, usaha-usaha pengurangan kasus COVID-19 lain pun ditandai dengan koordinasi buruk antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Kasus positif COVID-19 pertama di Indonesia ditemukan pada Senin, 2 Maret 2020. Dua pasien pertama ini adalah sepasang ibu dan anak yang tinggal di Depok. Namun, penemuan kasus ini disembunyikan oleh pemerintah supaya tidak memberikan rasa khawatir kepada masyarakat. Padahal, penutupan informasi terkait penyebaran COVID-19 begitu berbahaya bagi kita semua.
Di saat negara yang sedang terancam oleh krisis kesehatan, pemerintah justru memprioritaskan menjaga kestabilan ekonomi hingga keselamatan rakyat sampai terbengkalai. ~Haviv Isya Maulana Share on XAkibat perbuatan ini, semakin kokoh anggapan di masyarakat bahwa virus COVID-19 tidak akan sampai ke Indonesia. Selain berdampak ke kurangnya persiapan, masyarakat yang kemudian tahu kebenaran adanya kasus ini pun masih meremehkan bahayanya. Bagaimana tidak, pernyataan dari pejabat pun cenderung mengambil nada yang meremehkan virus ini. Belum lagi beberapa pernyataan tentang COVID-19 dari pemerintah yang saling berbenturan antara satu dengan yang lainnya.
“Kami berutang pada Tuhan. (COVID-19 tidak masuk ke Indonesia) karena doa kita.”
“COVID-19 adalah penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya.”
Dua kalimat di atas adalah contoh pernyataan yang dibuat oleh mantan Menteri Kesehatan Indonesia, Terawan Agus Putranto mengenai kasus COVID-19.
Secara garis besar, buku ini memberikan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam menangani kasus COVID-19 di tanah air. Di saat negara yang sedang terancam oleh krisis kesehatan, pemerintah justru memprioritaskan menjaga kestabilan ekonomi hingga keselamatan rakyat sampai terbengkalai. Meski angka positif masih begitu tinggi, pelonggaran PSBB dan promosi pariwisata (termasuk bagi turis asing) tetap gencar dilakukan oleh pemerintah.
Muhammad Zulfikar menilai respon pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi COVID-19 kurang serius. Pemerintah dinilai lebih memprioritaskan pencegahan gangguan ekonomi yang mungkin terjadi akibat pandemi ketimbang menyelesaikan permasalahan kesehatan yang ada.
Muhammad Zulfikar pun memberikan perhatian khusus kepada kurangnya perhatian yang tenaga medis yang terima dari pemerintah pusat. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya tenaga medis yang kesulitan untuk mendapatkan APD (Alat Pelindung Diri). Padahal, APD sangat penting untuk menjaga keselamatan para tenaga medis.
Selain permasalahan yang telah disebutkan, Zulfikar juga memberi saran bagi pemerintah agar pemeriksaan COVID-19 dapat dilakukan secara massal. Menurutnya, langkah tersebut akan membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat guna, tepat sasaran, dan tepat fungsi.
Pandemi COVID-19 ini juga berdampak pada pelaksanaan aktivitas sehari-hari. Kini, semua kegiatan harus dilaksanakan secara online. Dunia pendidikan, perusahaan swasta, hingga pemerintahan juga mewajibkan segala aktivitasnya untuk dilakukan dari rumah. Karena kebijakan ini, hashtag #workfromhome bertebaran di media sosial.
Bisa diterapkannya bekerja secara jarak jauh atau work from home ini menandakan meleknya masyarakat terhadap teknologi, keterampilan yang penting di masa revolusi industri 4.0 ini. Namun, penulis buku ini juga sadar bahwa digitalisasi pekerjaan sehari-hari ini tidaklah mudah. Kesenjangan dalam akses ke perangkat dan pengetahuan memang bukan suatu hal yang bisa diatasi dalam rentang waktu yang begitu singkat. Belum lagi, ada banyak pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dari rumah.
Terakhir, dalam buku ini, penulis membahas tentang meningkatnya sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa, khususnya di Indonesia. Sudah menjadi sebuah rahasia umum bahwa etnis Tionghoa menghadapi berbagai bentuk diskriminasi. Sayangnya, pandemi ini memperparah situasi yang sudah ada.
Meski pandemi berhasil mendorong munculnya berbagai inovasi dalam masyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan yang lebih terlihat dan terasa hampir semuanya bersifat negatif. ~Haviv Isya Maulana Share on XDitemukannya COVID-19 pertama kali di Wuhan, Tiongkok membuat sentimen terhadap etnis Tionghoa semakin besar. Permasalahan ini (COVID-19 dan sentimen terhadap etnis Tionghoa) juga dapat berdampak pada hubungan bilateral antara Indonesia dan Tiongkok.
Pada awal pandemi COVID-19, Presiden Joko Widodo memberlakukan larangan perjalanan ke Tiongkok dan menolak pendatang dari sana. Tidak hanya larangan perjalanan, pemerintah Indonesia juga memberhentikan sementara kerja sama perdagangan dengan negeri tirai bambu ini. Kebijakan ini tentu berdampak pada perekonomian Tiongkok dan Indonesia, terutama karena aktivitas ekspor dan impor kedua negara yang terhambat. Kebijakan ini pun mendapat kritik dari pemerintah Tiongkok sendiri.
“Tindakan Indonesia yang menghentikan impor dari China akan merusak hubungan perdagangan kedua negara,” tutur Duta Besar Tiongkok.
Pandemi COVID-19 ini membawa banyak perubahan yang sebelumnya tidak pernah kita perkirakan. Meski pandemi berhasil mendorong munculnya berbagai inovasi dalam masyarakat (seperti digitalisasi berbagai bisnis), tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan yang lebih terlihat dan terasa hampir semuanya bersifat negatif. Salah satunya adalah rusaknya hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Tiongkok. Padahal, Tiongkok sendiri adalah mitra dagang utama bangsa Indonesia.
Buku ini perlu dibaca oleh pelajar/mahasiswa, pendidik, maupun pengambil kebijakan. Menurut saya, solusi-solusi yang ditawarkan buku ini dapat bantu memberi masukan untuk lebih dikembangkannya lagi kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi ini.
Haviv Isya Maulana, umur 21 tahun. Saat ini sedang menempuh pendidikan sarjana di Universitas Islam Indonesia jurusan Ekonomi Pembangunan. Hobi saya bermain game PS, membaca, dan sekarang mencoba meluangkan waktu untuk banyak menulis. Mengapa saya tertarik untuk menulis? Karena dengan menulis kita dapat memberikan ilmu kepada orang banyak dan kita dapat menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Karena sebaik baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain.
Bisa dihubungi melalui Instagram: @havivisya
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini